Bab 3

1042 Words
"Jangan pernah berpikir kalau Allah SWT itu, tidak pernah mengawasi hambanya. Beliau adalah orang yang paling peduli akan hambanya, setiap pergerakan kecil bahkan apa yang hendak kita lakukan itu, Allah SWT selalu mengetahui dan mengawasi." Pengajian itu berakhir dengan khidmat. Gus Renjuna yang hendak naik ke motor. Menoleh ketika ada salah satu santri yang memanggil namanya dengan suara sedikit keras. "Astagfirullahaladzhim!" Santri tersebut sedikit kewalahan karena baru saja berlari mendekati Gus Renjuna. Dia ingin memberikan amplop pada Gus Renjuna atas apa yang baru saja di sampaikan, di acara kajian singkat. Gus Renjuna tersenyum kemudian menolak apa yang diberikan oleh salah satu santri. "Apa yang saya bagikan itu ilmu, saya gak minta imbalan. Saya pasti berbagi apa yang saya ketahui." Santri tersebut menganggukan kepalanya, "Alhamdulillah kalau begitu Gus, semoga Allah SWT memberikan rejeki yang berlimpah untuk Gus Renjuna." Sesampainya di rumah, Umi sudah menanti di depan pintu dengan sebuah senyum indah. Senyuman yang mampu membuat Renjuna ikut tertular senyumnya. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Waalaikumussalam." "Aduh anak gantengnya umi sudah pulang, umi udah tungguin daritadi lho! Ayo masuk, Umi mau ngobrolin sesuatu sama Renjuna." Renjuna mengernyit pelan, walau begitu dia sedikit penasaran. Entah apa yang akan disampaikan oleh sang umi tercinta. "Duduk dulu, Umi mau bicara serius sama Renjuna." Renjuna malah celingukan, seakan mencari seseorang yang daritadi tidak terlihat batang hidungnya. "Mas Saka kemana, umi?" Tanya Renjuna. "Lagi pergi sama Abah, udah diem dulu. Umi mau mikir bentar, tadi ada yang umi mau sampaikan." Renjuna terkekeh, "Ya sudah, maaf kalau begitu umi. Lanjut saja mikirnya, Renjuna menunggu." Setelah berpikir cukup lama sang Umi mendekat dengan sebuah senyuman manisnya, "Renjuna, Umi punya temen nih. Anaknya baru aja lulus Madrasah Aliyah, Kira-kira kalau Umi jodohkan dengan Renjuna, Renjuna mau gak?" Renjuna terkejut kemudian menggeleng dengan cepat, "Astagfirullahaladzhim, bukannya kejadian Mas Saka gak cukup bikin Umi sama Abah sesal sendiri?" Umi menekuk bibirnya, "Ya maaf, habisnya umi bingung. Kamu gak ada deket sama perempuan. Emang sih, wajar gak usah deket-deket kalau bukan muhrimnya. Tapi kan tetep aja, Umi sama Abah udah tua lho, mana anak umi cuma dua." Renjuna kembali menggeleng, "Astaga umi, tenang aja. Kalau memang sudah ada jodoh, pasti Renjuna akan bawa segera mungkin ke Abah sama umi." Umi berdecak, "Tapi kapan lho, Umi masih kecewa berat sama Mas mu itu. Akhirnya setelah 2 tahun dia menikah mbakmu memilih untuk menyerah." Renjuna tampak mengernyit penasaran, "Lho, memangnya Mas Saka dengan Mbak Alena bercerai kenapa?" Umi langsung bungkam, niat hati tidak ingin membocorkannya pada Renjuna. Malah gak bisa ditahan, karena selama Renjuna pergi banyak hal yang terjadi. "Ah intinya, kamu akan tau pada akhirnya. Jadi kalau penasaran banget, tanya langsung sama Mas mu itu." Renjuna menganggukan kepala patuh. Di depan boleh tegas dan galak, beda lagi kalau sudah berhadapan dengan Umi. Harus lembut dan pelan, karena beliau adalah orang yang membawamu lahir ke dunia. "Bagaimana kalau Renjuna mengenal dulu, kalau memang ada yang pas kenapa tidak dilanjutkan?" Umi tersenyum cerah, "Bagus! Akhirnya Renjuna setuju. Umi sama Abah udah takut banget kalau Renjuna gak setuju." Renjuna berdehem pelan, "Tapi kalau Renjuna mau dengan pilihan Renjuna sendiri bagaimana umi?" "Ooh tentu saja! Tidak masalah bagi umi sama abah, justru pilihan Renjuna sendiri lebih bagus!" *** "Tumben cepet banget mau pulang, ra?" Maira sedang berada di lift, seseorang tiba-tiba menyapanya. Membuat Maira mau tidak mau menoleh dan mendapati sang atasan yang berdiri disampingnya. Alasan kenapa sang atasan bertanya hal itu kepada Maira, tidak lain karena Maira terlihat buru-buru. "Iya, tiba-tiba ada urusan mendadak." Maira mempercepat langkahnya dan masuk kedalam mobil. Bahkan ketika dia masuk kerja pun, stylenya masih sangat tomboi. Kenapa Maira terlihat tergesa-gesa tidak lain karena Titin. Gadis itu mengabarkan kalau ada sesuatu mendesak sedang menantinya. Maira sudah berpikir yang tidak-tidak mengingat bapak dari pembantu kesayangannya itu sedang sakit. Namun, ketika dia sampai disana. Maira tidak menemukan sesuatu yang salah maupun janggal. Maira melangkah ke arah Titin yang berdiri menantinya dengan sebuah senyuman. "Kamu kenapa? Bapak sama ibu kamu baik-baik aja kan?" Titin menyengir, "Maaf ya non, Titin berbohong. Karena situasi daruratnya bukan bapak, tapi ...," Titin menghentikan ucapannya ketika seorang lelaki datang menghampiri mereka. "Lho, Gus Renjuna," ucap Maira tanpa sadar. Tatapan lelaki itu memang tidak mengarah padanya. Tapi Maira tau kalau Renjuna sedang mengawasinya saat ini. "Beliau yang lagi nyariin Nona, jadi urusan Titin sampai disini dulu ya," kata Titin yang segera mengambil langkah seribu untuk menjauh. "Lho, Eh, Titin!" Panggil Maira dengan suara sedikit nyaring. Gus Renjuna sedikit menarik kedua sudut bibirnya dengan tipis. "Kata Titin, kalian berdua pembantu dan majikan, tapi saya lihat kalian berdua malah seperti adek kakak." Maira mendengus, "Bukan urusan kamu. Lagian ngapain pake nyariin saya segala?" "Maaf kalau saya mencari anda melalui Titin. Karena saya sepenuhnya tidak tau nomer anda, jadi saya bingung harus menghubungi siapa?" Jarak mereka yang sedikit jauh membuat Maira berdecak karena tidak mendengar suara Renjun dengan jelas. "Jadi, tujuan kamu memanggil saya kemari apa?" Renjuna berbalik, "Mungkin anda bisa mengikuti saya." Maira mengernyit, "Untuk apa saya harus mengikuti kamu. Saya curiga, kamu mau berbuat hal aneh ke saya!" "Jangan asal tuduh dulu, niat saya baik kok. Anda bisa ikut dengan mobil anda kalau tidak percaya. Saya naik motor sendiri." Maira yang emang penasaran dan gak mau banyak tanya, segera mengikuti Renjuna dari belakang. Posisinya Renjuna menggunakan kendaraan roda dua itu di depan kendaraan Maira, yang notabenenya roda empat. Renjuna membawanya ke pondok pesantren Al-Kahfi. Gak heran, pikir Maira. Mengingat Renjuna anak kiyai pendiri pesantren ini. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Maira berdiri di depan gerbang, masih ragu untuk masuk. Tak lama dia bisa melihat wanita paruh baya membuka pintu dan melirik kearah Renjuna, baru setelah itu melihat Maira yang masih berdiri di depan gerbang. "Subhanallah, Renjuna datang bawa siapa?" Tanya Umi yang begitu terkejut disertai seringaian kesenangan. Maira jadi salah tingkah, dia tidak tau harus berbuat apa. Jadi mendekat dan mencium punggung tangan dari wanita paruh baya itu. Renjuna mengamati gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Maira. Jangan lupakan tatapan uminya yang kini mengintimidasi dan meminta jawaban untuk semua ini. "Renjuna, ayo jelaskan. Siapa wanita cantik yang bersamamu ini?" Tanya Umi. Renjuna menarik satu sudut bibirnya, "Dia Maira, wanita pilihan Renjuna, umi." Jangan tanya apa yang membuat Maira serasa ingin kabur saat ini juga. Jantungnya bahkan berpacu dengan sangat cepat. Dadanya mendadak sesak, dan dia bingung harus bertindak seperti apa sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD