3. The Trouble is Back!

1063 Words
Ares memasuki bangunan gedung bergaya minimalis dengan langkah penuh percaya diri. Setelan serba hitam dari Prada yang membalut tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki seolah menambah kepercayaan diri laki-laki itu untuk mengangkat dagunya tinggi-tinggi ketika memasuki area lobi gedung kantor berdelapan lantai tersebut. Tulisan besar dengan huruf tegak berwarna silver bertuliskan HS Entertainment akhirnya menyapa Ares setelah hampir dua tahun ia tidak melihatnya.   Seorang perempuan yang bertugas di meja resepsionis langsung mengenali Ares ketika lelaki itu mengetukkan jemarinya di meja resepsionis yang terbuat dari marble. “Halo, Cindy, long time no see, ya?”   “Mas Ares?” Perempuan bernametag Cindy yang hari itu mengenakan kemeja cerah berwarna biru langit tampak sedikit terkejut dengan kehadiran laki-laki yang mengenakan kacamata hitam Dior itu di hadapannya. “Kapan balik ke Indonesia?”   “Dua hari lalu nih.” Ares lalu memasang senyum super cerah miliknya yang selalu berhasil membuat kaum hawa setidaknya menahan napas untuk beberapa detik saat melihatnya. “Cindy, gue minta kartu akses yang bisa ke lantai Pak Boss dong.”   “Memangnya id card Mas Ares ke mana?” tanya Cindy sambil mulai menuliskan sesuatu di layar komputer untuk mengurus kartu akses yang diminta Ares. Karena kartu visitor biasa tidak akan bisa digunakan untuk mengakses lift ke lantai ruang kerja bosnya, maka Ares harus meminta kartu akses khusus, biasanya hanya untuk tamu VIP.   “Ketinggalan di LA kayaknya.” Ares sedikit memajukan tubuhnya, “Gue udah dapet izin Pak Boss, kok.”   Cindy hanya geleng-geleng kepala. Tetapi karena Ares adalah salah satu dari jajaran aktor papan atas yang bekerja di bawah naungan HS Entertainment, maka Cindy tidak ragu untuk langsung memenuhi permintaan lelaki itu. Setelah selesai, Cindy memberikan kartu akses lift dan gate berwarna silver dengan tulisan VIP Visitor kepada Ares. “Welcome back, Mas Ares.”   Ares menurunkan sedikit kacamatanya hanya agar matanya yang berkedip sebelah dengan genit dapat dilihat oleh Cindy. “Thank you, pretty.”   Meski Cindy tahu jika semua ucapan yang keluar dari mulut seorang Antares Pramudya Hadinata mungkin hanyalah madu beracun, perempuan itu tidak bisa untuk tidak tersipu.   ***   “I’m back, Boss!” Ares merentangkan tangan siap untuk memeluk seorang pria berkemeja hitam yang berdiri di hadapannya saat ini. Dia adalah Bara, direktur utama HS Entertaintment. Sebuah production house dan juga artist management yang memanage belasan aktor dan penyanyi ternama di Indonesia. Salah satunya adalah Ares.   “You need to explain, Ares.” Bara mundur untuk menolak pelukan Ares. “Hendrik jemput lo di bandara, tapi lo udah cabut. Lo balik naik apa? Ke mana?”   Ares mendengus. Meski laki-laki di hadapannya saat ini secara teknis adalah atasannya, tetapi Ares tidak perlu bersikap terlalu formal atau sopan, karena sesungguhnya mereka adalah teman masa kecil. Usia Bara memang hanya lebih tua tujuh tahun dari Ares yang kini baru berusia tiga puluh tahun.   Bara dan Ares bertetangga sejak kecil dan nyaris menghabiskan masa kecil mereka bersama-sama, hal itu juga yang membuat Bara menganggap Ares seperti adiknya sendiri. Maka ketika Ares mendatanginya hampir sepuluh tahun yang lalu saat Bara baru saja mengambil alih perusahaan untuk bergabung menjadi talent di managementnya, Bara menerima lelaki itu dengan senang hati.   Tapi tidak pernah dalam sepuluh tahun ini Bara tidak menyesali pilihannya menerima Ares. Meski lelaki itu berbakat dan membawa banyak profit untuk perusahaannya, attitude lelaki itu bikin Bara pusing kepala!   “Lagian si Hendrik lama banget, harusnya gue keluar arrival gate, dia udah nangkring dong nungguin gue. Lo kan tahu sendiri Bang, gue orangnya nggak bisa nunggu.”   “Siapa yang lo panggil ‘Abang’?” tanya Bara dengan nada tajam. “I’m your boss here, Ares, watch your attitude.”   “Duh galak.” Ares mencibir, tetapi melihat tatapan tajam Bara, Ares menyerah untuk menjadi lebih menyebalkan dari ini. Setelah melepas kacamata hitamnya, Ares pun duduk di sofa seperti anak baik. “Iya sori, Bapak Bara, my Boss.”   “Lo ke mana semalam?” Akhirnya Bara ikut duduk di sofa menghadap ke arah Ares. “Hendrik ke apartemen lo tapi katanya lo nggak balik ke sana.”   “Ke rumah Eyangti.”   “Nggak usah bohong. Semalam gue di rumah Eyang Uti sampai jam sebelas nemenin beliau yang nungguin lo balik. Dan sampai tadi pagi pun, gue tahu lo belum balik ke rumah.”   Ares merasakan dadanya dipukul ketika mendengar penuturan Bara soal Eyangti yang menunggunya pulang. Ares memang berbohong, semalam dia tidak langsung pulang ke rumah neneknya di Senopati atau pun kabur ke apartemen pribadinya yang ada di Kuningan.   Karena Ares tidak kunjung bicara, Bara akhirnya kembali membuka bertanya, “Lo ke rumah Giandrani, Res? Really?”   Mendengar nama itu di sebut, Ares langsung menatap Bara dengan tatapan sengit. “Apaan nih, perasaan di kontrak kerja ada pasal di mana management nggak boleh ikut campur soal urusan pribadi gue, deh?”   “Gue nanya sebagai abang lo, bukan bos. Serius, Res, berapa kali gue bilang—”   “Kalau gue nggak boleh ada urusan lagi sama dia di luar kerjaan?” Ares terkekeh dengan nada penuh sarkasme. “Tenang aja Bang, nggak ada yang bakal tahu kok kalau seorang Antares pergi malam-malam ke rumah Indonesian’s sweetheart, Giandrani Hesti Pradipta buat nidurin dia. Aman.”   “ARES!”   “Lo kayak bapak-bapak banget Bang kalau udah bentak-bentak gue. Kayak ayah yang lagi ngomelin anaknya. Lo kalau ngomelin Rayn pasti begini, ya?” Ares tertawa, mengabaikan raut cemas dan khawatir yang kini menguasai wajah laki-laki di hadapannya saat ini. “Sok tahu banget gue. Bahkan bokap gue sendiri aja nggak pernah tuh ngomelin gue, saking sibuknya.”   Bara menghela napas. Pembahasan soal keluarga selalu membawa atmosfer kurang menyenangkan pada Ares. Dan lelaki itu tidak ingin memperburuknya. “Kita balik sekarang, Eyang Uti udah nungguin lo semalaman.”   “Iya, abis dari sini gue mau balik kok.” Ares menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. “Gue pasti balik, kan gue mau kawin.”   “Menikah.” Bara mengoreksi. “Semalam Eyang Uti kasih lihat gue foto calon istri lo, manis.”   “Ya udah Bang, lo aja gih nikahin dia.”   Bara memutar mata. “Hari ini lo sama dia bakal kenalan resmi, kan? Ngapain lo malah ke sini dan bukannya langsung balik ke rumah?”   Ares memasang cengiran. “Mau minta tolong urusin cewek, namanya Selena. Model yang jadi lawan main gue di series netflix terakhir gue kemarin yang meranin Abigail.”   “Lo ngapain lagi Ares…”   Ares bangkit dari sofa sambil memasang kembali kacamata hitamnya. “Dia ngancam mau nyebarin video s*x gue sama dia di ** kalau gue nggak minta maaf karena udah ngusir dia terakhir ketemu hari itu.”   “What the f**k, Res?” Bara langsung memijat pelipisnya. Bahkan Ares belum menginjakkan kakinya di Indonesia lebih dari dua puluh empat jam dan kini sudah membawa masalah baru untuknya, benar-benar bikin pusing!   “Thank you, Pak Bos!” Ares memasang cengiran badung tanpa benar-benar merasa bersalah lalu bergegas meninggalkan ruang kantor Bara sebelum lelaki itu benar-benar meledak. “Bye-bye Bang, gue mau nemuin calon istri gue dulu!”  Lalu Ares benar-benar menghilang dari pandangan Bara.   Kasihanilah gadis manis yang akan menjadi istri dari titisan iblis itu. Batin Bara prihatin. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD