Awal Pertemuan

3041 Words
Satu bulan kemudian. "Lebaran tahun ini kita bakalan jomblo lagi nih?" ledek sahabatnya. Ia hanya terkekeh. Ya daripada memikirkan jodoh yang tak kunjung datang, ia lebih memilih sibuk dalam pekerjaan yang padat. Sejak bekerja sebagai dosen beberapa bulan terakhir, ia memang enggan memikirkan hal itu. Bukan karena gagal ta'aruf atau semacamnya tapi belum kunjung bertemu dengan sosok yang ia idam-idamkan. Ia tak pernah meminta yang sempurna kok. Ia hanya meminta yang terbaik dari Allah. Tapi ternyata tidak semudah itu agar doanya dapat terkabul. Lantas apa yang harus ia lakukan? Ya....tentunya mencari relasi yang mungkin menghubungkannya dengan sebuah pertemuan dengan jodoh. Tapi dibandingkan hal itu, yang paling penting justru dirinya. Bukan kah jodoh adalah cerminan diri? Jadi ketika kita ingin mendapatkan seseorang yang baik maka harus menjadi baik terlebih dahulu. Tapi yang membuatnya menjadi dilema adalah ia tak ingin memperbaiki diri hanya demi mendapatkan sesuatu. Ia ingin melakukan itu karena Allah saja. Walau Allah mungkin menjanjikan balasan. Bukan kah manusia pada akhirnya ingin surga di akhirat? Dan ia juga ingin mengejar itu? "Lo sendiri gimana?" "Nanti tiga puluh tahun." "Tahun depan dong yaaa!" Temannya mendengus dan ia terkekeh. Waktu memang berlalu begitu cepat berlalu. Usia temannya memang berbeda satu tahun dengannya meski masuk di angkatan kampus yang sama. Mereka telah saling mengenal sejak kuliah sarjana. Lalu bekerja di kota yang sama dan masih kos di tempat yang sama kala itu. Jenuh bekerja, akhirnya sama-sama memutuskan kuliah S2 di sini. Kini ia sudah menyelesaikan S2-nya beberapa bulan lalu dan terperangkap di Yogyakarta. Selama beberapa tahun terakhir, Ridha, sahabatnya ini memang selalu mengeluarkan jawaban itu. Hingga tak sadar kalau usianya akan sampai pada usia yang sering ia sebutkan itu. Tiga puluh tahun itu bukan waktu yang singkat. Karena ia juga tak pernah membayangkannya kalau akhirnya akan mencapai usia itu. Berasa tua sekali ya? "Adek gue bahkan udah mau melahirkan dong," curhatnya. Kalau Azzura sebagai anak bungsu memang tidak akan ada yang melangkahinya. Tapi yang jadi masalah, di rumah, hanya ia yang masih jomblo. Disuruh pulang kampung? Jelas tidak mau. Begitu mengerjakan tesis pun, saat ditawari dosen pembimbingnya untuk menjadi dosen asisten setelah lulus, dengan senang hati ia mengiyakan tawaran itu tanpa perlu berpikir berulang kali. Maka jadi lah ia terperangkap di sini. Sementara sahabatnya ini baru bersiap-siap sidang tesis dalam beberapa minggu mendatang padahal mereka masuk bersama. Tapi Azzura sangat cepat menyelesaikan kuliahnya, ya bagus kan? Menghemat pengeluaran juga. Waktu cepat berlalu ya? Tak terasa mereka telah lama saling mengenal. Mungkin diusia belasan tahun kala itu. Kini masih berteman hingga diusia yang mendekati tiga puluh tahun. Rasanya waktu benar-benar cepat sekali berlalu dan Zura juga tak sadar akan hal itu. "Nanti jodoh pasti akan datang tepat pada waktunya." "Yeaah alibinya para jomblo memang begitu. Karena usia kan ya?" Azzura terkekeh. Dari teman satu gengnya di kampus sarjana dulu, baru satu dari lima orang yang sudah menikah. Satu sibuk berbisnis. Satu lagi sudah menjadi aparatur negara di Tasikmalaya. Satu lagi masih bekerja swasta di Surabaya. Yang satu itu lah yang sudah menikah. Dan mereka berdua di sini di Joga. Yeah dari awal berteku di kampus pun, Zura memang bertemu dengan Ridha lebih dulu. Tak disangka ternyata memang jodoh pertemanannya begitu dan kalau dipikir-pikir, ada saja ya cara Tuhan itu? "Nanti insya Allah, bisa menikah dalam waktu dekat kok." "Amin deh! Gue aminin yang udah mau nikah!" Azzura terkekeh. Walau ia juga tak memikirkan hal itu. Zura tak memiliki prioritas untuk menikah dalam waktu dekat juga. Ia sedang menikmati pekerjaan barunya. Walau disatu sisi pasti ada keinginan untuk menikah kan? Sebagai seorang manusia yang memang nalurinya tertarik pada lawan jenis, gitrahnya memang begitu. "Nanti lo mau pulang kampung atau enggak? Kalo lo pulang, gue biar balik ke Citayam gitu. Ke rumah kakak gue. Kalo enggak ya gue stay di sini nemenin lo." Azzura tampak menimbang-nimbang. "Masih belum kepikiran sih. Nanti aja lah." Ridha mengangguk. Ia tahu Zura bimbang. Sebagai anak broken home, Azzura memang enggan pulang ke rumah. Yah untuk apa pulang kalau justru tak memberikan ketenangan sama sekali? Setiap hari hanya mendengar kedua orangtuanya ribut tak berkesudahan. Menuduh-nuduh melakukan santet lah apa lah. Azzura pusing. Haaaah. Kadang kejiwaan ibunya juga baik sih walau kadang kumat. Ia tak paham dengan apa yang terjadi. Ia hanya ingin hidup setidaknya dengan tenang walau cuma sebentar. Tapi masalah memang selalu datang kapan saja kan ya? "Dha! Gue berangkat duluan!" pamitnya. Ridha baru bangun tidur dan hendak mandi. Sementara Azzura sudah rapi dan bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Abang ojeknya sudah tiba di depan gerbang kosan. Ia segera berjalan menuju gerbang lalu naik ke atas motor usai memakai helm-nya. Perjalanan ke kampus tak begitu jauh. Hanya swkitar delapan menit sudah tiba di fakultasnya. Usai membayar, ia langsung masuk ke gedung fakultas. Kebetulan ada seminar yang harus ia hadiri hari ini. Seminar di bidang kesehatan. Ia termasuk salah satu panitianya maka itu ia melangkah terburu-buru menuju ruang aula di mana banyak panitia lain sudah berdatangan untuk membantu menyiapkan seminar hari ini. Yabg rencananya akan diselenggarakan pukul sepuluh nanti. "Bu Zura udah datang tuh!" Salah satu panitia langsung berteriak ketika melihat kemunculannya. Yeah, sudah bertahun-tahun belakangan ia akrab dengan panggilan ini. Ibu Zura. Dulu ia merasa tua sekali dnegan panggilan ini. Tapi sekarang? Bukan kah memang sudah seharusnya? Ya karena memang diusianya sudah banyak yang menggendong anak bukan? Ia bahkan punya pengalaman yang masih sangat ia ingat dengan jelas ketika terakhir hendak kembali ke Jogja dan ia berangkat dari kampung halaman. Di ruang tunggu bandara, seorang ibu-ibu yang berusia lima puluhan tahun terus memanggilnya dengan sebutan ibu ketika mengajaknya mengobrol. Rasanya aneh sekali. Karena ia merasa si ibu itu masih seusia dengan ibunya di rumah. Agak merasa tersinggung karena mungkin wajahbya terlalu tua untuk perempuan seusianya? Rasanya menyedihkan. Karena perempuan memang kerap insecure dengan hal-hal yang tampaknya bukan urusan besar. Tapi perempuan memang sangat sensitif jika berbicara fisik dan juga usia. Jadi wajar kalau ia tersinggung. Meski ia tak mau meributkan hal semacam itu. Ia hanya belum terima dan bekum beradaptasi dengan panggilan ibu. Karena menurutnya yaa lebih tepat panggilan itu untuk perempuan yang sudah berumah tangga. Dibandingkannya yang masih jomblo begini. @@@ Ia tersenyum kecil. "Baik lah, selanjutnya dokter Ayu akan menyampaikan materi mengenai pelayanan kesehatan digital di rumah sakit. Kepada dokter Rahayu, kami persilahkan," tuturnya. Ia kembali ke kursinya lantas mematikan mikrofon takut ceroboh. Kemudian fokus mendengarkan apa yang disampaikan oleh sang pembicara. Sebenarnya, ia bukan lah perempuan yang pandai bicara. Awalnya ia memang gugup setengah mati. Tapi semakin lama, sudah terbiasa. Ia akhirnya sering didapuk sebagai MC dalam seminar-seminar yang diselenggarakan di kampus ya khususnya, di fakultasnya. Sementara itu di pojok sana, seseorang baru saja datang. Ia tampak duduk tergesa-gesa. Merasa sudah terlambat datang. Tak lama, datang seorang cowok dari arah pintu dan tampak celingak-celinguk. Lalu saat melihat sosoknya, ia segera datang menghampirinya. "Datang juga lo?" Cowok itu terkekeh-kekeh. Mereka sempat bertos ria sedikit lalu kembali fokus ke depan. Pemandangan di depan sana jauh lebih indah dibandingkan dengan lelaki di sebelahnya. Ya kan? Sang pembawa acara seminarnya sungguh menarik. "Gue kira enggak bakalan datang." Ia sudah tak mendengarnya Cowok itu fokus pada sosok Azzura yang duduk menyimak di depan sana. Tampak fokus sekali dengan pembicara. Zura juga sibuk mencatat poin-poin dari apa yang dibicarakan oleh sang narasumber. Larena nanti akan ia ulang sedikit setelah si narasumber selesai bicara. Lalu cowok ini tersenyum kecil. Sedari dulu, ia memang sudah bangga dengan perempuan di depan sana. Karena memang selalu berada di depannya. Jauh di depannya. Perempuan berada di depan laki-laki untuk persoalan lain tak masalah. Hanya jangan soal kepemimpinan di dalam rumah tangga karena ia pun masih beranggapan kalau kepemimpinan itu adalah urusan lelaki namun tetap ada perempuan di belakangnya kan ya? Ah bukan di belakang tapi di sampingnya. Bukan kah itu jauh lebih keren? "Bener yang itu ya?" Cowok itu mengangguk. Pencariannya berakhir sudah. Telah lama ia mencari gadis itu. Berapa lama ya? Setahun? Dua tahun? Ah entah lah. Tapi baru bertemu beberapa minggu terakhir karena tak sengaja melihat postingan sahabatnya dari kecil. Ternyata mereka bekerja di fakultas yang sama. Dunia sesempit itu ya. Setelah melakukan pencarian yang cukup lama karena kehilangan jejaknya. Akhirnya dipertemukan secara tidak sengaja. Kini matanya menyipit. Jelas banyak yang berubah dari perempuan itu. Ia tampak anggun dengan hijabnya yang menutupi kepala hingga d**a. Wajahnya telah semakin dewasa. Ya jelas akan ada perbedaan. Apalagi waktu yang cukup lama memisahkan mereka. Namun bisa bertemu lagi dalam keadaan seperti ini bagai sebuah keajaiban. "Dia belum menikah kan?" Nata jelas tertawa. "Belum lah. Tapi gak tahu juga, apa udah punya calon atau belum." Mendengar itu, ia menghela nafas y bukan yang lega-lega amat. Rasanya dua belas tahun tak bertemu lagi. Waktu yang sangat lama untuk mereka. Dulu, ia pernah berjanji kalau akan kembali diwaktu yang tepat meski harus menunggu lebih dari sepuluh tahun lamanya. Akhirnya ia kembali juga bukan? Walau dengan cara yang tak terduga seperti ini. Bibirnya masih menyungging senyum. Entah berapa kali dadanya mengucap syukur sejak duduk dan menemukannya di depan sana. "Lo mau ngobrol sama dia?" Ia menggeleng. Ia belum tahu apa yang akan ia lakukan. Untuk beberapa hari ke depan mungkin hanya akan memantau dari jauh. Ia tak tahu apa yang mungkin dipikirkan oleh gadis itu jika melihatnya lagi di sini. Marah kah karena ia pergi tanpa pernah memberikan kabar lagi atau jangan-jangan sudah melupakannya? Rasanya itu memang lebih masuk akal namun juga menyakitkan disaat yang bersamaan ya? "Terus ngapain ke sini?" Pertanyaan itu jelas terdengar jengkel. Susah payah datang ke sini malah tak melakukan apa-apa. Sahabatnya itu terkekeh. Kemudian matanya kembali fokus pada Azzura yang tampak serius. Wajah seriusnya belum berubah. Masih Azzura yang sama pada dua belas tahun lalu. Azzura yang cerdas. Azzura, si gadis teladan di sekolahnya. Azzura, murid kesayangan guru. Azzura, si gadis kalem dan tak banyak bicara. Azzura, yang wajahnya sering memerah tanpa sebab saat di dekatnya. Ah ia ingat sekali kalau dulu ia masih melihat rambut panjangnya yang sering meliuk mengikuti pergerakan kepala pemiliknya. Kemudian senyuman manis dengan lesung pipi di sebelah kiri yang cantik. Perempuan yang berhasil mengalihkan dunianya saat ia pindah ke sekolah dihari pertama ia masuk. Mengingatnya lagi membuatnya bagaikan berputar pada kenangan masa-masa indah di SMA dulu. @@@ "Wooi Ada murid baru! Ada murid baru!" Anak-anak heboh. Azzura hanya mengerutkan kening. Banyak orang membicarakan itu di kantin. Walau i sudah mendengar kabar itu dari pagi. Tapi apa perdulinya? "Ganteng cuyy! Dia masuk kelas X6 tuh!" "Oh ya?" "Iyaaaa katanya pindahan dari Jogja!" Zura geleng-geleng kepala mendengar gibahan itu. "Ganteeeng katanya, Zuur!" Teman-temannya ikut-ikut gaduh padahal belum lama duduk. Sedangkan Azzura cuek-cuek saja. Gadis itu sibuk menghabiskan baksonya. Ia lapar sekali karena tak sempat sarapan pagi tadi. Tantenya kan sibuk jadi tak akan sempat memasak untuknya. Pagi-pagi si tante pasti sudah berangkat kerja. Lalu kini suasana kantin semakin gaduh. Suara berisik-berisik tentang murid baru itu semakin kencang terdengar ke telinga Zura. Meski tak lama, tiba-tiba senyap. Hening begitu saja. Kemudian semua mata tertuju pada orang yang baru saja dibicarakan. Azzura menoleh ke sekitar karena heran. Teman-teman satu mejanya juga ikut mencari penyebab kesenyapan ini. Lalu? Azzura juga melihatnya. Daebak! Ia hanya sedetik melihat lalu kembali sibuk dengan baksonya. Ya ganteng sih tapi lihat lah bajunya. Ia bisa menangkap kesan kalau sisi nakal cowok itu begitu kentara. Murid baru dan baru masuk hari ini tapi bajunya sudah keluar dari celana dan dasinya pun tak ada, astagaaaaa. Padahal mereka wajib mengenakan dasi setiap hari Senin hingga Kamis loh. Anak nakal. Itu kesimpulannya. Ia spontan menggelengkan kepalanya. Ia paling malas berurusan dengan cowok nakal. Ia bergidik. Jangan sampai berurusan dengannya. Ia menguatkan tekad itu di dalam hati. Mau seganteng apapun kalau nakal tetap harus dijauhi demi kenyamanan hidupnya sendiri. "Bad boy gitu kayaknya ya? Ye gak sih?" "Bener! Bener!" Tak ada istimewa dari cowok itu kecuali wajahnya yang Azzura akui memang rupawan. Ia tak bisa menampik. Tapi kesan nakalnya terlihat. Tengilnya juga. Kentara sekali. Heish omong-omong kenapa ia jadi ikut-ikutan seperti cewek lain? Ia memejamkan mata untuk sesaat. Oke, fokus pada baksomu, Zura. Ia mengingatkan hatinya kuat-kuat. "Gilaaak! Gilaaak gak sih! Bisa kalah tuh si Kak Dimas cakepnya!" seru Ria. Tapi baru heboh saat tiba di kelas. Azzura tak ambil pusing. Ia malah mengambil duduk kemudian mengeluarkan buku cetak untuk pelajaran selanjutnya. Dari pada pusing memikirkan puji-pujiannya Ria untuk cowok itu dan ah ia tak tahu namanya dan tak mau tahu. Oh ya, Kak Dimas itu adalah anak band di sekolah ini. Ya tipikal cowok ganteng, jago nyanyi dan ber-attitude. Setidaknya Kak Dima memang lebih baik dari cowok itu. Bukan yang suka nakal meski anak band. Yaah emang tidak semua anak band itu nakal. Selain Kak Dimas? Ah yaaa...Kak Raga yang gak kalah kecenya. Mukanya sih gak ganteng-ganteng amat tapi manis dan berwibawa sekaligus menjabat sebagai ketua OSIS. Sejak awal masuk sekolah, Azzura menaruh hati padanya. Cowok itu cerdas dan Azzura suka yang seperti itu. Oh ya, ada lagi kakak kelasnya yang lain yang juga ganteng. Namanya Andy. Dia itu adalah cowok paling pintar di sekolah. Kalau menurut anak-anak di sekolah, yang kurang dari cowok itu hanya satu. Apa? Dia itu cupu! Cupu bagi Azzura tak masalah. Walau akan diolok-olok. Kan yang ia cari memang bukan tampang tapi kecerdasan. Omong-omong ia mencari teman kelompok belajar atau pacar sih? Hihihi. Oke ia tak berniat juga untuk mencari pacar sebetulnya. Lalu dengan kehadiran cowok pindahan itu jelas menambah daftar kehadiran cowok-cowok ganteng yang ada di sekolahnya. Cewek-cewek akan mengantri untuknya. Kenapa drama semacam ini banyak sekali bertebaran di sekolah? Bahkan bukan hanya di televisi. Ia sampai bosan. Apa tak ada cerita lain ya? Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Namun Azzura masih setia menyudahi catatannya. Ia memang belum akan keluar kelas kalau belum benar-benar selesai. Dan teman-temannya hanya menggelengkan kepala. Sudah hapal dengan kelakuan Azzura. Sedangkan mereka sudah bersiap-siap keluar untuk menyambut angkot di halte sekolah. Yaaa Zura memang begitu. Si anak teladan sekaligus juara satu kelas. Semua guru akan menyebut namanya jika urusannya dengan perwakilan sekolah. Walau bukan yang cantik-cantik amat atau tidak dengan latar belakang keluarga kaya, setidaknya Zura dikenal sebagai gadis yang pintar dan itu semua dari usahanya sendiri bukan dari orangtua atau bahkan sogokan. Ia hebat karena usahanya sendiri. Bukan kah itu lebih baik? "Duluan aja," tuturnya pada Ria. "Oke," gadis itu pamit segera karena ingin segera merebahkan badan di atas kasur. Padahal rasa-rasanya lebih banyak duduk di bangku tapi kenapa lelah sekali? Ah ia lupa kalau ia menggunakan otaknya. Haha. Duduk bersama Zura membuatnya lebih banyak belajar. Kakau tak tahu ya tinggal tanyakan saja. Zura pintar dan pandai menjelaskan. Ia juga nyaman kalau belajar dengan Zura. Gadis itu tak pernah berlagak menggurui. Yang lain juga suka belajar padanya karena tak pelit seperti anak-anak yang berperingkat lainnya. Pada saat ujian juga begitu. Itu yang membuat anak-anak takjub sampai Ria juga pernah bertanya. Apakah Zura tak takut kalau nilainya akan dilampaui oleh teman yang lain? "Yang penting itu ilmunya, Ya. Bukan nilainya. Apa gunanya nilai tinggi tapi gak tahu apa-apa?" Ria terkekeh kala itu. Ia juga merasa tersinggung tapi Zura tak bermaksud begitu. Sepuluh menit kemudian, Azzura baru keluar. Bertepatan dengan teman-temannya yang sudah selesai piket kelas. Mereka berjalan bersama menuju gerbang, melintasi lapangan sekolah yang sangat luas. Kemudian tiba-tiba ada bola yang melesat ke arah mereka. Teman-temannya kompak menghindar namun sialnya bola itu... "Aauuuuuuuuww!" Kena? Yaa bukan kena kepala tapi tangannya. Ponselnya yang tadinya sedang digenggam sudah terlempar dan masuk ke dalam selokan kering di sebelah kanannya. Teman-temannya ternganga melihat itu dan orang yang mengejar bola itu malah muncul. "Duuuh! Sorry!" Ia malah mengaduh. Bukannya Zura yang harus melakukan itu ya? "Kena ya?" tanyanya. Zura berdesis pelan. Harus ya bertanya? Tapi cowok itu malah fokus pada punggung tangan Azzura yang memerah. Yang Azzura pusing kan itu bukan tangannya melainkan ponsel itu. Ia mengeluh dalam hati. Bagaimana caranya ia meminta uang untuk membeli hape baru? Tinggal di Jakarta saja menumpang pada tantenya. Astagaaaa! "Jangan pegang!" cegatnya saat tangannya hendak ditarik lelaki itu. Matanya melotot. Tangannya bisa diobati tapi ponsel ituuuuu! Ia menatap tak percaya pada ponselnya yang tercerai berai di telapak tangan Aldo. "Tadi kena hapenya tuh," tutur si Aldo pelan. Agak takut berbicara dengan anak baru di dekat mereka. Ini yang membuat Zura jengkel. Saat Azzura hendak mengambil ponselnya eeh cowok itu sudah mengambilnya dulu. "Gue ganti aja ya." Azzura mendengus. "Lo pikir itu gampang diperbaiki apa?" Teman-temannya ternganga. Jelas saja ia marah. Biar pun butut, itu kan ponselnya. Ia tak punya ponsel lagi dan itu akan sangat menyusahkan hidupnya. Yaa bagaimana ia berhubungan dengan teman-teman sekolah kalau ada tugas? Kalau urusan keluarga masih gampang karena bisa menumpang pada ponsel Tantenya. Tapi urusan sekolah? Haaaah! Aldo menyenggol lengannya. Ia tahu sih si kalem Zura bisa meledak juga. Tapi masalahjya ini cowok.....cakep meeen! Maksud hatinya yabg melambai ini, jangan dimarahi dong cyyynn! "Gue bawa dulu." Cowok itu mengantongi ponsel itu sebelum direbut Azzura sembari melihat nama gadis itu di seragamnya. Azzura Camelia. Kemudian ia tersenyum kecil. "Nanti malam gue anterin lagi ke elo. Gimana?" Azzura mendengus. Ia mengulurkan tangannya. Jelas tak sudi. "Balikin aja sini. Gak perlu diganti." "Saya kan mau tanggung jawab, Non. Sebagai cowok, itu sudah kewajibannya apalagi kan memang salah saya. Kagak ada apa-apa juga, saya berani tanggung jawab kok, non," tuturnya lantas mengambil bola dan berjalan ke arah teman-temannya. Ia abaikan dengusan jengkel milik Zura. Tak lama ia malah menghentikan langkah. "Eh iya, saya minta alamat rumah lo, non." Azzura malah mendengus lantas mengalihkan tatapan. Wajah juteknya keluar tapi cowok itu malah menahan senyum. Kok malah gemas ya melihat Azzura yang tampak marah begitu? "Anterin aja ke kelas gue besok pagi." Ia mengangguk-angguk. "Oke. Kelas berapa?" "X1." Cowok itu mengangguk-angguk lagi sambil mengulum senyum. "See you," pamitnya lantas mengedip dan meninggalkan Azzura dan teman-temannya yang terkapar. Eeh Azzura gak ikutan terkapar karena pesonanya deh. "Duh kayaknya gue jatuh cinta deh sama dia, Zuur." "Apaan coba!" Mereka terkekeh. Lalu kembali melanjutkan langkah. Sementara itu, cowok itu mengambil duduk di pinggir lapangan. Ia menaruh pecahan-pecahan ponsel di dalam tas secara sembarangan., ya maksudnya memang dilempar begitu saja. "Lo kenal cewek tadi?" "Siapa maksud lo?" "Yang tadi." Ia mengendikan bahu ke arah Zura dan teman-temannya yang sudah menjauh sebagai kodenya. "Azzura?" Agus terkekeh. "Jutek, bro. Banyak yang mau tapi pada takut ngedeketin dia. Mana dia pinter lagi. Bikin cowok-cowok kayak gue ini minder meeeen." Ia mengangguk-angguk. Lantas tersenyum tipis. Menurutnya, gadis itu menarik. Walau mungkin kurang bersahabat. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD