2. Polos

1639 Words
Eva tercengang saat sang ayah membawanya ke Hotel Glory. "Bukankah ini hotel tempat Ayah bekerja?" tanyanya kepada Markus yang kini mulai berkeringat dingin. Pria itu tampak mengusap kening yang basah oleh keringat berkali-kali. Markus lupa bahwa Eva belum berpengalaman dalam di ranjang sama sekali. Selama ini, Markus tak pernah melihat Eva berpacaran dengan teman prianya. Jangan-jangan, Declan akan kecewa dan menolaknya? Bila hal ini sampai terjadi, rencananya akan gagal. Utang tak akan lunas. "Eva, pernahkah kau berciuman dengan seorang pria?" tanya Markus gugup. Dia tak ingin mengungkap lebih dahulu tugas Eva malam ini sebelum mereka sampai di kamar hotel. Pria itu khawatir Eva akan melarikan diri bila dia tahu bahwa dirinya telah dijual kepada si playboy–Declan Sawyer. "Eh … iya pernah." Eva menjawab sambil mengernyitkan dahi. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia berciuman. Sepertinya sepuluh tahun lalu saat dia masih berada di sekolah dasar. Sepertinya, jika sudah pernah berciuman, pasti Eva sudah paham apa yang harus dia perbuat nanti bila Declan ingin menyentuhnya. "Baguslah kalau begitu!" Markus kemudian membawa Eva masuk ke hotel dan mereka kemudian menuju kamar yang telah ditentukan. Markus yang masih khawatir, menatap anak tirinya sekali lagi. Dia tahu bahwa Eva mulai takut dan merasa ada yang tak beres. "Ayah, sebenarnya apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya Eva gemetaran. Mata birunya menyiratkan kewaspadaan tinggi. Dia memang polos. Namun, dia tentu tahu apa yang dilakukan oleh pria dan wanita dewasa di dalam kamar tertutup. "Menurutlah, Eva. Setelah malam ini, utang kita akan lunas. Tugasmu hanya menyenangkan Tuan Sawyer dan melayaninya dengan baik sesuai dengan apa yang dia ingin lakukan terhadapmu." Markus menatap mata Eva yang penuh keraguan dan ketakutan dengan tatapan yang mengintimidasi agar gadis itu patuh dan tidak berbuat konyol. Dahi Eva berkerut. Matanya menyiratkan ketakutan yang sangat besar. "Ayah! Ini akan jadi pertama kalinya untukku. Aku ingin melakukannya dengan orang yang kucintai!" Eva meraih kedua tangan ayahnya dan mencengkeram telapak tangan sang ayah dengan erat. Gadis itu memohon agar dibebaskan dari tugas yang menurutnya tidak patut itu. Markus merasakan tangan Eva mendingin dan gemetar. Mata Eva berkaca-kaca karena rasa ngeri yang luar biasa. Dia tak tahu harus berbuat apa selain memohon kepada sang ayah. "Eva, anakku! Semua orang, cepat atau lambat akan melakukan hal ini. Apa bedanya melakukan yang pertama sekarang atau nanti?" bujuk Markus dengan penuh harap. Dia menahan diri untuk tidak memukul Eva karena tak ingin meninggalkan bekas memar di kulit pucat anak gadisnya itu. Berdasarkan pengalaman, sedikit cengkeraman saja akan membuat bekas merah yang sulit hilang dari kulit Eva. "Lagi pula, kau melakukan hal ini untuk Ibumu, bukan?" lanjut Markus dengan tutur kata yang semakin lembut. "Bukankah itu tujuan yang mulia?" Tujuannya mulia, hanya saja, bila caranya salah, tentu tak bisa dibenarkan. Tidak mungkin seseorang diperbolehkan menyumbang yayasan sosial dengan uang hasil merampok atau mencuri. Eva tahu akan hal itu, akan tetapi dia tak bisa membantah Markus. Eva berdiri gemetaran setelah sang ayah meninggalkannya di kamar itu sendirian. Kemewahan kamar itu tak bisa Eva rasakan karena saat ini dia merasa sangat murahan. Gadis belia itu masih terkenang akan kata-kata sang ayah tentang pengorbanan. Eva mencoba menguatkan diri dengan cara tersebut. Seperti apakah Tuan Sawyer yang dibicarakan ayahnya? Apakah lelaki tua? Apakah lelaki yang kejam? Ataukah dia Declan Sawyer pemilik Hotel Glory? Eva mendesah panjang. Bayangan akan Tuan Sawyer yang sering muncul di media menari-nari di benaknya. Dia seperti termakan perkataannya sendiri tadi siang. Tak seharusnya dia menjelekkan nama Declan Sawyer di hadapan Annie. Ini seperti menjelek-jelekkan suatu makanan dan engkau berujung harus memakannya sebagai makan malam dilematis. Jika kau makan, harga dirimu hilang. Jika kau tak makan, nyawamu melayang. Eva merinding saat suara pintu kamar dibuka, menampakkan sosok muda berambut cokelat terang dan mata hijau yang tajam. Lelaki dengan fisik sempurna dan wajah yang begitu tampan itu tampak terpukau dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya. Eva–mau tak mau–merinding, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena terpukau oleh penampilan fisik pria rupawan nan atletis yang kini sedang menatapnya dengan mata tajam arogan. Eva merasa seperti seorang gadis jelata yang sedang dinilai oleh seorang pangeran. Apakah dia pantas untuk berbaring di ranjangnya ataukah tidak. Begitu juga yang dialami Declan. Gadis pirang bermata biru itu begitu memesona di matanya. Gadis belia itu tampak jauh lebih cantik daripada foto yang ditunjukkan oleh Markus kepadanya. Keinginan primal Declan langsung tumbuh saat melihat keindahan yang terbalut busana mini merah marun yang seksi dan sangat ranum menggoda. Mereka hanya bertatapan. Declan sendiri tak mengatakan apa pun dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pria itu memang tak suka bila langsung mengeksekusi teman kencannya tanpa mandi terlebih dahulu. Mandi akan membuatnya segar dan dapat bertahan cukup lama di ranjang. Mata Eva tak sengaja menatap Declan saat pria itu keluar dari kamar mandi dengan handuk putih yang terlilit rendah mengelilingi pinggangnya. Keindahan tubuh Declan terpampang sempurna, membuat pipi Eva merona merah. Declan pun tampak puas dengan pandangan kagum dari mata Eva yang memang terlihat masih polos. Belum pernah sekali pun Eva menyaksikan pria dengan penampilan seperti Declan. Tentu saja tidak pernah karena selama ini yang bergaul dengan Eva bukanlah pria dewasa seperti Declan, melainkan remaja laki-laki yang masih bau kencur. Mereka hanya tahu cara bermain dengan teman-temannya dan hal lain yang menyenangkan diri sendiri. Tanpa menunggu lama, Declan pun mulai membuka percakapan. "Eva, bukan?" Eva mengangguk, menelan ludah. "Ya, Tuan!" Gadis belia itu menjawab dengan sangat gugup. Hanya sekilas pandang, Declan sudah tahu bahwa Eva masih polos. Gadis itu memang belum pernah berkencan karena sibuk merawat ibunya yang sakit. Jangankan punya pacar, teman biasa pun Eva hanya punya sedikit karena dia jarang sekali bersosialisasi. Malam ini akan menjadi malam pertama untuk Eva disentuh seorang pria. Sangat menyedihkan karena dia akan menjualnya demi sejumlah uang. Seandainya saja ada rasa cinta di malam ini, Eva pasti akan lebih bahagia. Declan mendekati Eva dan mengecup bibirnya. Melihat Eva yang tidak bereaksi apa pun, Declan langsung tahu bahwa gadis di depannya tak berpengalaman sama sekali–jauh lebih buruk daripada yang dia harapkan. Hal ini sangat membuat Declan kecewa. Dia sama sekali tak menyangka masih ada gadis sepolos Eva yang bahkan tak tahu caranya berciuman. "Hei, apa kau tak pernah mencium seorang lelaki?" tanya Declan dengan suara meninggi. Pandangan yang tadinya penuh nafsu, kini berubah menjadi tatapan malas tak berselera. Eva mengangguk dan menunduk ketakutan. Jawaban yang berbeda dengan yang dia berikan pada Markus karena dia kini tahu yang dimaksud dengan berciuman bukanlah mencium pipi teman kecilnya. "Gadis tak berguna! Kamu sudah membuang waktuku yang berharga!" bentak Declan dengan marah sambil mengenakan kembali pakaiannya dengan cepat. Eva hanya terpaku ketakutan. Apakah dia melakukan kesalahan? Bukankah ayahnya bilang, dia hanya harus menurut kepada Declan? "Sudahlah! Lupakan malam ini dan pulanglah. Dasar Markus sialàn! Dia hendak menjual barang yang belum dipoles sepertimu. Mana mungkin gadis sepertimu ditukar dengan utangnya." Declan sangat marah karena merasa tertipu. Semula, Declan sempat mengira gadis dengan wajah cantik dan penampilan matang seperti Eva pasti akan memiliki pengalaman yang bagus seperti wanita-wanita lain yang pernah dia kencani. "Aku tidak jadi menukarmu dengan utang ayahmu! Sampaikan itu kepadanya!" Eva sangat panik mendengar keputusan Declan. Dia tak ingin pulang dengan tangan kosong. Bisa-bisa Markus marah dan menghukumnya karena dia telah gagal dan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Tak akan ada lagi kesempatan untuk membayar lunas utang setelah dia keluar dari kamar hotel ini. Melihat kondisi Declan yang marah besar, Eva khawatir bahwa Declan akan memberi bunga dan denda di setiap menit keterlambatan mereka dalam melunasi utang tersebut. Eva tak boleh membiarkan hal itu terjadi. "Tuan, saya mohon jangan lakukan itu!" pinta Eva dengan memelas. Declan hanya menatapnya dengan senyuman mencemooh. "Apa kau berharap aku yang akan melayanimu dan mengajarkan padamu tentang cara bersenang-senang di ranjang? Tidak. Aku bukanlah pria sebaik itu!" Eva sangat kebingungan. Kemudian, Eva pun segera memeluk kaki Declan dan memohon kepadanya agar diberi kesempatan sekali lagi. "Saya akan menuruti semua kemauan, Tuan! Apa pun itu. Tolong bebaskan kami dari utang ini!" "Kau pikir aku akan menaruh belas kasihan kepada gadis sepertimu?" olok Declan. "Mungkin di luar sana ada pria yang mau membelimu dengan harga yang tinggi dan kau bisa melunasi utang kalian dengan uang itu!" Declan memakai jaketnya dan bersiap untuk pergi dari kamar. Namun, Eva menghalanginya lagi dengan cara yang sama. "Saya memang tak berpengalaman dengan pria. Tapi saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan administrasi, Tuan!" pinta Eva sambil terus menangis. "Kemampuan bahasa saya tidak buruk." Mendengar kata administrasi, Declan yang tadinya tak sabar pun segera berhenti. Dia teringat akan sesuatu yang sempat membuatnya marah dan gusar tadi siang. Asisten pribadinya memang kebetulan mengundurkan diri karena alasan rumah tangga. Suaminya mendadak pindah kerja ke luar negeri dan dia terpaksa mengikuti suaminya. Lagi pula, Declan tak terlalu suka wanita itu–terlalu tua baginya. Declan hanya mempertahankannya karena wanita itu lama bekerja dengan ayahnya. Declan mengalihkan pandangan ke kaki kanannya yang dipeluk oleh Eva. Gadis yang tak memiliki kekasih dan belum menikah memang akan lebih cocok untuk menjadi asisten pribadinya. Namun, apakah benar dia bisa bekerja dengan baik? "Saya bisa bekerja selama beberapa tahun tanpa dibayar, Tuan!" Suara Eva kini lebih tenang karena merasa Declan akan setuju dan mempertimbangkan tawarannya. "Baiklah! Datanglah ke kantorku jam 9 pagi. Kita lihat besok apakah kamu benar-benar bisa bekerja atau tidak!" Keputusan Declan membuat hati Eva lega. Dia pun mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Declan. Ketika Eva hendak pamit, Declan mencegahnya. "Eits! Mau ke mana kamu?" tanya Declan lagi. "Pulang, Tuan!" jawab Eva kebingungan karena sebelumnya dia merasa diusir. "Bukankah kau bilang bahwa mengurus keperluan pribadiku adalah bagian dari pekerjaanmu?" Declan berkata dengan nada memprotes. Dia melepas lagi sepatunya dan kembali ke ranjang. "Pijat aku sampai pegalku hilang!" "Baiklah, Tuan!" Eva kebingungan. Namun, dia menuruti kemauan Declan sebelum pria itu berubah pikiran. Malam itu, Declan menikmati pijatan lembut Eva. Tak lama, pria itu pun tertidur dan bermimpi indah tentang masa kecilnya yang sudah lama dia lupakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD