Bryan melihat Nara masih tetap memejamkan matanya erat-erat. "Vin, katanya dia udah sadar. Mana? Itu masih merem. Lo bohongin gue ya?" tanya Bryan penuh selidik. Dia sudah bersiap menerkam Gavin kalau sampai Gavin membohongi dirinya.
"Diem deh. Dia udah sadar, cuman masih susah buat buka mata. Dia sebenernya udah bisa denger suara-suara yang ada di sekitar. Cuman dia masih kesusahan buat buka mata," jelas Gavin.
Ya, memang benar yang dibilang Gavin. Nara tidak bisa membuka matanya yang terpejam rapat, tapi ia bisa mendengar suara para pria yang gaduh memperdebatkan sesuatu. Nara ingin membuka matanya. Nara ingin tahu, siapakah sosok di balik keributan kecil itu? Meskipun susah, Nara tidak menyerah. Ia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat.
Perlahan tapi pasti. Nara mulai mengerjap-kerjapkan matanya. Ia memejamkan matanya lama saat cahanya intensitas masuk ke dalam retina matanya. Ia menyesuaikan silaunya lampu dengan matanya yang terpejam lama.
Ia mengerjap lagi. Membuka matanya pelan-pelan. Nara tiba-tiba memicingkan mata saat melihat dua pria berdiri di samping kanan dan kirinya. Ia juga sedikit mengernyit heran, sebenarnya apa yang terjadi padanya? Dimanakah dirinya? Kenapa banyak sekali alat-alat yang menempel di tubuhnya. Bau obat yang menyeruak, ruangan yang bernuansa putih, sungguh Nara begitu membenci tempat ini.
"Saya ada di mana?" ucap Nara lemah. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
"Adek, Adek tenang dulu ya? Jangan banyak bicara. Kondisi kamu masih lemah," jelas Gavin.
Bukan Nara namanya kalau ia nurut begitu saja. Apalagi banyak keganjalan yang membuat Nara bertanya-tanya. "Kalian siapa? Saya dimana? Apa yang terjadi dengan saya?" desak Nara membuat mereka kebingungan mau jawab apa.
"Baiklah, akan saya ceritakan." Gavin sudah bersiap untuk cerita.
"Jadi–"
"Tidak perlu. Biar saya saja yang menjelaskan," potong Bryan cepat.
Nara semakin tidak paham dengan mereka.
"Jadi, kamu mengalami kecelakaan. Waktu itu saya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, dan tiba-tiba kamu menyebrang begitu saja. Saya tidak bisa mengendalikan mobil saya, akhirnya kamu tertabrak dan terpental lumayan jauh, membuat kamu tidak sadarkan diri dan harus masuk ruang ICU." Bryan menjelaskan dengan detail.
Nara mencoba mengingat-ingat kembali. Kecelakaan itu, waktu itu Nara sedang buru-buru. Ia menyebrang tanpa melihat kiri–kanan. Dia begitu ceroboh sampai akhirnya, mobil melaju dengan cepat. Nara hanya bisa berteriak. Setelahnya, ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
"Saya ingat," ucap Nara.
"Kamu tidak amnesia?" tanya Bryan langsung.
Nara mengernyit. "Amnesia?"
"Iya, amnesia, lupa ingatan," jelas Bryan.
"Tidak, saya tidak amnesia. Saya masih ingat nama saya. Bahkan tempat tinggal saya, saya masih ingat semuanya." Nara berkata jujur.
"Tapi kata Gavin, Vin jelasin, Vin!" desak Bryan.
Gavin cuman bisa menahan tawanya. "Iya, gue emang pernah bilang, kalau kasus kecelakaan seperti gadis ini, kemungkinan besar memang terjadi amnesia karena benturan keras di kepalanya. Tapi itu tidak semua, Bryan," jelas Gavin. Bryan terlihat sedikit lesu karena kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi. Bahkan, ia berharap jika Nara amnesia untuk selamanya.
"Nama kamu siapa?" tanya Gavin pada Nara.
"Nama saya Nara. Nara Adinda," jawab Nara.
Gavin hanya mengangguk. "Oh, nice name," puji Gavin.
"Pak Dokter," panggil Nara.
Tidak mau dipanggil Pak Dokter, Gavin langsung memperkenalkan Dirinya. "Nama saya Gavin, panggil saja Abang Gavin. Kamu seumuran adik saya yang sudah meninggal lima tahun lalu."
"Dan saya Bryan. Laki-laki yang harus bertanggung jawab atas kesembuhan kamu dan juga masa depan kamu. Maaf, karena saya sudah menabrak kamu. Kamu tenang saja, saya akan tanggung jawab." Bryan terlihat sangat berwibawa, saat dirinya mau mengakui kesalahannya, ia semakin terlihat dewasa.
Nara tersenyum. Senyum yang teramat manis, sampai membuat Bryan dan Gavin tidak berpaling dari senyum itu. "It's okay. Ini tidak sepenuhnya salah Anda. Saya juga salah karena terlalu ceroboh. Sebentar ... maksudnya bertanggung jawab atas masa depan saya, gimana ya?"
"Nanti kamu akan tahu sendiri."
"Aneh!" Nara memutar bola matanya.
"Dokter Gavin," panggil Nara lagi.
"Abang Gavin." ralat Gavin. Entah kenapa Gavin begitu menginginkan Nara memanggilnya Abang.
"Iya, Abang Gavin," ulang Nara. Ia nurut begitu saja.
"Nah, gitu, adek pintar,"
"Abang, kapan Nara bisa pulang? Nara benci tempat ini," keluh Nara pada dokter tampan itu.
Keakraban Nara dan Gavin membuat Bryan sedikit cemburu.
"Bentar ya, Cantik. Kamu harus dirawat di sini dulu untuk beberapa hari. Kondisi kamu belum sembuh total. Sabar dulu ya?" bujuk Gavin.
Nara menggeleng. "Nara gak suka tempat ini. Ayolah," rayu Nara.
"Abang gak izinin. Gini deh, Abang bakalan sering-sering temenin Nara di sini. Sekarang, Nara udah Abang anggap adik Abang. Okey?"
Nara memutar bola matanya malas. "Ya sudah," ucap Nara pasrah.
"Dan sekarang, kamu juga harus anggap saya sebagai kekasih kamu. Mulai hari ini, kamu saya nyatakan sebagai milik saya. Gadis saya. Tidak ada yang boleh mendekati kamu selain saya." timpal Bryan.
Nara membelalakkan matanya. "Hah? Mana bisa gitu. Enak aja. Enggak, saya gak mau!" protes Nara.
"Kenapa? Jadi adeknya Gavin saja kamu langsung mau. Kenapa giliran jadi kekasih saya, kamu gak mau? Ada pacar?"
Gavin hanya bisa menahan tawanya. "Maksa banget sih, Yan? Kalo gak mau ya jangan dipaksa. Pelan-pelan lah."
Bryan mendelik."Sssttt! Diam, Lo!"
"Ya bukan gitu, aneh aja. Masak maksa-maksa saya buat jadi pacar situ," jawab Nara.
"Ya biar. Siapa suruh bikin saya jatuh cinta. Pulang dari sini, kamu tinggal sama saya."
Nara mendelik. "Gak mau! Enak aja."
"Saya tidak suka penolakan! Pokoknya, keluar dari sini kamu ikut saya. Jangan coba-coba kabur dari sini. Pengawasan akan saya perketat," ancam Bryan.
Nara mengadu pada Gavin. "Abang, tolongin."
Gavin mengangkat tangannya. " Maaf, Sayang. Kalau sudah berusrusan dengan Tuan Muda, Abang gak bisa bantu. Bisa habis Abang sama bodyguardnya."
"Ish, bodo amat. Nara ngambek." Nara langsung mengambil selimut dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut itu.
Tingkah Nara yang seperti ini, membuat Gavin dan Bryan semakin gemas padanya.
"Eh, beneran ngambek," ujar Bryan.
"Gara-gara Lo sih, Yan."
"Lah, kok gue? Emang dia aja yang ambekan."
Tiba-tiba Nara membuka selimutnya dan hanya memperlihatkan sampai matanya saja. "Saya orangnya ambekan. Makanya gak usah maksa-maksa saya buat jadi pacar situ dong," sindir Nara.
"Suka-suka saya lah.
Nara terlihat kesal dan menutup lagi wajahnya dengan selimut. "Bodo amat!"
Gavin hanya bisa menggelengkan kepala. "Cantik, buka selimutnya dong. Makan yok! Abang suapin," bujuk Gavin.
"Gak mau, kalau masih ada Om² pemaksa itu," jawab Nara di balik selimut.
"Dih, dibilang Om-Om." Bryan terlihat kesal sementara Gavin sudah terbahak-bahak di depannya.
"Diem, lo. Gak usah ketawa!" omel Bryan
"Iya, Om." jahil Gavin.
"Sekali lagi bilang Om, gue tendang masa depan lo," ancam Bryan.
"Jangan lah, Om. Kasihan bini gue entar."
"Wah, minta ditendang beneran." Bryan sudah bersiap.
"Kalem dong, Yan. Gitu aja sensi." Di luar, Bryan dan Gavin sedang berdebat. Sementara di balik selimut, Nara cekikikan melihat perdebatan mereka.