Prolog

1239 Words
    Di bawah naungan malam yang tengah diamuk badai dahsyat. Gemuruh dan guntur datang bersahut-sahutan. Hembusan udara begitu kuat, sehingga membuat pohon-pohon pinus melekukkan batang. Mematuhi arah tujuan sang angin.          Awan bergerak cepat menutupi cahaya bulan pucat di angkasa. Sesekali bulan bisa melepaskan sinar dari pekatnya awan. Membentuk bayangan-bayangan aneh yang berlarian di tanah.     Sebuah rumah tua yang letaknya begitu terpencil di dalam hutan pinus. Menghindari keramaian masyarakat. Tetap bertahan pada peradaban. Tak terpengaruh akan majunya teknologi yang tengah berkembang pesat, dan menjadi salah satu bidang yang di unggul-unggulkan oleh manusia.     Hanya ada sebuah bohlam lampu berwarna kuning di depan pintu rumah tua tersebut. Sesekali, lampu itu berkedip, sinarnya meredup. Cahayanya tak cukup untuk menerangi bagian depan rumah.     Tiba-tiba, sosok yang memakai jubah panjang hingga menutupi seluruh tubuhnya, muncul dari gelapnya hutan. Perlahan, ia mendekati rumah tua. Wajahnya sama sekali tak terlihat, tersembunyi di balik balutan pakaian berwarna hitam gelap. Ketika ia telah berada tepat di depan pintu, secara misterius pintu terbuka dengan sendirinya. Sosok tersebut kemudian melangkah masuk kedalam rumah tua.     "Hai Luiz, lama tak berjumpa." Sebuah suara yang menggema, menyapanya dari dalam rumah. Bersamaan dengan langkahnya itu, seketika pintu kembali tertutup rapat. Layaknya rumah tua dalam film horor, perabotan kayu dan tengkorak tak dikenal berjajar di sepanjang dinding lembab.     "Emily, memangnya kamu tidak pernah dicurigai tinggal di dalam gubuk reot ini?" Sosok tersebut membuka tudung jubah yang cukup basah akibat derasnya hujan di luar.     "Hanya sekelompok manusia bodoh lagi t***l yang memaksa untuk menjadikan tempat ini sebagai tantangan uji nyali." Suara menggema yang tak diketahui dari mana asalnya, kembali menyahut.     "Lalu, apa yang terjadi dengan mereka?" Sosok itu menampakkan rambut hitam mengkilatnya. Menyipitkan pandangannya ke arah kobaran api yang menari rancak di tengah kotak sempit.     "Tentu saja, kau tahu sendiri, Luiz. Jangan berlagak bodoh." Suara menggema kembali memenuhi ruangan.     Senyum licik mengembang di wajah sosok yang sejak tadi disebut-sebut sebagai Luiz tersebut. Iris mata berwarna merah pekatnya berkilat, menampakkan kengerian bagi siapapun yang menatapnya.     "Kau benar-benar berbakat ya, Emily. Aku mengandalkanmu," desisnya.     "Apapun akan kulakukan untukmu. Kalau kau mengatakan bahwa aku benar-benar berbakat, mengapa bukan aku saja yang tinggal disana?" Kini, suara itu tak terdengar menggema lagi. Sosok, yang awalnya transparan, kini mulai menampakkan wujud aslinya. Seorang wanita dengan rambut berombak merah pekat. Pupil matanya yang berwarna coklat, menatap tajam ke arah pria rupawan yang tengah berada di hadapannya.     "Karena tempat itu tak pantas untukmu. Huh, lupakan … lagi pula itu sudah sepuluh tahun yang lalu." Luiz melepaskan jubahnya yang basah. Memperlihatkan tubuh yang ditutupi oleh mantel berbulu. Pria itu mendekatkan diri ke perapian yang hangat.     "Baiklah. Aku tak akan mengungkitnya lagi." Wanita berpakaian tunik yang menutupi tubuh hingga lututnya, berbalik membelakangi Luiz.      "Hei, bagaimana dengan anak-anak yang kupinta saat itu?" Pertanyaan Luiz menahan langkah wanita berperawakan ideal tersebut. Emily terdiam beberapa saat, mencerna ucapan yang terlontar untuknya.     "Ada apa? Jangan bilang kau belum mendapatkannya." Nada bicaranya kini seakan mengancam. Wanita berwajah keibuan, yang mulai keriput dimakan usia tersebut memalingkan pandangannya, kembali menghadap ke arah Luiz. Emily menghela nafas cukup panjang.     "Aku sudah mendapatkannya. Tenang saja. Walaupun, sangat sulit, tapi aku masih bisa menemukan banyak yang berbakat di antara mereka." Emily mengungkapkan pernyataan.     "Berapa jumlahnya?" tanya Luiz menyelidik.     "Lebih banyak. Sekitar dua puluh. Kamu mungkin bisa menyeleksi mereka sendiri, mana yang menurutmu pantas untuk mewarisi ilmu hitam." Emily melanjutkan langkahnya, meninggalkan pria yang masih berdiri di ruang tengah dengan kobaran api yang memijar cerah. Emily menghilang di balik dinding.     "Wah, banyak sekali rupanya." Luiz kembali mengembangkan senyum licik di wajahnya.     "Tapi, aku tak yakin apakah bisa melindungi mereka. Kau seharusnya tahu kan, Emily. Semenjak terbunuhnya Dark God, keseimbangan di dunia itu semakin kacau. Masing-masing ras mengatakan bahwa ras mereka lah yang paling kuat. Perang bodoh yang terjadi dimana-mana, hanya untuk membuktikan siapa yang paling hebat." Sorot pandangan Luiz meredup. Senyum licik yang tadi menghiasi wajahnya, kini sirna. Digantikan oleh kekhawatiran.     "Padahal, sudah jelas, bahwa yang paling hebat adalah kalian. Para ras iblis." Suara Emily terdengar menggema dari seberang ruangan.     Luiz menggelengkan kepala. "Tak ada yang bisa menjamin. Kupikir, ras vampir juga sama kuatnya. Mereka abadi, selama tidak ada yang menusuknya menggunakan benda khusus tepat pada jantungnya. Kemudian ras werewolves. Mereka juga tidak dapat menua."     "Tapi, mereka masih bisa dibunuh, dengan cara yang cukup simple kalau menurutku. Tidak seperti kalian, ras iblis yang tak mempan jika hanya di bunuh. Tetapi, harus dicincang. Lalu, setiap bagian tubuhnya di segel, kemudian dibuang ke tempat yang berjauhan agar tidak bisa menyatu kembali. Ah, sungguh merepotkan." Emily muncul dari balik tembok, membawakan sebuah cawan perak yang di dalamnya terdapat cairan aneh.     Luiz mengembangkan senyum simpul yang lebih terkesan getir. "Kau benar. Namun, meskipun begitu. Aku heran, bagaimana manusia yang selalu dianggap makhluk paling lemah, mampu mengalahkan Dark God? Aku tak habis pikir."     Emily tersenyum geli mendengar pengakuan Luiz. Bagaimana tidak? Sosok yang menjadi salah satu petinggi iblis, mengkhawatirkan masa depannya. Dengan manusia sebagai halangannya.     "Jalani saja semuanya. Anak-anak itu, kujamin akan mengubah masa depan dunia." Emily memberikan cawan yang tadi berada di tangannya kepada Luiz. Pria itu menatapnya dengan ragu.     "Apa ini?" Pandangannya tak berhenti memandangi cairan yang berada di dalam cawan. Ia tak bisa melihat jelas warna larutan aneh tersebut. Namun, baunya begitu menyengat.     "Bisa ular kobra, yang kemudian dicampur dengan rempah-rempah. Dan sedikit darah suci dari yang sudah terlupakan." Pendar mata Emily menusuk tajam ke arah Luiz.     "Apa maksudmu, dengan 'darah suci dari yang sudah terlupakan'?" Luiz mengulang sebagian ucapan wanita tersebut.     Emily tak menjawab. Ia melirikkan matanya sambil mengembangkan senyum sinis. "Kamu akan tahu sendiri nanti. Anak-anak yang aku bawakan, mereka tak akan mengecewakanmu. Salah satu, eh ... mereka lah yang akan mengubah masa depan duniamu. Maka, perlakukanlah mereka semua dengan baik."     "Kau berani memerintah gurumu sendiri ya." Luiz membalas tatapan tajam Emily dengan tatapan sinisnya. Mata mereka beradu pandang.     "Kamu tak lebih dari sosok iblis bagiku sekarang. Lagi pula, ini untuk kebaikanmu sendiri. Terserah padamu, mau kamu ambil, atau mau kamu abaikan." Emily berlagak.     Luiz tak melepas tatapannya dari lekuk wajah wanita itu. Ia tampak kesal pada perilaku Emily yang menjadi begitu belagu.     "Tapi, biar kuingatkan satu hal. Jangan sampai kamu menyesal di akhir nanti." lanjut Emily. Ia memutar tubuhnya dengan cepat, lalu kembali menghadap ke arah Luiz. Namun, wajah keriput yang tadi ia tampakkan kini telah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Pendar mata yang bulat kecoklatan, hidung mancung yang runcing bagai perosotan, dengan bibir yang sensual. Rambut merahnya menjuntai lembut, tertata rapi. Senyum mengembang di wajahnya.     Luiz mencoba memalingkan wajahnya dari tatapan gadis tersebut. "Dasar penyihir. Apa kamu pikir bisa menipuku hanya dengan penyamaran rendahmu," ujar Luiz terdengar ketus.     "Dasar bodoh. Siapa juga yang mau menggodamu? Aku berubah, karena ingin menyambut tamuku." Emily kembali menyahut getir. Bibir yang semua tersenyum, kini maju dengan kesal.     Tiba-tiba, Luiz seakan menyadari kehadiran seseorang. Ia segera memalingkan wajahnya, menatap apa yang sejak tadi di tatap oleh Emily. Dibalik derasnya hujan, dan kerasnya gemuruh halilintar. Terdapat suara langkah-langkah kaki. Kian mendekat ke arah rumah tua tersebut.     Mereka berdua membisu. Berpacu pada pikiran masing-masing. Namun, tatapan kedua mengarah pada sudut yang sama. Sebuah pintu kayu, yang menghubungkan dengan dunia luar. Keduanya menghitung langkah demi langkah yang terdengar. Dan seperti yang telah diperkirakan, tepat pada langkah ke seratus, pintu kayu itu terbuka. Sosok itu berdiri di depan pintu, menatap kosong ke arah dua orang yang berada di dalam ruangan.     Jantung Luiz berpacu. Ia seakan tak percaya dengan apa yang sedang di lihatnya. Di-dia, tidak, tidak mungkin. Bagaimana dia bisa ada di sini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD