02 | Bertemu Biru

1390 Words
Bulan membaca pesan dari Langit dengan seulas senyum. Laki-laki itu lagi-lagi berhasil menciptakan sebuah lagu. Siapa lagi sumber inspirasinya kalau bukan si Bintang kecil mereka? Langit masih cerah, belum terlihat bintang-bintang di sana. Namun, Bulan yakin. Saat ini gadis mungil itu tengah tersenyum, turut bahagia dengan suksesnya sang Langit, laki-laki yang begitu dicintai adiknya tersebut. Bulan jadi gemar bertemu dengan Langit, bahkan nyaris setiap hari keduanya bertemu. Mereka kini sudah seperti sahabat yang tidak terpisahkan, bahkan seperti keluarga. Bulan tidak lagi sungkan bercerita tentang apa pun kepada Langit, begitu pun sebaliknya. Meskipun media telah mencium kedekatan mereka berdua dan berasumsi bahwa Langit Angkasa memiliki pacar yang tak lain adalah dirinya sendiri, hal itu tidak membuat keduanya saling menjauh. Lagi pula, Bulan tidak takut dengan gadis-gadis penggemar Langit yang seperti haus akan belaian tersebut! Ew! Ingatlah gadis-gadis, hati Langit hanya untuk cahaya kecil tercinta di atas sana! Bulan mengangkat bahu karena pikirannya sendiri. Ia tersadar dari lamunannya begitu merasakan seseorang tengah mengamatinya. Gadis itu menoleh ke kanan, kiri, bahkan di belakangnya pun tidak ada orang selain dirinya. Rooftop gedung yang ia pijak saat ini memang selalu sepi, tidak ada apa pun di atas sini kecuali bangku-bangku yang tidak terpakai. Biarpun begitu, gedung ini lebih tinggi sehingga Bulan bebas bercerita dengan Bintang yang tengah bersembunyi di balik Langit cerah. Tidak seperti gedung beberapa fakultas lain yang lebih rendah, meskipun terdapat taman atau café mini di atasnya, tapi tidak cukup membuat Bulan puas dengan menyendiri dan merasa bersama Bintangnya. Sekelebat bayangan hitam dari belakang, membuat Bulan kontan mengusap tengkuknya yang lantas meremang. "Hallo? Ada orang?" Hanya desir beberapa daun gugur yang tertiup angin yang lantas menjawabnya, menandakan tidak ada siapa pun selain dirinya di atas sini. Meskipun tidak percaya dengan mitos-mitos mengerikan di kampus ini, tapi Bulan juga tidak ingin mengalami hal yang sama mengerikannya bila semua itu benar ada! Gadis itu memilih berlalu dengan langkah cepat. Semakin cepat. Bulan setengah berlari. Ia berlari cepat menuruni anak tangga, hingga tenggorokannya terasa panas. Bruk. "AAAAKKKHH!" Bulan menjerit kencang. Lengannya memukul apa pun yang ada di depannya dengan kedua mata terpejam. Merasa lelah, Bulan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia takut. "Kakak kenapa? Kakak nggak apa-apa?" Suara manusia! Bulan mengintip dari jemarinya yang terbuka sedikit di wajahnya. Hanya terlihat d**a seseorang itu, hingga ia beranikan dirinya untuk mendongak dan menurunkan kedua tangannya. Tubuh tinggi dan tegapnya bahkan bisa menelan tubuh gadis itu. Postur laki-laki itu membuat Bulan menjadi tampak begitu mungil di sisinya. Raut kecemasan di wajah polos itu membuat lamunan Bulan semakin menjadi. Entah apa yang membuat sosok Bintang tiba-tiba terlintas di benaknya. Bulan bahkan tidak mengedip sekalipun saat laki-laki itu menyejajarkan wajahnya dengan Bulan. "Hallooo???" Lambaian tangannya di depan wajah Bulan membuat gadis itu mengerjap-ngerjap, lantas menyadari ketololannya beberapa detik lalu. Untuk apa melamunkan laki-laki seperti ini? Bulan meneliti penampilan laki-laki di hadapannya dari bawah hingga atas. Laki-laki itu menelengkan kepalanya lantas tersenyum begitu pandangan Bulan terhenti pada sepasang mata hitamnya. Bulan memutar kedua matanya. "Ngapain di sini?" "Mmh...?" laki-laki itu hanya menggumam, bingung seraya menggaruk pelipisnya. "Biru cuma lihat-lihat aja, Kak. Sekalian mau makan bekal buatan Bunda di atas sana," jelas laki-laki itu seraya menunjuk tangga menuju rooftop. Bunda... Entah mengapa cara laki-laki bernama Biru ini mengucapkan "bunda", sama seperti Bintang. Yayaya, Bulan tahu. Banyak sekali orang yang memanggil ibunya dengan sebutan "bunda". Tapi ada yang berbeda dari laki-laki ini. Entah apa. Dan hal itu tiba-tiba saja memunculkan kembali sosok Bintang dalam benaknya. Bulan menggeleng pelan. Ini berbahaya. Bulan tidak ingin berlama-lama di dekatnya atau dia akan terus merasakan kehadiran Bintang dan membuatnya betah bersama laki-laki buruk ini! Belum lagi, Bulan tidak mengenalnya sama sekali. Setahunya, Biru ini adalah juniornya, mahasiswa baru yang kemarin sempat membuat "masalah" kecil dengan Nico. Bulan berlalu begitu saja. Meninggalkan Biru yang mematung mengamati punggung mungil Bulan yang menjauh. Biru mengembuskan napasnya berat seraya menatap ujung sepasang sepatunya yang telah menguning. "Ngapain di sini?" Kalimat pertama yang keluar dari bibir gadis itu bernada datar, tetapi bukan sesuatu yang terdengar mengancam atau menghinanya. Meskipun Biru tahu, gadis itu sempat menilai penampilannya dari bawah sampai atas, bahkan memutar sepasang mata indahnya. Namun, setidaknya gadis itu tidak menampilkan senyum meremehkan, bahkan mengucap kalimat pedas seperti yang orang-orang lakukan terhadap "si buruk rupa" sepertinya. Bulan. Ya, Biru tentu tahu siapa gadis itu. Senior tercantik di fakultasnya. Biru pun sempat terpesona juga dengan Bulan saat gadis itu pertama kali hadir menemui para maba. Tapi yah... Yang namanya Bulan memang indah, namun terlalu jauh di atas sana. Jangankan Bulan, aspal yang sering ia pijak saja sepertinya muak melihatnya, bagaimana dengan penerang malam itu? Pasti sulit sekali menggapainya. Tidak. Mustahil adalah kata yang lebih tepat. *** Bulan mengendap-endap keluar dari aula fakultasnya. Ada acara seru di dalam berupa live music, stand up comedy, dan lain-lain yang Bulan sendiri kurang paham tujuan diadakannya acara tersebut. Mungkin untuk menghibur para maba? Yang pasti, Bulan merasakan mood-nya memburuk di dalam sana. Entahlah, mereka "sok" melucu dan band yang diundang pun tidak Bulan kenali. Bulan kontan berhenti melangkah begitu suara petikan gitar terdengar, mengalun membelai telinganya. Bulan memundurkan langkahnya perlahan. Ia berdiri, tepat di depan kedua pintu kokoh yang nyaris tertutup. Dari balik celahnya, Bulan mengintip dengan sepasang mata menyipit. Di dalam ruangan, tampak seseorang yang tengah memunggunginya seraya memetik gitar. You are my star You always shining in my eyes You're the beautiful thing I've ever seen If I was wrong You never blame me, baby And if everything's wrong We'll make it right... Bulan tahu lagu ini! Ini adalah lagu pemberian Langit untuk Bintang. Lagu ini memang menjadi populer bahkan di saat Langit baru saja mengeluarkan single-nya tersebut. Awal dikeluarkannya adalah versi bahasa, kemudian, kesuksesan yang tidak pernah terduga itu membuat Langit merilis kembali versi pertamanya. Lagu yang pernah Bintang nyanyikan untuknya. Betapa bahagianya saat itu Bintang menyanyikan lagu Langitnya pada Bulan. Dengan suara lembut yang membuat siapa pun rindu, Bintang sempat membuat Bulan terkikik geli karena adiknya tersebut tidak hafal lirik! Tapi saat itu Bulan tetap memberinya tepuk tangan kecil upaya menghargai meskipun liriknya asal-asalan. Katanya sih, "Maklumi yah, Bulan. Bintang baru dengar sekaliii..." Hebatnya gadis kecil itu sudah menghafal nadanya dengan tepat meskipun liriknya belum fasih. Saat itu Bintang berkata, ia ingin menghafal dan menyanyikannya untuk Langit. Namun, ternyata Tuhan ingin menjadi yang pertama mendengar suara cahaya kecil mereka. Bulan menunduk dalam. Setitik air mata terjatuh membasahi lantai yang dipijaknya. Ia terdiam beberapa saat untuk menenangkan perasaannya. Gadis itu bahkan tidak menyadari petikan gitar telah terhenti. Decitan halus, pertanda bahwa pintu perlahan terbuka membuat Bulan mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Menghalau air matanya kembali terjatuh. Ia menyadari keberadaan sepasang sepatu di hadapannya yang berdiri cukup lama di sana. Bulan mendongak lantas mendapati Biru tengah tersenyum lembut padanya. Gadis itu hanya bisa menghela napasnya lelah. Ia pikir, nasibnya seperti Bintang yang mendapati laki-laki tampan nan menawan seperti Langit. Tapi... Ini? "Kakak ngapain ke sini?" Biru mengamati bagian dalam ruangan yang baru saja ia gunakan untuk 'berekspresi'. "Ini ruangan nggak terpakai, kan, Kak? Biru pikir soalnya ruangan ini mirip seperti gudang, jadi nggak ada yang perlu ke si—Kak?" jentikan jemari Biru membuat Bulan tersadar dari lamunannya. Merasa terganggu, Bulan mengerling tajam padanya. Namun, bukannya merasa takut, Biru malah terfokus pada kedua mata indah Bulan yang terlihat basah. "Kakak habis menangis?" Biru menelengkan kepalanya. "Kenapa? Biru salah ya?" "Bulan kenapa? Bintang salah ya, Bulan?" Bulan mengerang kesal. "Kenapa sih lo bisa mirip sama Bintang!" pekik gadis itu, frustrasi. Bulan mengambil langkah berlalu. Namun, pernyataan Biru selanjutnya membuat sepasang kakinya lagi-lagi tak mampu berjalan. "Lho? Biru kan memang Bintang, Kak." Laki-laki itu terkekeh. Biru meringis kecil saat Bulan kembali berhadapan dengannya, diikuti pandangan tak bersahabat dari gadis itu. "Biru salah apa, Kak?" Bulan tertawa mengejek. "Nggak sekalian lo mengaku sebagai matahari yang menerangi bumi, huh?" ucapnya sarkasme. Biru menautkan kedua alisnya. "Maaf Kak, nggak bermaksud menyinggung Kakak walaupun Biru sendiri nggak tahu kenapa Kakak marah. Maaf kalau Kakak marah, tapi nama Biru benar-benar—" Bulan memutar sepasang matanya lantas mengibas udara dengan kasar. Gadis itu berlalu dengan perasaan kesal. Sungguh! Meskipun ia tahu, mungkin ada ribuan orang yang memiliki nama Bintang, tapi... Apa-apaan laki-laki itu! Pura-pura mengaku bernama Bintang agar Bulan dekat dengannya? Tidak sudi. Tapi... memang dari mana Biru tahu persoalan Bintang? Bulan menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran-pikiran yang membuat dirinya ingin membuktikan kebenaran dibalik ucapan Biru. Ah! Memang siapa dia? Bulan bahkan berharap tidak akan bertemu lagi dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD