Suatu momen,pada saat waktu istirahat, Tan meninggalkan ruang bimbingan dengan langkah pelan. Dia memegang beberapa lembar brosur penerimaan universitas dan sepotong roti yang masih tergenggam erat, berjalan di lorong sambil tenggelam dalam pikiran yang mendalam. Namun, tiba-tiba tatapannya terhenti oleh keindahan warna-warni di ruang klub seni.
Tan tak terasa terhanyut masuk ke dalam ruangan yang sunyi, di mana Bi tengah asyik melanjutkan lukisan yang sedang dikerjakannya. Dengan senyuman lembut, Bi bertanya dengan nada berkelakar, "Hei, kamu tidak berpikir untuk terus memakai ruangan ini untuk persembunyianmu kan? ."
Tan melipat tangannya sambil mengangkat alis, "Apakah ada persyaratan khusus untuk bersembunyi di sini? Hah?"
Bi tersenyum tipis, "Mungkin belum terlalu jelas bagimu bahwa ini adalah ruang klub seni?" Dia tertawa ringan.
Tan melemparkan roti ke arah Bi, kemudian mendekat, "Ambil itu, tukarkan untuk satu kanvas."
Bi mengangkat satu alisnya, "Silakan, tampilkan keahlian serba bisamu,Nyonya."
Dengan mengedipkan mata Tan melangkah mendekati meja tempat Bi tengah berkarya. "Tentu saja, akan kuberikan sesuatu yang bisa 'mengekspresikan' keahlian serba bisaku."
Bi memandangnya dengan tawa lembut, "Baiklah, mari kita lihat apa yang bisa kamu ciptakan."
Tan berdiri dihadapan sebuah kanvas kosong dengan segala keresahannya mencoba untuk mulai mengangkat kuasnya perlahan. Mencoba melupakan sejenak pikiran yang membuat nya kalut. Tan hanyut dalam tiap ayunan tangannya perlahan semakin dalam larut dalam apa yang sedang coba sampaikan dalam kanvas tersebut.
Sementara itu Bi meraih satu lembar brosur universitas yang Tan letakkan di atas meja. Dengan perlahan, ia mulai melipat dan membentuk brosur tersebut menjadi berbagai bentuk yang aneh dan unik. Beberapa putaran lipatan kemudian, brosur tersebut berubah menjadi sebuah burung yang tampak seperti campuran antara elang dan bebek.
Tan yang setelah menyelesaikan karyanya tanpa dia sadari tertawa lepas melihat kreativitas Bi. "Wow, itu benar-benar mengesankan! Siapa sangka brosur bisa berubah menjadi burung aneh seperti itu."
Bi tersenyum puas, "Siapa bilang brosur harus membosankan? Ini adalah persembahan seni yang ekspresif dan orisinal."
Tapi begitu Bi melihat hasil karya Tan, matanya melebar kagum. Goresan-goresan warna itu telah berubah menjadi potret yang mengekspresikan perasaan yang dalam dan kompleks, mengungkapkan lapisan-lapisan emosi yang tak terduga. Bi tersenyum puas, "Wow,terkadang, keindahan dan makna sesuatu tidak selalu hadir dengan mudah, seperti lukisanmu ini, Tan."
Tan mengangkat alisnya dengan santai, "Oh, tolong, jangan mulai dengan psikologi semu ini lagi."
Bi tertawa ringan, "Bukan psikologi semu, tapi seni adalah jendela ke dalam jiwa seseorang."
Tawa hangat mengisi ruang klub seni saat Bi dan Tan berbagi momen candaan yang hangat. Mereka berdua saling melemparkan lelucon tentang seni dan maknanya, menciptakan ikatan yang lebih dalam melalui interaksi santai mereka.
"Baiklah, mungkin aku akan mengambil roti ini sebagai ganti kanvas," ujar Bi sambil mengambil roti yang dilemparkan oleh Tan tadi.
Tan mengangkat bahu dengan nada bercanda, "Mengapa tidak? Mungkin roti itu bisa berbicara lebih banyak daripada kanvas kosong."
Bi tersenyum dan melihat kembali burung elang-bebek yang ia ciptakan dari brosur. "Tapi kamu tahu, saat aku melihat ini, aku merasa senang bahwa keindahan dan kreativitas bisa muncul dari mana saja, termasuk sesuatu yang tampak biasa."
Tan mengamati lukisan Bi dengan penuh kagum, "Benar juga, terkadang hal-hal yang paling sederhana bisa memiliki makna yang mendalam."
Keduanya berbicara tentang seni, makna, dan kehidupan dengan semangat yang tulus. Ruang klub seni yang tadinya sunyi sekarang penuh dengan inspirasi.
Sambil mengamati lukisannya sendiri, Tan berkata, "Aku merasa lega bisa menciptakan sesuatu yang mencerminkan perasaan dan pemikiranku saat ini." Bergumam pelan.
Dalam keheningan ruang klub seni yang penuh dengan karya mereka, Tan dan Bi menyadari betapa seni bisa menjadi jendela yang mengungkapkan jiwa dan keunikan seseorang. Dalam momen-momen seperti ini, ruang dan waktu tampak berhenti, meninggalkan jejak kreativitas, persahabatan, dan pemahaman yang mendalam. Momen mereka berakhir ditandai bel masuk kelas berbunyi.
Setiap kali matahari melorot di langit dan pelajaran di sekolah berakhir, Bi tak pernah absen dari rutinitas harian yang telah mengukir jejak dalam hidupnya. Ia tiba di tepi laut kota, tempat restoran sederhana yang menjadi tempatnya menghasilkan nafkah. Setiap aroma laut yang lembut membelai hidungnya, setiap hembusan angin yang sejuk mengusap pipinya, semuanya menjadi pengingat betapa rindangnya persahabatan alam dengan manusia.
Ketika memasuki dapur restoran, Bi segera meraih celemek dan menyibak tirai jendela untuk memberi ruang pada cahaya senja yang lembut. Ia dengan cermat mempersiapkan bahan-bahan, menghidupkan kompor, dan membawa kembali aroma- aroma lezat yang telah dikenal oleh pelanggan setia. Sambil menggoreng ayam dengan keahlian yang ia asah dari waktu ke waktu, Bi tidak bisa tidak memikirkan hari yang telah berlalu.
Malam itu, ketika pulang dari tempat kerja, Bi tiba di depan pintu rumah kecil yang telah menjadi tempatnya kembali. Paman yang baik hati dan adik kecilnya, Mia, selalu menunggu dengan penuh antusias. Senyum penuh arti menghiasi wajah Bi, dan ia menatap adiknya dengan penuh cinta.
"Mia, kamu tahu apa yang aku bawa?" Bi berkata sambil menahan lelah dan menukarkannya dengan senyum hangat.
Adiknya yang mungil itu langsung meloncat dengan riang, matanya berbinar penuh harap. "Ayam goreng favoritku, Bi!" serunya dengan suara riang.
Tangan Bi mengambil sebungkus ayam goreng dari dalam tas, memberikannya pada Mia. Mata Mia bersinar penuh kebahagiaan saat ia menerima makanan kesukaannya. Ia dengan cepat membuka bungkusan itu dan menggigit ke dalam potongan ayam, sambil mengeluarkan suara kepuasan yang khas.
Saat cahaya senja semakin meredup, kehangatan keluarga terasa semakin nyata di dalam rumah kecil itu. Bi dan Mia saling bertukar cerita tentang hari mereka, tentang pengalaman dan harapan. Melalui tawa dan tatapan penuh pengertian, mereka saling memahami bahwa dalam sederhana hidup ini, mereka memiliki satu sama lain. Keseharian yang penuh perjuangan itu memancarkan kebersamaan yang tulus, menguatkan ikatan mereka lebih dari apapun.
Pada saat itulah, riuh ombak di laut di luar jendela seolah-olah menyanyikan lagu yang lembut. Meskipun pekerjaan dan tantangan telah memisahkan mereka dari orang tua mereka, Bi dan Mia menemukan kebahagiaan dan kedekatan dalam setiap momen bersama, melalui ayam goreng yang sederhana namun sarat makna, di bawah langit senja yang teduh.
Di sisi lain dari kehidupan yang tercermin melalui kilauan laut dan senyum kebahagiaan Bi, ada Tan, seorang gadis yang tenggelam dalam bayang-bayang ekspektasi dan tanggung jawab. Seperti langit yang berbeda saat senja, dunia Tan seakan terbungkus oleh tuntutan yang mengikatnya.
Mewarisi darah seoarang politikus ternama dan pengusaha sukses, Tan tidak pernah diberikan kemewahan untuk merentangkan sayapnya dan mengejar hasrat pribadi. Setiap langkahnya diukur, setiap gerakannya diperhatikan, seolah-olah hidupnya adalah pertunjukan yang harus dipentaskan dengan sempurna untuk menjaga kehormatan dan citra keluarga. Baginya, masa depan bukanlah hak prerogatifnya untuk menentukan, melainkan beban yang harus diemban.
Setiap hari sehabis sekolah, Tan tak punya pilihan selain mengikuti kelas tambahan, menambah beban pikirannya yang sudah terbebani oleh mata pelajaran sekolah dan tanggung jawab keluarga. Setelah itu, ia tak bisa menghindar dari kewajiban untuk bergabung dengan ibunya dalam kegiatan sosial yang rutin dihadiri oleh keluarga mereka. Meskipun suaranya sering kali terdengar dalam kerumunan, sejauh apapun kerumitan tugas yang harus ia laksanakan, Tan tetaplah mengemban peran sebagai seorang yang harus berbicara dengan bijak dan dengan tindakan yang terukur.
Tak lama setelah matahari meredup dan cahaya senja melanda rumah mewah keluarganya, Tan menemui ibunya di ruang keluarga. Sebuah tatapan tajam dari ibunya mengingatkannya akan kewajiban yang tak terelakkan.
Ibu Tan, seorang wanita yang memiliki aura kuasa dan ketegasan dalam setiap gerakannya, menatapnya dengan penuh harap. "Kamu sudah memikirkan tentang universitas tujuanmu setelah lulus?" tanyanya dengan nada yang tegas namun penuh kepedulian.
Tan merasa detak jantungnya semakin cepat, dan tubuhnya hampir terasa kaku oleh tekanan. Ia berusaha menjaga penampilannya tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia merasa seperti burung yang terjebak dalam sangkar emas. "Belum, Ibu," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar.
Ibu Tan mengangguk dengan lembut, "Sudah waktunya kamu membuat keputusan, Tan. Keluarga kita memiliki harapan besar padamu."
Setiap kata yang terucap membuat beban semakin terasa berat di pundak Tan. Ia tahu bahwa pilihan masa depannya haruslah sejalan dengan apa yang diharapkan dari keluarga dan masyarakat. Namun, ia juga merasa bahwa dirinya adalah lebih dari sekadar citra keluarga dan bayangan masyarakat. Ia ingin mengejar mimpi-mimpinya sendiri, menemukan makna di luar kecemerlangan politik dan bisnis keluarganya.
Ketika malam tiba dan bintang-bintang mulai bersinar di langit, Tan duduk sendirian di kamarnya, berpikir tentang keputusan yang harus diambilnya. Di antara tekanan dan ekspektasi yang menekan, Tan merasa ada satu ruang kecil di dalam dirinya yang menginginkan kebebasan untuk mengejar apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia tahu bahwa ini bukanlah pilihan yang mudah, tapi ia merasa semakin yakin bahwa ia harus mencari cara untuk menemukan jati dirinya di tengah jalan yang diukir oleh keluarga dan masyarakat.
Dan dengan tekad yang semakin kuat, Tan pun memulai perjalanan menuju pemahaman tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa yang sebenarnya ia ingin capai dalam hidupnya. Meskipun dihadapkan pada cobaan yang berat, ia merasa bahwa langit masih memiliki banyak warna yang belum ia lihat, dan ia siap untuk menggenggamnya dengan tangannya sendiri.