2. Ingin kebebasan

1360 Words
Pukul tiga sore, seharunya Stela sudah berada di rumah karena pekerjaannya yang menggunakan sistem sift. Namun si nenek lampir alias ketua Tim Office girl, menyuruhnya untuk lembur. Wanita berumur tiga puluh tahun yang biasa dipanggil Bu Diana itu menyuruh Stela menyapu lantai tertinggi yang ada di kantor ini. Itu artinya lantai yang ditempati ruangan jajaran orang penting, salah satunya si suami. Stela ingin menolak tapi tidak bisa. Dengan langkah lunglai, Stela menaiki tangga satu persatu. Rasanya kakinya mau patah. Ia tidak diperbolehkan naik lift walau lift karyawan. Ia harus menaiki tangga untuk sampai ke lantai lima belas. Tadi pagi dia tidak sempat sarapan karena moodnya rusak. Di jam istirahat ia hanya memakan sepotong roti dan s**u. Saat ini tubuhnya sudah lemas. Stela berhenti sebentar di pertengahan tangga. Ingin rasanya ia mengutuk semua orang yang dia benci, "Hai manis!" sapa seorang pria muda menatap Stela. Stela melihat penampilan pria yang di hadapannya. Jas yang rapi dan sepatu yang terlihat mahal. Pasti orang penting. "Kok melamun?" tanya pria itu. "Gausah sok asyik!" ketus Stela melanjutkan langkahnya. Stela paling benci ada mahluk berjenis kelamin laki-laki yang hobby basa-basi. Stela melanjutkan langkahnya, tapi kerah belakang bajunya ditarik pria itu. Bugh "Akhh!" karena kesal, Stela menendang tubuh pria itu hingga terjatuh ke lantai. Suara yang ditimbulkan cukup keras hingga beberapa orang menatap ke arahnya. "Tuan Reno, Anda tidak apa-apa?" seorang wanita menghampiri pria yang berhasil Stela tumbangan. "Tidak apa-apa, tidak perlu berlebihan," jawab Reno. Semua mata memandang ke arah Stela. Tatapan tajam, intimidasi, bahkan tatapan menilai, Stela rasakan. Stela acuh sembari mendongakkan dagunya angkuh. Stela tidak mudah terintimidasi. Ia merasa benar, tidak akan sudi meminta maaf pada Reno. Stela mulai menyapu lorong, tidak mempedulikan orang-orang yang masih menatapnya. Memang mereka pikir, jabatan bisa membuat orang lain tunduk? Jangan harap itu berlaku untuk Stela. Vicky menggelengkan kepalanya melihat keganasan istrinya lewat layar laptopnya. Sedari tadi Vicky tidak bekerja, yang dia lakukan hanya mengamati sang istri yang sangat menggemaskan. Sudah lama Vicky tertarik dengan Stela. Tepatnya saat gadis itu diajak main ke rumahnya. Rasa penasarannya makin tinggi kala gadis itu sama sekali tidak tertarik menoleh ke arahnya. Stela lebih memilih bermain dengan kucingnya daripada menyapa Vicky yang jelas sangat menggoda. Stela yang berhasil membuat Vicky sedikit gentar. Saat orang tua mereka merencanakan perjodohan, tanpa berfikir berkali-kali, Vicky langsung menyetujui. Ia tertarik dengan Stela sejak pertama kali bertemu. Rasa penasarannya makin menjadi saat ia tau Stela memang sulit dijinakkan. Pukul tujuh malam, Stela baru selesai dengan pekerjaannya. Ia membereskan tasnya, dan bergegas menuju mobilnya. Badan Stela rasanya sangat remuk. Naik turun tangga yang jumlahnya banyak sekali membuat kakinya mati rasa. Belum lagi ia harus diomeli bu Diana karena mencelakai tamu penting. "Awas kalau gaji aku gak naik, aku patahin tulang HRD nya." Stela menggerutu sembari membanting pintu mobilnya. "Ayo jalan!" titah Stela yang langsung dilaksanakan sopirnya. Claudia menyodorkan minum untuknya. "Apa ada masalah, Stel?" tanya Clau hati-hati. Stela bungkam, malas untuk sekadar menjawab. "Aku mau tidur, bangunkan nanti kalau sudah sampai!" ucap Stela yang diiyakan Claudia. Tak berapa lama Stela tidur dengan nyenyak. Vicky yang sudah terlebih dahulu sampai rumah, mulai memberi instruksi pada para asisten rumah tangganya untuk menyiapkan segala keperluan Stela. "Kamu siapkan air hangat untuk nyonya!" "Kamu siapkan makanan, menunya nasi, iga bakar, tumis baby corn. Minumnya Splas lemon!" "Kamu datang ke kamar nyonya setelah nyonya mandi. Pijat kakinya!" Kira-kira begitulah titah sang tuan rumah untuk menyambut kepulangan sang istri. Suara deru mobil membuat Vicky bergegas menuju teras. Nampak Pak Deden membopong tubuh istrinya. Vicky geram melihat tubuh istrinya dalam gendongan pria lain. "Clau, ada apa dengan Stela?" tanya Vicky tajam. "Nyonya hanya kelelahan, Sir. Tadi nyonya bilang mau tidur dan menyuruh saya membangunkannya kalau sudah sampai rumah. Tapi saya tidak sampai hati membangunkannya," jawab Claudia. Vicky mengangguk dan mengambil alih tubuh Stela. Membawanya ke kamar gadis itu. Vicky dan Stela tidur dalam kamar yang berbeda. Dan Stela selalu mengultimatum Vicky untuk tidak memasuki area kamarnya. Dan untuk pertama kalinya dalam satu bulan mereka menikah, Vicky memasuki kamar istrinya yang didominasi warna putih. Ada ayunan, ada bunga-bunga di samping rak buku. Ada juga bola-bola kecil yang diletakkan di wadah yang berada di pojok ruangan. Banyak boneka kecil juga yang tersebar di mana-mana. Di nakas, di kasur, di sofa, bahkan di lantai. Kamar istrinya sangat ramai, seperti anak kecil. Padahal ekspresi wajah istrinya selalu garang. Vicky mengedarkan pandangannya sekali lagi di kamar luas itu. Banyak potret Atlet bela diri di kamar istrinya. Ia tahu siapa Atlet itu. Cristian Felaro, atlet bela diri tanah air yang kerap kali memenangkan medali emas maupun perak. (Ini ngawur nama atletnya). Vicky tidak menyangka istrinya penggemar berat Cristian. Kalau disamakan dengan Vicky, jelas ganteng Vicky. Setidaknya itu yang ada di pikirannya. Vicky merebahkan tubuh Stela di ranjang, tangan besar pria itu mengelus kening istrinya. Rambut Stela yang berantakan membuat Vicky bergaiirah, tapi Vicky bukan suami yang suka memaksa istri. Bahkan sampai sekarang Vicky belum melakukan malam pertama dengan sang istri. Vicky selalu mengagumi istrinya. Wajah cantik dan tidak ada bukti kenakalan perempuan itu sejak sekolah sampai sedewasa ini.  "Kenapa kamu masuk ke kamarku?" teriak Stela yang tiba-tiba terbangun. Vicky tersentak, menatap rambut Stela yang acak-acakan. "Mandilah, jangan banyak tingkah!" titah Vicky menormalkan ekspresinya.  "Kamu siapa ngatur-ngatur aku?" tanya Stela mendelik kesal. Vicky menindih tubuh Stela. Menatap tajam manik mata istrinya yang balas menatapnya tak kalah tajam. "Jangan pikir aku tidak bisa berbuat nekat, Sayang. Patuhlah sebelum aku bertindak lebih!" ancam Vicky menyeringai. "Berat!" ringis Stela mendorong tubuh Vicky. Setelah Vicky menjauh, Stela mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Melihat wajah suaminya dari dekat membuat dadanya sesak. "Menurutlah dengan mereka!" titah Vicky melirik para asisten rumah tangganya yang berdiri di depan pintu terbuka. Stela cemberut kesal. Sudah berapa kali dia bilang, kalau dia tidak mau diasuh seperti bayi. Rani, sang kepala asisten mendekati Stela dan menuntunya menuju kamar mandi. Rani terkekeh pelan melihat wajah masam nyonya nya," Ikuti saja, Nyonya!" ujar Rani terkekeh geli. "Tapi, Bu!" kesal Stela. Hanya Rani yang bisa diajak bersahabat dengan Stela. Peran Rani, Stela anggap seperti ibunya sendiri. Wanita paruh baya itu selalu mengelus rambutnya dengan sayang. Hal yang tak pernah Stela rasakan dari kedua orang tua kandungnya. "Ayo Sayang! Kamu harus mandi. Lihat, kakimu membengkak. Nanti biar dipijat sama Nina," tutur Rani lembut. Stela mengangguk, ia memasuki kamar mandi. Dalam diam, tiba-tiba air mata Stela menetes. Bukan kehidupan seperti ini yang dia harapkan. Ia hanya ingin bebas melakukan apapun yang dia inginkan. Dari kecil, Stela terkekang dalam rumahnya. Papa dan mamanya selalu mengatur dan memaksa dia habis-habisan untuk terus mempertahankan nilai raportnya yang selalu tertinggi. Mereka menuntut Stela harus sempurna. Membelikan beberapa set skincare dan perawatan tubuh untuk Stela. Stela dituntut cantik dan mempunyai tubuh proposional.  Stela Aurora Adiyaksa, seorang putri tunggal Adiyaksa harus sempurna. Karena reputasi bagi keluarga Adiyaksa sangat penting. Dari kecil, Stela tidak pernah merasakan cinta dan kasih sayang dari orang tuanya. Tidak pernah sedikit pun ia diperhatikan mama papanya. Kakak laki-laki Stela juga tidak sehumanis kakak orang lain. Stela berbeda. Ia besar di keluarga yang kaku dan tidak humanis. Hanya reputasi yang dikejar. Stela menutup wajahnya dengan telapak tangan. Meredam tangisan yang makin lama makin menjadi. Apa dia salah, sebagai anak dia ingin diperhatikan dan ingin dikasihi. Bahkan Stela kecil tak pernah merasakan serunya naik komedi putar. Dulu ia sering mengajak papanya ke pasar malam, tapi dengan tegas papanya selalu menolak. Apa salah ia ingin seperti anak kecil lainnya. Stela kehilangan masa kecilnya karena sudah diwajibkan harus belajar, tidak boleh malas, tidak boleh main dan tidak boleh melakukan hal yang tidak penting seperti main ke pasar malam. Masa kecil yang tidak pernah Stela dapatkan membuat Stela kesepian sampai ia beranjak dewasa.  Sampai ia dijodohkan dengan Vicky Sanjaya. Ia kira, ia bisa bebas setelah menikah, tapi nyatanya semua sama saja. Vicky tidak pernah membiarkannya bebas melakukan apapun. Walau semua fasilitas dia dapatkan, itu tidak akan membuatnya bahagia. Stela hanya ingin bahagia, bermain dan menghabiskan waktu menyenangkan dengan orang yang dia sayangi. Namun kenyataan selalu menamparnya, bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Kamar Stela yang banyak mainannya juga bukan tanpa alasan. Stela meletakkan banyak mainan di sana untuk menghibur dirinya sendiri. Kalau bisa, Stela ingin kembali kecil dan mengulang waktu agar dia bisa main sepuasnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD