CHAPTER 1

1682 Words
Ketika dipisahkan, Kara segera berjalan sejauh mungkin dari Theo. Namun, tubuhnya sedikit memberontak. Tanpa sadar dia menoleh ke belakang untuk melihat Theo sekali lagi. Dan perbuatan itu segera ia sesali. Tatapan mata mereka kembali bertemu. Bukan hanya Kara yang menoleh, Theo juga menoleh untuk melihatnya. Kebetulan itu bekerja seperti sebuah kutukan. Bagai sengat listrik yang membuat percikkan dalam hati mereka. Kara langsung membuang muka, menggigit bibirnya sendiri untuk mengembalikan kewarasannya. Akan tetapi, jauh dalam dasar hatinya dia sadar betul. Tak ada yang namanya kewarasan dalam cinta. Dia menginginkan Theo. Ingin sekali tahu seperti apa rasanya melumat bibir itu. Ingin merasakan seberapa panas tubuh mereka bisa naik ketika menyentuh satu sama lainnya. Terkutuklah Theo. Pria itu sengaja melepaskan feromon sekali lagi. Sangat sedikit hingga tidak disadari oleh orang lain. Tidak bagi Kara yang seluruh inderanya tengah fokus pada Theo. Dia terpengaruh, tergoda untuk mendekat pada lelaki licik tersebut. Segera ketika orang-orang mulai kembali menikmati pesta dan Shion telah meninggalkannya, Kara pergi mencari Theo. Dia mengikuti jejak aroma yang sengaja laki-laki itu tinggalkan. Kara masuk ke dalam jebakan sang singa. Dia berhenti tepat di depan mobil Theo yang terbuka lebar. Persis seperti dugaan Theo. Dia tidak perlu menunggu pertemuan berikutnya, karena cara Kara menatapnya telah menentukan dengan jelas keinginan pria itu. “Masuklah,” ujar Theo. Kara menutup matanya, masuk ke dalam tanpa berkata-kata. Dia duduk dalam diam, memasrahkan diri membiarkan Theo membawanya ke mana pria itu mau. Insting Kara yang bekerja. Fakta bahwa partnernya adalah sesama pria dan sesama Alpha tidak mau dia pikirkan sama sekali. Ini hanyalah cinta satu malam, sebuah ilusi yang akan lenyap begitu matahari terbit nanti. Kara masih teguh pada keputusannya untuk tidak akan pernah bertemu dengan Theo lagi. Karena itu, hanya malam ini saja dia akan memberikan segalanya, lalu dia rampas kembali esok hari. Mereka tiba di sebuah hotel, menyewa kamar indah yang bahkan tidak dilihat sama sekali. Begitu memasuki kamar, kedua pria itu langsung menyerang satu sama lainnya. Melepaskan pakaian pasangannya dengan agresif. Lumatan-lumatan panjang saling bersahut, membangkitkan gairah yang tengah terbakar. Rasa bibir Theo begitu luar biasa memabukkan, terasa manis bagai candu. Membuat Kara ingin lagi dan lagi. Tubuhnya dia biarkan dijatuhkan oleh Theo, diraba dan dicumbui dengan brutal. Dia mendesah tiap kali merasakan panasnya lidah Theo yang tengah mencicipi kulitnya, membasahi di tiap inci tubuh elok itu. Napas Kara terpacu, matanya menjadi sayup menatap terpesona pada sosok gagah yang berada di atasnya. Tangannya bergerak sendiri, mencari sebuah pelukan hangat dari lengan kokoh itu. Theo menyambutnya, memeluk Kara dengan begitu erat. Leher Kara yang terekspos tampak lezat, sehingga dia tergoda untuk menggigitnya. “Huaaa! Ah!” Kara menjerit merasakan tajamnya taring Theo di lehernya, menancap menyalurkan rasa sakit yang merangsangnya. Rasanya seperti dia tengah ditandai, dicintai dengan obsesi yang menakutkan. Cakar Kara menancap pada punggung Theo, menarik garis tegas hingga sebatas pinggang. Dia menggigit pundak Theo sebagai balasan, seakan menjawab bentuk cinta gelap yang Theo tawarkan. Setelah itu mereka kembali berciuman, mengajak lidah menari bersama. Di antara lumatan penuh gairah tersebut, bagian bawah Theo bergerak teratur memasuki Kara. Rasanya benar-benar penuh, sesak dan nikmat. Tiap hentakkan membuat pikiran Kara tercerai berai. Memandu tubuhnya bergerak mengikuti irama. Suara-suara c***l ketika tubuh mereka bertabrakan menaikkan libido, membuat Kara ingin lebih dekat lagi. Kara mempererat pelukannya, membiarkan suara desahan lolos dari bibirnya. Suara itu begitu memancing, membuat Theo bersemangat menggagahinya. Gerakan Theo semakin cepat, berpacu mengejar kenikmatan bersama. Tubuh Theo terjatuh di atas tubuh Kara, napasnya mulai melambat mengumpulkan kembali kendali diri. Dia membelai rambut Kara, mengecup kening pria cantik itu, mencoba menunjukkan sikap yang manis. Sayangnya Kara tak butuh semua itu. Dia melepaskan pelukan, mendorong Theo ke samping tanpa keraguan sama sekali. “Biar kutegaskan sekarang agar kau tak salah paham. Aku bukan milikmu dan kita tak akan pernah bertemu lagi, mengerti?” Ucapannya begitu dingin, disertai dengan sorot mata angkuh tak peduli. Theo berubah marah seketika. Dia kira Kara telah memutuskan untuk menjadi miliknya, menyerahkan diri dengan sukarela dan sekarang apa yang diucapkan oleh pria itu? Berkata seakan menegaskan kalau dia baru saja dibuang setelah digunakan. Seumur hidup tak ada seorang pun yang pernah merendahkan Theo sejauh ini. Dan lebih dari semua itu, orang yang melakukannya adalah orang pertama yang membuatnya begitu terobsesi ingin memiliki. “Jangan bercanda! Kaupikir aku akan membiarkanmu berbuat sesukanya!” Theo membentak. Dia naik ke atas tubuh Kara, mencengkeram tengkuk Kara seperti mencekik. Mata dingin itu tak berkedip. Sedikit pun tak ada tanda-tanda akan bergeming pada ancaman maupun kemarahan Theo. Di belakang punggung Theo, cakar Kara telah siap. Dia menancapkannya ke leher Theo, tepat di posisi serupa di mana tangan Theo berada. Kara menusuknya, merobek dengan beringas layaknya perbuatan binatang buas yang sesungguhnya. “AHHH! b******n KAU!” Theo menjerit kesakitan. Dia berguling ke samping, menarik selimut dengan panik untuk menghentikan pendarahan. Sementara Kara bangun dengan cepat mengambil pakaiannya. “Kau tak akan mati hanya dengan itu. Akan kupanggilkan ambulans saat meninggalkan kamar ini.” Dia sudah tahu kalau Theo tak akan membiarkannya pergi dengan mudah, jadi dia harus menggunakan cara kasar untuk meloloskan diri sendiri. Sejak awal Kara datang dengan kesiapan untuk berpisah dengan cara seperti ini. Karena dia tahu ini adalah satu-satunya cara agar tidak jatuh ke dalam jeratan Theo. Theo dengan segala kepercayaan diri dan kenaifannya tidak menduga sedikit pun adanya kemungkinan dia akan diserang setelah bercinta dengan Kara. Dia merasa tertipu, kecewa dan marah pada Kara. “Aku akan membalasmu! Ingat itu, Kara! Aku akan memburumu nanti! Tak akan kubiarkan penghinaan ini berakhir begitu saja!” Peringatan ini keluar dari dasar hatinya yang dilukai oleh Kara. Cinta yang baru saja tumbuh berubah menjadi benci. Itu juga yang Kara inginkan. Karena cinta dan benci memiliki batas yang begitu tipis. Sama-sama membuat seluruh isi pikiran Theo penuh oleh dirinya. “Kau tidak akan bisa menangkapku.” Kara membalas dengan yakin. Dia pergi begitu saja setelah berpakaian. Tidak ada keraguan ataupun keinginan untuk kembali. Inilah akhir cinta pertamanya. Setidaknya, itulah yang Kara pikirkan. Bukan apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, cinta maupun benci merupakan perasaan di antara dua orang. Sesuatu yang tidak bisa diputuskan begitu saja hanya dari satu pihak. Bagi Kara semua ini sudah berakhir, tapi bagi Theo, ini hanyalah permulaan. *** Kara kembali ke kediamannya dengan penampilan yang begitu berantakan. Tangan dan lehernya terluka, pakaiannya basah oleh darah. Entah itu darahnya sendiri atau darah lawannya, Laine tidak tahu. Kekasih Kara itu menuruni tangga dengan panik. Dia segera menghampiri Kara, menggunakan sapu tangannya untuk mengelap darah yang sudah mulai mengering. “Apa yang terjadi? Seseorang menyerangmu lagi?” tanya Laine. Kara menyingkirkan tangan Laine, dia sedang tidak ingin berurusan dengan perempuan itu tepat ketika dia baru saja berselingkuh dengan seorang pria. Bahkan jika dia memacari Laine hanya untuk mengisi waktu luang, Kara tetap merasa bersalah telah mengkhianatinya. “Pergilah tidur. Berhenti terus menungguku dan mempertanyakan segala hal. Kau bahkan tidak benar-benar peduli padaku.” “Aku peduli. Jika tidak, aku tidak akan tahan tinggal di sisimu selama ini.” “Laine, pergilah tidur. Jangan membuatku mengulang untuk kedua kalinya.” Laine terdiam, dia berbalik arah dan langsung pergi ke kamarnya. Laine tidak bisa membantah kalau Kara sudah menggunakan nada perintah. Hubungan mereka disebut berpacaran, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Kara membeli Laine di suatu tempat, menjadikannya pacar dan membiarkannya tinggal di sini tanpa alasannya yang jelas. Yang pasti, Laine tahu benar kalau tidak ada cinta di antara mereka. Kara hanya sesekali menidurinya, membawanya untuk dipamerkan sebagai kekasih. Lalu memberinya kebebasan dan kemewahan. Sisanya tak ada. Karena Kara tidak pernah tertarik atau peduli pada apa pun. Sejak awal Laine sudah tahu akan hal itu. Dia hanya pasrah tinggal bersama dengan Kara. Sedikit peduli akan keselamatan Kara yang senang bertarung sepanjang waktu. Alasannya bukan karena ada rasa yang tumbuh setelah hidup bersama bertahun-tahun. Melainkan karena Laine takut hidupnya ikut hancur ketika Kara tewas. Orang-orang tahu Laine milik Kara, maka tak ada yang berani melukainya. Hal itu seperti pedang bermata dua. Karena jika suatu saat Kara dibunuh saat dia masih berstatus pacar, maka pembunuhnya bisa menjadikan dia sebagai barang jarahan. Laine tak mau lagi mengalami penderitaan seperti itu. Karenanya dia berharap Kara selalu baik-baik saja sampai ketika Kara bosan padanya dan memberinya kebebasan. Tentu saja Kara tak pernah berpikir sejauh itu. Dia hanya bertindak secara spontan. Kebetulan saja melihat Laine dilelang, merasa wanita itu cantik dan membelinya seperti barang. Dipajang di rumah dan dinikmati selama bisa. Sekalipun Kara tak pernah mencoba memahami Laine atau memikirkan hubungan mereka ke depan. Dia sendiri tak tahu kapan dia akan dibunuh. Untuk apa sibuk memikirkan nasib orang lain? Seperti inilah kacaunya kehidupan di Sektor Empat. Wilayah dengan tingkat kematian tertinggi di seluruh negeri. Baik pemimpin maupun penduduknya sama-sama hidup hanya untuk hari ini. Sesuatu seperti hari esok, impian dan masa depan tidak ada. Setelah memastikan Laine telah meninggalkannya sendiri, Kara baru pergi ke kamarnya. Dia masuk ke kamar mandi, membiarkan air panas menghapus semua jejak peninggalan Theo. Luka-luka yang ditinggalkan oleh pria itu telah nyaris sembuh seluruhnya. Semua itu berkat kemampuan regenerasi yang luar biasa, sebuah kemampuan yang dibawa oleh Kara sejak lahir. Tubuh seorang Hybrid memiliki begitu banyak keunggulan. Terutama bagi mereka yang memiliki presentasi gen binatang begitu tinggi seperti Kara. Kecepatan, kecerdasan, penciuman yang peka, pendengaran tajam, penglihatan malam, regenerasi hingga reproduksi yang beraneka ragam tergantung pada spesiesnya. Kebetulan Kara unggul dalam beberapa poin tersebut, hingga dia mampu bertahan hidup selama ini. Seluruh luka di tubuhnya bisa sembuh dengan cepat, kecuali satu. Tanda kepemilikan yang diberikan oleh Theo. Gigitan seorang Alpha saat sedang melepaskan feromonnya memiliki efek mengikat. Layaknya hubungan kuat antara pasangan. Tanda yang biasanya diberikan sebagai bukti bahwa orang itu miliknya dan tidak boleh didekati oleh siapa pun. Kara mengusap lehernya, menatap dari pantulan dinding kamar mandi yang terbuat dari kaca. Perasaannya berkecambuk dipenuhi oleh emosi negatif. Tanda itu merupakan kutukan baginya. Sebuah bukti dari perbuatan buruk yang dia lakukan. Sisa dari cinta yang tak ingin dia terima. Sekaligus sebuah kenangan manis tak terlupakan. Lebih buruk lagi, Kara juga meninggalkan gigitannya di pundak Theo. Dia bisa membayangkan seberapa banyak sumpah serapah yang keluar dari mulut pria itu. Setelah semua yang dia lakukan, Kara tak berharap pertemuan dengan dirinya dinilai sebagai kenangan indah oleh Theo.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD