01. Ingin ke Daratan

877 Words
“Kak Lou, kakak pernah ke dunia daratan ‘kan? Bagaimana dunia daratan itu kak?” tanya Vanilla dengan wajah penuh penasaran. Siang ini Vanilla kembali mengganggu kakaknya dengan menanyakan pertanyaan yang sama seperti hari sebelum-sebelumnya. Louis yang merupakan kakak Vanilla itu pun mendengus malas. “Kenapa kamu nanya itu lagi sih, Van?” Vanilla mengerucutkan Bibirnya. “Aku nanya kok malah nanya balik sih!” decak gadis itu sebal karena tak kunjung mendapat jawaban. Louis tertawa pelan. “Daratan itu sangat indah, lebih indah dari pada dunia bawah laut,” ujar Louis, sengaja dilebih-lebihkannya. Mendengar itu sontak membuat mata Vanilla langsung berbinar tertarik. “Ada apa aja di sana kak? Apakah di sana banyak mermaid seperti kita?” tanya Vanilla dengan antusias. Louis mengangguk. “Banyak mermaid yang hidup di daratan karena urusan mereka masing-masing, dan di daratan itu banyak makhluk immortal seperti kita. Seperti Vampire, Werewolf, Fairy, Wizard, Elf, dan banyak lagi.” Selama ini Vanilla hanya mendengar tentang makhluk immortal lewat cerita sahabat, keluarganya dan gurunya, Vanilla tidak pernah melihat secara langsung bagaimana rupa makhluk immortal dunia daratan. Selama delapan belas tahun ia hidup, ia hanya menghabiskan waktu bermain di istana dengan ikan-ikan lain dan mermaid lainnya. “Bolehkah Vanilla ke daratan?” tanya Vanilla dengan penuh harap menatap Louis. Louis memandang adiknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. “Daratan itu berbahaya, Vanilla,” ujarnya. Vanilla mengerutkan dahinya menatap Louis bingung. “Bahaya?” Louis mengangguk. “Di sana mamakai oksigen bukan air, sedangkan kita membutuhkan air untuk hidup. Belum lagi sepasang kaki, kamu kan tidak punya kaki,” ujar Louis sambil terkekeh. Vanilla cemberut. “Tapi kenapa beberapa waktu lalu kakak bisa ke daratan?” tanyanya. “Karena aku memakai kalung,” ceplos Louis. Seakan sadar dengan apa yang ia katakan, Louis pun memukul bibirnya pelan dan merutuki dirinya dalam hati. “Abaikan ucapanku barusan.” Vanilla menatap Louis curiga. “Kalung? Kalung apa, kak?” tanya Vanilla menatap Louis menuntut jawaban. Louis mendengus. Vanilla sangat keras kepala sekali dan tingkat penasarannya tinggi sekali, batinnya. “Iya kalung, kalung yang akan membuat mermaid bisa bernapas dengan oksigen dan membuat mermaid memiliki sepasang kaki, puas?!” jawab Louis, sarkas. Vanilla nyengir kuda, lalu tertawa pelan karena melihat wajah Louis yang tampak kesal akibat dirinya. “Di mana Vanilla bisa dapatkan kalung itu?” tanya Vanilla antusias. “Kamu tidak boleh pergi ke daratan Vanilla!” seru Louis, tegas. Vanilla menggeleng. “Vanilla mau pergi, Vanilla penasaran sama daratan, kakak!” Vanilla berseru gemas pada Louis. Louis tetap menggeleng tegas. “Kalau kamu pergi, kakak laporkan ke Ayah,” ancamnya. Tapi bukan Vanilla namanya kalau ia takut. “Laporkan saja, wle!” Vanilla menjulurkan lidahnya keluar, mengejek Louis. Louis menatap Vanilla serius. “Aku akan melaporkannya pada Ayah.” Louis mengambil ancang-ancang akan pergi meninggalkan Vanilla, tapi tangan pemuda berusia dua puluh lima tahun itu dicekal oleh Vanilla. Vanilla memasang tampang memelasnya pada Louis. “Jangan beritahu Ayah kak, dasar pengadu!” cibir Vanilla dengan bibir yang mengerucut. “Aku nggak akan ngelapor kalau kamu berjanji untuk tidak pergi ke daratan,” ujar Louis. Mendengar itu wajah Vanilla tertekuk. Namun ia memilih mengiyakan ucapan Louis. “Ya sudah kalau gitu Vanilla mau ke tempat Melisa aja,” ujar Vanilla kemudian gadis itu berdiri dari sofa dan berenang meninggalkan Louis yang menatap punggung Vanilla yang semakin jauh. *** “Melisaaaaaaa!” panggil Vanilla dengan suara yang keras dan nada yang panjang tepat di telinga Melisa. “Apa sih Vanilla? Aku di sini, jangan teriak gitu. Telingaku jadi sakit kan!” keluh Melisa yang berada di sebelah Vanilla. Vanilla nyengir. “Maaf,” gumamnya. “Ngapain sih ke sini? Ganggu tau nggak?” sentak Melisa pedas, yang Vanilla cemberut langsung. “Kamu sama kak Louis sama aja, menyebalkan!” dengus Vanilla sebal. Melisa hanya mendengus pelan. Apa yang Vanilla inginkan? Sahabatnya itu selalu menyebutnya menyebalkan, apakah Vanilla tidak sadar diri? Vanilla jauh lebih menyebalkan jika ingat-ingat lagi. “Apa masalahmu?” tanya Melisa to the point. “Aku ingin ke daratan,” balas Vanilla menatap Melisa serius. Melisa memandang Vanilla tak percaya. “Kau gila?!” Vanilla sontak menggembungkan pipinya. “Aku tidak gila,” cetus Vanilla. Melisa terkekeh. “Apa yang mau kau cari di daratan?” Vanilla mengedikkan bahunya acuh. “Hanya ingin melihat-lihat,” balasnya cuek. Melisa pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Vanilla benar-benar sudah gila, pikirnya. “Bagus Pangeran Louis melarangmu pergi, kau tahu? Kau sangat ceroboh, aku yakin kau pasti kalau kesusahan di daratan dan akan menangis.” Melisa tersenyum mengejek. “Kau sungguh teman yang terlaknat,” ujar Vanilla dengan dramatis. “Berlebihan!” cibir Melisa. “Oh iya, ngomong-ngomong lusa kan ulang tahunmu,” celetuk Melisa tiba-tiba. Vanilla terperangah sejenak. Benar! Lusa adalah hari ulang tahunnya. Vanilla tersenyum lebar. “Iya, lusa hari ulang tahunku.” “Apakah dirayakan? Mengingat setiap tahun ulang tahunmu selalu di rayakan dengan meriah,” ujar dan tanya Melisa. Vanilla tampak berpikir. Hatinya mengatakan hari ulang tahunnya harus dirayakan, tapi mengingat istananya sekarang yang sepi tidak menunjukkan tanda-tanda akan ada perayaan, Vanilla jadi ragu sendiri. “Kalau jadi dirayakan, jangan lupa undang sahabatmu ini,” lanjut Melisa lalu terkekeh. Vanilla mengangguk. “Pasti. Sahabat menyebalkan sepertimu memang wajib diundang,” sahutnya, kemudian terbahak. Sedangkan Melisa hanya mendengus mendengarnya. “Aku ingin pergi, aku ingin ke rumah Bibiku. Bisa kau pulang?” ujar Melisa. “Kau mengusirku? Mengusirku Putri kerajaan Oceana?” pekik Vanilla tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Melisa jadi gelagapan. “Bu-bukan seperti itu maksudku, Bibiku sedang sakit. Aku ingin menjenguknya, aku ingin mengajakmu tapi aku tau kau sedang malas berpergian saat ini,” ujar Melisa, jujur. Raut wajah Melisa mendadak cemas, apakah ia salah ngomong? Vanilla terbahak lagi melihat raut wajah Melisa yang tampak sangat panik. “Tidak usah panik begitu, aku mengerti. Ya sudah aku pulang dulu,” pamit Vanilla. Melisa menghela napas lega dan membiarkan Vanilla pergi pulang. Diperjalanan menuju istana, Vanilla memikirkan ucapan Melisa tadi. Lusa adalah hari ulang tahunnya ke sembilan belas tahun, dan sangat bagus jika dirayakan. Terlebih kakaknya Louis selalu memberinya sebuah kartu permintaan, dan itu bisa ia jadikan sebagai permintaan ingin ke daratan. Vanilla tersenyum lebar. Baiklah, keputusannya sudah bulat, perayaan ulang tahun dan pergi ke daratan. Ah, Vanilla sudah jadi sangat tidak sabar menanti hari pentingnya itu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD