Pergilah!

1392 Words
Larasita, gadis belia yang baru saja menginjakkan usia di angka delapan belas tahun, dan baru saja di terima di sebuah universitas negeri ternama di kota ia tinggal, Jogja. Saat ini tengah menempuh pendidikannya di semester satu dengan mengambil jurusan ekonomi. Parasnya yang manis dengan rambut lurus sebahu. Tinggi sekitar seratus lima puluh lima senti meter, berkulit putih bersih dan berhidung bangir. Tertegun duduk di ruang tunggu stasiun. Ia menunggu sang kekasih yang bernama Rafly, yang sudah berjanji akan datang menemuinya, sekaligus membawa keluarganya untuk segera meminangnya. Dua jam Sita menunggu dengan penuh kecemasan, namun sang kekasih tak kunjung memberi ia kabar. Hatinya mulai gelisah, pikirannya mulai tidak tertata. Memikirkan kemungkinan hal-hal buruk mulai menari-nari di kepalanya. Ia takut Rafly kabur, ia takut Rafly hanya sekedar berjanji tanpa mau menepatinya. Namun seketika, ia tepis pikiran tersebut. Ia percaya sang kekasih pasti akan datang untuk menepati janjinya. "Rafly, kok belum datang juga ya. Padahal kan janjinya datang jam sepuluh. Ini sudah lewat jam dua belas juga belum datang juga." Lirihnya seraya menggenggam benda pipih yang sedari tadi tak lepas dari tangannya. Sita berdiri, menyebarkan pandanganya sejauh tangkapan netranya. "Raf, kamu dimana? Cepatlah datang!" Lirihnya semakin tidak tenang. "Sita! Sampai kapan kita di sini? Mana Rafly dan keluarganya? Jadi datang nggak?" Seru Yudha dari belakang. Yudha adalah Kakak Sita, mereka berdua kakak beradik. Dua bersaudara ini selalu rukun, perbedaan usia yang hanya dua tahun membuat hubungan mereka terlihat dekat dan nyambung. Saat ini, Yudha juga masih menempuh pendidikannya di bangku kuliah. Mengambil jurusan kedokteran semester enam. Yudha adalah kakak yang baik. Selalu mengayomi adik satu-satunya itu. Kedekatan mereka sebagai saudara kandung selalu membuat Yudha pasang badan setiap Sita berada dalam suatu masalah. "Sita udah coba telfon tapi nomernya nggak aktif, Mas!" Jelas Sita. Yudha bangkit dari duduknya, dengan wajah yang tak kalah cemas seperti Sita. "Niat mau tanggung jawab nggak sih?" Serunya dengan nada suaranya sedikit meninggi. "Mas Yudha sabar! Sita yakin Rafly pasti datang kok. Kita tunggu sebentar lagi ya!" Rengek Sita. Ia masih berkeyakinan, kekasihnya itu tidak akan ingkar terhadap janjinya sendiri. Yudha mendengus kesal, berkacak pinggang seraya turut menyebarkan pandangannya ke setiap sudut stasiun. Tak lama, ia kembali duduk di bangku tunggu. Teng teng teng teng! Bunyi sirine kereta hampir tiba di pemberhentian. Di tambah dengan suara informan yang mengumumkan kedatangan keretanya. Wajah yang sedari tadi melayu, kini sedikit memancarkan semburat harapan di netranya. Hati Sita mulai sedikit lega setelah mendengarkan pengumuman dari informan, bahwa kereta tujuan Bandung-Jogjakarta akan segera tiba. Sita menoleh ke belakang, memandang wajah Kakaknya. "Itu Mas, kereta dari Bandung sebentar lagi datang. Itu pasti Rafly ada di sana." Seru Sita dengan wajah sumringahnya. Yudha tersenyum, lalu berdiri dan menghampiri adiknya. "Syukurlah, akhirnya Yudha datang juga." Sahutnya seraya merangkul pundak sang adik. Kereta sudah mendarat, penumpang yang hendak turun keluar melewati pintu gerbong secara beriringan, namun keberadaan Rafly belum juga ia temukan. Sita menunggu hingga penumpang yang turun habis tak tersisa, berganti dengan penumpang yang hendak naik. Lagi-lagi, keberadaan Rafly tak berhasil ia temukan juga. Ia kembali panik, berjalan menyusuri luar gerbong, dari gerbong paling depan bernomerkan satu hingga nomer tujuh. Namun, lagi-lagi ia tak menemukan wajah Rafly di sana. "Rafly kok nggak ada ya, Mas! Dimana dia? Bukannya kemarin dia juga udah janji saka Mas Yudha kalau dia bakalan datang kan?" Yudha membuang nafasnya kasar. "Sudahlah, ayo kita pulang, kita bicara sama Bapak dan Ibu di rumah. Rafly itu pengecut! Dia tidak akan pernah datang!" Gertak Yudha. "Nggak Mas! Aku yakin Rafly pasti datang. Kita tunggu kereta dari Bandung lagi ya Mas. Aku mohon!" Rengek Sita memelas. "Sita!" "Mas, aku mohon. Rafly pasti datang! Tunggu sebentar lagi ya. Mas!" Yudha membuang nafasnya melewati bibir, sifat keras kepala Sita membuatnya semakin kesal. Yudha terpaksa menuruti kemauan Sita. "Ya sudah, kita tunggu sampai kereta berikutnya tiba, kalau tidak datang juga, kita pulang!" Sita mengangguk, lalu berbalik dan berjalan kembali menuju bangku tunggu. Baru saja Yudha dan Sita duduk, seorang laki-laki menghampiri mereka. Dari penampilannya, ia adalah seorang petugas kebersihan di stasiun itu. "Permisi, maaf, ini dengan Mbak Larasita ya?" Tanyanya langsung berdiri di depan Sita. Sita mengangkat kepalanya. "Iya benar saya. Ada apa ya?" Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kertas yang di lipat dari dalam saku di dadanya. "Ini saya dapat titipan dari seseorang, katanya untuk mbak Sita." Menyerahkan surat. Sita menengok ke arah Yudha, Yudha menganggukkan kepalanya, isyarat agar Sita menerima kertas itu. Perlahan, tangan Sita meraih secarik kertas yang masih ada di tangan laki-laki petugas kebersihan itu. "Saya permisi ya Mbak, Mas!" Pamitnya lalu pergi. Sita membuka kertas berlipat itu. Dalam hening, air mata mulai luruh, deras tak terbendung. Yudha yang melihat adiknya seperti itu, segera menyahut kertas di tangannya, membacanya sendiri. Rahangnya mengeras, kertas di tangannya juga perlahan ia remas. "Kurang ajar! Berani Rafly mempermainkan kita seperti ini!" Ujar Yudha dengan sorot kemurkaan. Sita berdiri, menyebarkan matanya ke seluruh sudut yang ada di stasiun. "Kamu ada di sini Raf! Tapi kenapa kamu sembunyi!" Sita berjalan mengikuti arah kakinya melangkah, berharap bisa menemukan persembunyian Rafly. Yudha terus mengikuti adiknya dari belakang. "Rafly! Rafly! Dimana kamu! Keluar! Aku tahu kamu ada di sini! Rafly!" Seru Sita dengan teriakan, yang membuat dirinya menjadi pusat perhatian seluruh penghuni stasiun. Sita menekuk lututnya di atas lantai, penuh sesenggukan. "Sita cukup!" Seru Yudha yang berdiri di belakang Sita. Ia berjalan mendekati Sita. Rafly memang datang ke stasiun Tugu, tapi ia tidak berani menemui Sita. Ia hanya membayar seorang juru sapu di stasiun untuk menyampaikan sepucuk suratnya pada Sita. 'Maafkan aku Sita, maaf! Aku layak kamu cap sebagai pengecut. Bahkan beribu maaf yang ku ucap pun rasanya tak pantas kau maafkan. Aku belum siap menjalani pernikahan ini denganmu. Usiaku masih terlalu muda. Aku juga masih ingin meraih mimpiku, aku juga tidak ingin mengecewakan kedua orangtuaku.' Batinnya di balik sebuah dinding tempatnya berlindung. Ia bahkan melihat dengan jelas, bagaimana kalutnya Sita yang berjalan ke segala arah mencarinya kesana-kemari. "Sudah lah! Percuma kamu mau nungguin laki-laki pengecut itu sampai tahun depan juga dia tidak akan datang! Ayo pulang!" seru Yudha. "Tapi, mas?" Yudha memegangi kedua bahu Sita, membantunya untuk berdiri. Sita bersi keras ingin menunggu Rafly, namun akhirnya, Yudha bisa membujuknya untuk pulang. Selama perjalanan menuju rumah, Sita tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Sekarang ia harus memikirkan nasibnya ketika kedua orang tuanya tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Mas, aku takut Bapak sama Ibu marah!" ucapnya khawatir. "Ya jelas marah lah! Itu normal!" timpal Yudha. "Aku belum siap." Ujarnya seraya berpegangan pada pundak sang Kakak, tengah membonceng sepeda motor milik Yudha "Belum siap apanya? Kamu sendiri kan yang sudah berani melakukan semua ini? Ya kamu harus mau menanggung segala konsekuensinya!" "Mas, Bapak pasti marah besar ya. Aku takut darah tingginya nanti kambuh kalau tahu ini semua." rengeknya. "Itu urusan nanti! Pokoknya kamu harus bisa menanggung segala konsekuensi dari sebuah tindakan yang sudah berani kamu lakukan!" Timpal Yudha. "Mas bilang juga apa, jangan pacaran dulu. Fokus belajar dulu! Kamu tega melihat perjuangan Bapak sama Ibu yang panas-panasan di sawah dan kamu bayar dengan cara seperti ini? Dari awal Mas ketemu sama Rafly kan udah bilang kalau nggak srek sama dia. Tapi percuma, namanya orang lagi jatuh cinta, ya kaya gitu. Buta mata sama hatinya! Di bilangin dari telinga kanan langsung keluar dari telinga kiri. Nggak ada yang nyantel blas!" Cerocos Yudha. Sita hanya membisu, tak berani lagi membatah kata-kata sang Kakak. "Berapa kali kalian melakukannya?" "Apanya, mas?" "Apanya, apanya! Nggak usah pura-pura bloon gitu kali! Berapa kali kalian kaya gitu?" "Eee, eee, sekali aja Mas!" "Yang jujur!" Tepis Yudha. "Eee, dua kali ding!" "Bohong!" Tepisnya lagi. "Tiga kali, Mas." "Mas nggak percaya!" Sita mengerucutkan bibirnya. "Udah sering sih, tapi kata Rafly nggak akan kenapa-kenapa kok. Makanya Sita mau." Elaknya membela diri. "Terus kamu percaya? Itu namanya kamu yang bodoh!" Sita, lagi-lagi hanya bisa terdiam. Perjalanan pulang berakhir di depan teras sebuah rumah khas Jawa, rumah Joglo dengan bangunan full kayu jati. Yudha mematikan mesin sepeda motornya. "Turun! Kita bicara sama Bapak sama Ibu sekarang. Mas bantuin buat menjelaskan semuanya pada mereka!" Ujar Yudha to the poin. Yudha langsung masuk ke dalam rumah duluan. Sementara Sita masih mematung di samping sepeda motor. Meremas-remas kedua tangannya. Membayangkan nasibnya setelah ini akan seperti apa. Ia bahkan tak sanggup membayangkan jika sang Ayah murka setelah ini. Namun siap tidak siap, ia harus melalui hari ini, apapun keadaannya. "Bismillah, semoga semuanya baik-baik saja." Lirihnya, lalu memberanikan diri melangkah memasuki rumah. Ada apa dengan Sita?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD