AME dan AGUS

3491 Words
"Please, ini cuma antara aku, kamu, dan Allah." Agus menatap bingung ke sekelilingnya dimana orang - orang menoleh padanya lalu berbisik - bisik sampai terkekeh. "Nama lu siapa ?" Berusaha datar meski hatinya getet tidak karuan. Gadis di depannya sangat menggemaskan. Dalam artian lain mengesalkan. Tentu saja, siapa yang senang menjadi bahan gosip dan lelucon ? "Amelia Putri. Biasa dipanggil Ame." Gadis itu menjawab sambil menundukan kepala. Pipi tembamnya memerah tatkala mata coklat itu menatapnya lekat. Baru saja beberapa menit lalu Ame mengungkapkan niatnya, meminta pria dihadapannya untuk menjadi suaminya. Lalu selanjutnya ia meminta pria itu merahasiakan lamaran penuh perencanaannya ini dari semua orang. Hal yang membuat Agus mengerutkan kening karena keberadaan mereka saat ini adalah cafetaria kampus. Sungguh, Agus ingin berteriak pada gadis itu, Are you kidding me, non ? Tapi ia bukan tipe pria setega itu. "Oke. Nanti gue hubungin lo ya. Sorry, gue masih ada kelas." Setelah meminta nomor hp, Agus bangkit dari kursi tempat ia belajar satu jam lalu sebelum gadis bernama Ame datang menawarkan hal aneh menurutnya. Ame mengangguk kemudian mundur beberapa langkah untuk memberikan akses pada Agus meninggalkannya. Jantungnya yang sejak tadi berdegup kencang perlahan mulai tenang. Ia mengusap kedua telapak tangannya yang besah pada gamis biru yang ia pakai hari ini. "Misi terlaksana!" *** Agus Sanjaya adalah salah satu mahasiswa semester akhir yang cukup terkenal dikalangan mahasiswa dan para dosen. Pria yang mengambil program manajemen bisnis itu dikenal bukan hanya karena fisiknya yang lumayan tampan dan cerdas saja, melainkan keislamannya yang patat diacungi jempol. Agus, berbeda dengan pria lain. Disaat banyak mahasiswa bertingkah kanak - kanakan dengan bermain dan berpacaran, Agus serius menggeluti kuliahnya. Hingga ia mendapatkan prestasi gemilang atas kegigihannya. Tidak heran bila wanita seperti Ame menetapkan dia sebagai tipe suami idealnya. Bukan hanya yang terlihat dikampus, Ame juga sudah menstakler Agus, baik lewat medsos sampai kehidupan pribadinya. Diam - diam, Ame meminta bantuan temannya, Sagita yang lumayan famos itu di kampus untuk mencari berita mengenai Agus. Well, hasilnya tidak mengecewkan dan setelah berkali - kali sholat malam, akhirnya Ame melamat pria itu. "Are you kidding me ? Me, lo waras nggak sih ? Lo itu cewek! Dan lo itu cantik! Buat apa lo pake nembak cowok duluan segala ?" Gita dengan maha lebay-nya berusaha menyadarkan Ame dari ketidak normalan tadi. Meski itu bagi Gita saja. Sementara Ame hanya duduk tenang di atas motor scoopy pinknya. "Sagita Mawar Sutisna! Kan lo ndiri yang udah ngecek tu cowo kaya apa orangnya, seharusnya lo dukung gue dong! Langka tahu cowo begituan! Banyakan ancur, sisanya bences." "Ya sih, tapi napa lo juga yang nembak dia duluan ? Gua kira tu cowo naksir lo, eh tahunyaa!" Ame mendengus, percuma mah ngejelasin sama Sagita. Relnya aja udah terpisah jauh, gimana mau nyambung. "Udah deh, tiap orangkan punya tipenya masing - masing, nah si Agus tuh tipe yang gak boleh disia - siakan. Jadi gua embat dulu. Dah ah, gue mau go home!" "Apa ? Me, lo yakin ? Atau gue perdalam lagi yaa informasinya, kali aja lo beda pendapat." Saran Gita, mencoba bernegosiasi. "Terserah lu dah Git, tapi jawaban gua sih kayaknya sama. Al yaqin!" Jawab Ame sambil melajukan mototnya. Meninggalkan temannya yang kebingungan. *** Sudah satu bulan berlalu dan Ame sedikit pasrah atas takdirnya. Agus tidak pernah menghubunginya untuk memberikan klarifikasi jelas terkait lamarannya kemarin. Entah menerima atau menolak, hanya Agus dan Tuhan yang tahu. Mungkin memang Agus bukan yang terbaik untuk Ame, atau sebaliknya. Ame percaya bahwa Allah punya rencana yang lebih baik bagi hambanya. Meski begitu rasanya ada sedikit perih dihati jika Ame mengingat tentang Agus. Lelaki yang tanpa disadarinya telah mencuri hatinya. Ia pulang ke rumah dengan wajah lelahnya. Hari ini semua dosennya memberikan banyak tugas kepada mahasiswanya, sehingga memerlukan banyak tenaga dikeluarkan. "Lia, ponsel kamu kok gak aktif sih, ibu telfon dari tadi juga!" Sang ibu, Maryam menegurnya di depan rumah. Terlihat dari wajah ibunya yang ditekuk kesal, meski hari ini ibunya terlihat cantik dengan gamis pink pemberiannya dulu. "Hp Lia mati bu, batreinya habis. Emang ada apa bu ?" Sahut Lia setelah memasuki pagar rumahnya. "Ada tamu tuh. Dia ngelamar kamu. Kamu lihat dulu orangnya yah, baru kasih jawaban." "Hah ?" Tanpa diberi waktu untuk mengerti maksud ucapannya, Maryam langsung menarik pergelangan putrinya dan membawanya memasuki rumah mereka. "Eh maaf ini Lia-nya baru pulang." Ujar Maryam meringis. "Tidak apa - apa, bu Maryam. Lia, ayo sini duduk, nak!" Ajak salah seorang wanita paruh baya lain disana. Sementara itu, Ame cukup shock melihat Agus Sanjaya tengah duduk di sofa single dekat ayahnya. Lalu ada orang lain disana yang duduk di sofa panjang, wanita paru baya yang mengajaknya duduk disampingnya dan seorang pria paru baya lain. *** "Lo yakin Gus mau nikah ? Baru juga lulus, masa mau nikah sih," protes Danang setengah mati. Agus meletakan ponselnya cukup kesal mendengar Danang teman satu kelasnya yang sedari tadi tidak henti - hentinya memprotes dirinya. "Emang kenapa sih Nang ? Gue juga udah kebelet nikah, lo tahu!" "Dih, lo nonton bokep ya makanya gak tahan ?" Agus berdesis dan mendelik, ia menatap sekelilingnya berharap tidak ada yang mendengar tuduhan ngawur temannya. "Gila lo! Cuma karena pengen nikah aja kudu lihat begituan dulu." Danang menyengir, menampilkan deretan gigi putih terawatnya. " Iye iye, kebutuhan naluri manusia, kawin." "Pct, terserah lo dah!" Agus yang malas dan kesal, memilih meninggalkan Danang di kantin kampus. Hari ini ia sebenarnya hanya mengurus beberapa hal terkait wisudanya yang akan berlangsung dua bulan lagi. Tepat satu bulan setelah pernikahannya dengan Amelia Putri Gunawan. Dia menerima pinangan Ame setelah satu bulan melakukan observasi dan pendataan pada kehidupan gadis itu. Umur mereka hanya terpaut tiga tahun, dan saat ini Ame baru menjalankan semester tiganya di kampus. Meski pada akhirnya Agus menerima lamaran, tapi pria itu tetap datang baik - baik kerumah Ame untuk melamarnya kepada orangtuanya. Agus tidak menyinggung sedikit pun soal Ame yang melamarnya lebih dulu dikampus, pria itu hanya mengatakan niat kemudian perbincangan mengalir begitu saja ke topik tentang kehidupannya dan rencananya setelah menikahi Amelia. Sebelumnya orangtua Ame, terlebih ibunya cukup berat memberikan ijin, mengingat putrinya masih berstatus sebagai mahasiswa. Namun setelah Agus menjelaskan bahwa dia tidak akan menghalangi atau menghentikan kuliah Ame, barulah wanita itu setuju. "Gue denger lo mau nikah ya sama Ame ? Kok lo nikahnya cepet banget sih Gus, masih muda gini loh, mang lo gak mau berkarir dulu gitu, ?" Setelah berhasil meninggalkan Danang, Agus rupanya kembali di uji oleh Tuhan dengan kehadiran teman satu prodinya juga, Ariska Prisilia. Wanita yang entah kenapa terlalu mengurusi kehidupannya akhir - akhir ini. "Ya Ris, gue butuh istri yang mau nemenin hidup gue dari nol." Jawab Agus ngawur, meski tidak salah juga. Mereka berada di tempat parkir kendaraan mahasiswa. Dimana beberapa mahasiswa hilir mudik disana. "Kalo gitu gue juga mau kok Gus, nemenin lo dari nol." "Apa ?!" Bukan hanya kaget karena ucapan tak rasional dari bibir Riska saja yang membuat Agus jantungan, tapi kehadiran Amelia disana sudah membuatnya mematung tiba - tiba. *** Pernikahan mereka dilangsungkan dengan cukup mewah. Pada sebuah gedung yang dihias penuh warna pink kesukaan Ame dan kuning kesukaan ibu Agus. Entah bagaimana WO menyatukan kedua warna itu sehingga tempat luas itu menjadi indah dan bergaya moderen. Tamu laki - laki dan wanita dipisahkan oleh bunga - bunga yang dijadikan pagar pembatas ditengah hall. Resepsi di hadiri oleh banyak teman kuliah mereka dan teman dari lingkungan lain. Hall terlihat ramai oleh para tamu. "Dia bukan sapa - sapa, Me!" Ini pertamakalinya Agus mengaungkan nada penuh penekanan pada istrinya. Bahkan disaat pesta pernikahaan mereka sedang berlangsung. Namun sebenarnya ini juga bukan salah Ame, salahkan saja Riska. Wanita itu datang begitu saja memeluk Agus dan memberikan tatapan sinis kepadanya. Siapa yang tidak cemburu diperlukan seperti itu ? "Lo tadi lihat kan, gue berusaha menghindar ? Tapi dia keburu nangkep gue." Mencoba menahan diri  dan memberikan penjelasan pada sang istri, Agus tidak mau hari ini menjadi hari buruk bagi mereka. Ame tidak menjawab apapun, wajahnya murung dan sedih. Dia bukan hanya cemburu tapi juga malu dengan tamu - tamu lain yang melihat perbuatan Ariska. Entah apa yang mereka pikirkan tentang dirinya. "Maafin aku ya," berlapang d**a, Agus mengusap pipi Ame dengan lembut. Dia tidak boleh egois. Apalagi dia juga turut andil dalam hal ini karena mengundang wanita bernama Ariska. Awalnya dia hanya berharap bahwa wanita itu sadar atas dirinya yang sudah berstatus. Tapi tidak mengira akan seperti ini. "Nggak kok, kakak gak salah." Mendengar permintaan maaf suami dan perlakuan manisnya, membuat Ame akhirnya luluh. Wanita itu mengukir senyum menatap lekat mata suaminya yang turut menatapnya lega. Jujur saja, dalam lubuk hati terdalam, Ame sebenarnya merasa kurang percaya diri bersanding dengan Agus Sanjaya. Kenyataan bahwa dirinya sendiri yang menginginkan Agus terlebih dahulu, mengusik hatinya. Ditambah kenyataan bahwa diantara mereka ada Ariska, wanita tinggi semampai, berkulit putih, dan cantik,  yang santer dikatakan pernah memiliki hubungan dengan Agus. *** Satu bulan berlanjut kehidupan pernikahan mereka. Masih segar dengan kata pengantin baru dan masih malu - malu dalam aktivitasnya. Meski begitu mereka mulai terbiasa dengan adanya pasangan. Hari ini adalah acara wisuda Agus Sanjaya. Sebagai istri, Ame turut hadir di acara tersebut bersama kedua orangtua Agus. Menggunakan gamis berwarna peach dan khimar abu - abu, ditambah riasan naturalnya, Ame terlihat sangat cantik dan manis hingga membuat mahasiswa lain nyaris tidak mengenalinya. Begitu juga Agus yang terkejut melihat istrinya. Mereka memang tidak datang bersama, Agus datang ke gedung tempat wisudanya lebih dulu untuk breefing, sementara Ame dengan orangtuanya datang tepat saat acara dimulai. "Aku senang sekali melihatmu disini, terimakasih, habati." Ia memeluk istrinya, mencurahkan segala perasaan bahagianya dalam hati. "Kamu pria hebatku." Bisik Ame, mengecup singkat pipi sang suami. Beruntunglah bahwa disana orang - orang sibuk dengan urusannya masing - masing. Ada yang berfoto, ada yang mengobrol, ada pula yang memilih makan. Semua larut dalam suasana bahagia disana. Mereka saling mendoakan dan memberi dukungan untuk meraih kesuksesan setelah kelulusan. Bekerja atau membangun usaha, untuk yang terbaik mereka doakan. *** "Apa aku bisa meminta sesuatu ?" Ame melirik suaminya dan tersenyum kecil. Baru saja ia merasa nafasnya kembali tenang. "Kita baru selesai," ucapnya malu - malu. Agus pun mengulum senyum, "Kenapa kamu berfikir seperti itu ? Yang aku maksud, bukan itu." Jelasnya terkekeh. Ame menaikan kedua alisnya, lalu mengubah posisinya menghadap suaminya. "Apa ?" Berfikir beberapa menit, Agus ikut mengubah posisinya menghadap sang istri. "Kamu cantik, selalu cantik dimataku. Tapi, aku ingin kecantikanmu hanya untuk aku saja." Kini kerutan dalam dikening Ame terlihat jelas. Mungkinkah dandanannya pagi tadi berlebihan ? Padahal menurutnya itu paling natural, meski sebelum pergi dirinya juga sempat ragu. Dia tidak pernah berdandan selama ini, tapi dia ingi  menghadiri acara wisuda suaminya dengan dandanan cantik. "Mas, nggak suka aku dandan ?" Agus terkekeh kecil, mana ada pria yang tidak suka istrinya berdandan untuknya. "Tentu saja sangat senang. Hanya, bagaimana kalo kamu pake cadar ?" *** Dua tahun kemudian. Ame mendesah ketika benda kecil di tangannya menunjukan satu garis biru. Mungkin Allah menginginkan dia untuk bersabar lebih lama. Meski begitu tetap saja ada rasa tidak nyaman dalam hati. Yang menyesakan hingga rasanya sulit bernafas lega. "Habati, kamu baik - baik aja, kan ?" Mendengar suara suaminya yang bahkan lebih sulit membuatnya bernafas. "Ya, aku baik." Paksanya. Kemudian menyimpan benda pipih itu di sebuah kotak dan disimpan dalam kantung baju tidurnya. Ame mulai menyuci tangan dan membasuh wajah, sebelum keluar menemui suaminya yang pasti khawatir padanya. Hampir setengah jam dirinya didalam kamar mandi, sudah pasti membuat pria itu bertanya - tanya. "Kamu ngapain aja sih didalem ?" "Emm kencing," "Lama banget," Ame harus beralasan apa lagi. Dia bukan wanita yang pandai berbohong, apalagi pada suami. Dia hanya menghembuskan nafasnya dan berbaring diranjang disusul suaminya. "Sakit perut," Agus mengulum bibir, ia tahu istrinya menyembunyikan sesuatu darinya. Dua tahun pernikahan mereka, Agus bersyukur bisa dengan mudah mengenali karakter istrinya. "Besok ikut aku yaa," Ame menatap suaminya, andaikan dia sudah tidak kuliah, pasti akan ia jawab langsung dengan anggukan. "Aku ada kuliah pagi." "Aku tahu. Kita pergi setelah kamu selesai kuliah, gimana ?" Ame tersenyum lebar dan mengangguk. Dia senang memiliki suami seperti Agus Sanjaya. Tidak sia - sia dulu dia mengeluarkan keberaniannya untuk mengajak nikah pria disampingnya ini. "Terimakasih." Memeluknya sambil menyusupkan kepalanya ke leher sang suami, Ame merasakan perasaannya kini jauh lebih baik. "Untuk apa ?" "Mas udah terima aku jadi istri mas." Agus ikut tersenyum mendengarnya, sebenarnya dia juga beruntung mendapati Amelia Putri sebagai istrinya. Wanita itu memiliki banyak ilmu pernikahan dibanding dirinya. Melakukan perannya selama ini dengan sangat baik. Hingga perasaan tenang selalu ada dalam d**a Agus. "Semoga pernikahan kita selalu mendapatkan berkah." "Amiin." *** Pukul dua belas tiga puluh menit, setelah menyelesaikan sholat dhuhur, Agus mengajak Ame ke suatu tempat seperti yang ia janjikan semalam. Mereka menggunakan motor bebek milik Agus. Motor yang dibelikan ayahnya sewaktu diterima di universitas terkemuka di Indonesia. Ayahnya sangat bangga padanya, karena itu beliau membelikan anaknya hadiah. "Kita mau kemana ?" Setelah hampir satu jam hanya menikmati pemandangan, Ame mulai bertanya pada suaminya. Mereka sudah keluar dari pusat kota, apakah artinya Agus ingin mengajaknya keluar kota ? "Isbir, kamu akan tahu nanti habati." Jujur, sampai hari ini Ame masih merasakan denyut jantuntnya bergerak lebih cepat saat suaminya memanggilnya dengan habati. Tidak lama, akhirnya mereka memasuki sebuah kawasan penduduk tetap. Sebuah desa yang cukup jauh dari pusat kota, tapi terlihat dari keadaan rumah dan pakaian warganya, tidak menunjukan ketertinggalan. "Kita sudah sampai, habati!" Dengan nada cukup berbahagia, Agus menghentikan laju motornya didepan sebuah rumah minimalis bergaya moderen. "Rumah siapa ini, mas ?" Bingung Ame menatap rumah itu dengan kerutan dikening. Agus terkekeh kecil dan mengajak istrinya turun dari motor sebelum menjelaskan. "Rumah kita, dong!" Ia merogoh saku celananya untuk mendapatkan kunci dari pintu rumah. "Rumah kita ?" Sementara itu Ame masih bingung. Mereka memang selama ini masih tinggal di rumah orangtua Agus. Meski pria itu menjanjikan akan tinggal dirumah sendiri setelah menikah, namun mengingat usaha Agus hanya memiliki usaha kecil - kecilan membuat Ame tidak menuntut banyak. "Iya rumah kita. Baru selese tahap bangunannya, makanya mas baru bisa ajak kamu kesini. Lagian kamu juga sibuk sama kuliah, maaf ya gak ngajak kamu buat ikut desain rumah kita ini. Tapi kamu boleh kok memilih dan menata furniturenya. Semua sesuai yang kamu suka." Maaf ? Ame bahkan tidak pernah mengira jika suaminya telah menyiapkan rumah besar itu untuknya, dan memberikan kesempatan baginya untuk ikut menata furniture. "Terimakasih!" Pekiknya memeluk sang suami. Melihat reaksi Ame, perasaan Agus sangat senang. Meski rumah yang akan mereka tinggali terbilang kecil, namun istrinya tetap menghargai itu bahkan merasa senang atas pemberiannya. Membuatnya berharap suatu saat dapat memberikan yang lebih baik lagi. Semoga saja Allah mudahkan jalan dan rezkinya. Aamiin. *** "Kamu nunda - nunda hamil, ya ?" Rasanya udara siang hari ini telah hilang begitu saja. Ame ingin menangis seketika, melampiaskan perasaan lelah dan sakitnya. "Enggak bu, Ame sama mas Agus gak nunda - nunda kok." Jawabnya penuh kesabaran. "Terus kenapa gak isi - isi ? Atau mungkin gara - gara kamu kuliah kali ya, Mel ? Kuliah tu bikin kamu stress dan kecapean, makanya gak bisa hamil sampe sekarang." Ame kembali menghela nafas, matanya sudah berkaca - kaca. Untung saja posisinya sekarang sedang membelakangi ibu mertuanya. "Mungkin memang Allah belum kasih aja bu, ibu doain Amel aja." "Yah kalo doa sih pasti, Mel. Tapi ibu kepingin banget nih gendong cucu." "Bu," Dina mengangkat kepalanya ketika suara Agus mengintrupsi percakapannya dengan Ame. "Ada budhe Dena didepan." "Oh udah dateng. Bentar, Mel kamu selesin ya sayurnya." "Iya bu." Dina buru - buru melepaskan apronnya dan pergi dari dapur setelah meletakan apron tadi dimeja. Agus tersenyum kecil menatap punggung istrinya. Dia memasuki dapur dan mengambil apron tadi lalu memakainya. "Kok cemberut gitu sih ?" Tanyanya setelah berdiri disamping istrinya yang tengah mengupas kentang. Dia pun turun membantu mengambil kentang itu dan mengupas kulitnya. "Siapa ?" Baru kali ini Ame tidak bisa tersenyum didepan suaminya. Yang ia inginkan hanya bersembunyi, lalu menangis. "Kamu." "Enggak." Seharusnya Agus peka. Tidak perlu ditanya - tanya seperti itu sudah pasti istrinya sedang dalam mood tidak baik. Apalagi sebelumnya dia mendengar percakapan antara ibunya dan istrinya. Walaupun sebenarnya Agus hanya ingin menghibur istrinya, tapi wanita itu sepertinya benar - benar dalam keadaan yang tidak baik. "Sini." Setelah meletakan kentang dan pisau, Agus juga menghentikan kegiatan istrinya. Lalu meminta wanita itu menghadapnya. Ame masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menundukan kepala. Kini air matanya sudah jatuh tanpa bisa ia cegat, dan dia tidak mau menangis di depan suaminya. Namun Agus sudah terlanjur mengetahui perasaan istrinya. Ia merengkuh tubuh istrinya dan mengusap - usap punggungnya dengan penuh kasih sayang. Disaat itulah Ame benar - benar luruh. Air matanya mengalir deras diringi isakan kecil karena sesaknya d**a. Hari ini pertahanannya sudah hancur. Dia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan sakitnya. Dia butuh pelepasan. *** Lima tahun berlalu dan keduanya sudah tinggal di rumah mereka sendiri. Mereka pindah sejak satu tahun yang lalu. Memang tidak bisa langsung pindah begitu saja, karena ibu Agus menahan putranya setidaknya sampai Jamal, adik Agus selesai mondok. Akhirnya dua tahun yang lalu adiknya bisa menyelesaikan pendidikan mondoknya dan kembali ke keluarga sehingga Agus dapat tinggal sendiri bersama istrinya dirumah baru mereka. "Aku duluan ya, ibu - ibu." "Oh iya mba Amel." Ame memasuki pagar rumahnya dengan senyum cerah. Ia senang berada disana. Selain terlepas dari tekanan ibu mertua, penduduknya sangat ramah dan baik kepada orang baru sepertinya. Apalagi pakaian Ame yang terbilang cukup asing, karena bercadar. Namun itu tidak menjadi penghalang untuk mereka saling mengenal. "Dari mana ?" "Belanja." Ame meletakan kantung kresek diatas meja makan setelah melepas cadarnya, lalu menatap suaminya yang tampak memprihatinkan. Wajah cemberut dan pucat, juga penampilan berantakan. Ini pertamakalinya Ame melihat suaminya belum rapih padahal jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh. "Mas masih pusing ?" Agus hanya mengangguk sambil memeluk Ame erat. Setelah sholat subuh, biasanya dia tidak akan tidur lagi. Tapi hari ini kepalanya sangat berat, jadi ia putuskan tidur lagi bada subuh. Namun rupanya rasa pusing tidak kunjung hilang. "Kita ke dokter, mas ?" "Enggak. Buatin teh anget aja ya, kasih madu sama jeruk nipis." Kata Agus sambil berjalan ke sofa ruang tamu. Ia berbaring disana menunggu istrinya menyiapkan permintaannya. "Oke." Untung saja Ame menanam pohon jeruk nipis didepan rumah, yang sekarang sedang berbuah. Jadi tidak perlu mencarinya lebih dulu. Ketika Ame mengambil madu dalam kulkas, tidak sengaja matanya melirik pada kalender duduk diatas kulkas. Disana ada sebuah tanggal yang dia tandai, namun sudah terlewati dua pekan ini karena kesibukannya membantu dagang suami. Dengan sedikit kecemasan dan rasa gugup, Ame memilih membuat lebih dulu teh hangat untuk suaminya. Sebelum mengecek kehamilannya lewat testpack. "Ini mas," Setelah membuatkannya dan meletakan segelas teh hangat diatas meja, Ame hendak pergi meninggalkan Agus. Namun terhenti saat pria itu memberi kode agar dia tidak pergi lebih dulu. "Kamu gak mau nemenin ?" Kata Agus sembari memasang wajah cemberut. Mengulas senyum, akhirnya Ame menahan dirinya untuk melakukan test kehamilan. Ia duduk disamping suaminya yang kini tengah asik menyeruput teh hangat buatannya. Lagi pula dirinya masih takut bila hasilnya akan negatif seperti sebelum - sebelumnya. "Mas, mau aku bikinin apa buat sarapan ?" Tanya Ame, mengalihkan segala prasangka buruk dalam pikirannya. Seharusnya dia tidak berfikir buruk, karena berfikir seperti itu saja sudah termasuk doa dalam keyakinannya. "Duh dek, mas mual nih. Jadi gak pengen makan apa - apa dulu." Ame menggigit bibir bawahnya mendengar jawaban Agus. Kenapa sakit suaminya terdengar seperti wanita hamil semester pertama  ditelinganya. "Gimana kalo adek potongin buah pepaya, mas ? Makannya nanti aja." "Emmh, iya deh. Tapi nanti aja. Kamu temenin mas dulu disini." Kata Agus yang manja. Membuat senyum Ame semakin lebar, dan dia dapat melupakan kecemasannya atas test kehamilannya. *** Malam menjelang, setelah melaksanakan sholat isya, mereka berbaring diatas ranjang dengan posisi saling berhadapan. "Besok ke rumah sakit ya mas." Pinta Ame. "Kenapa dek ? Mas udah gak sakit lagi kok, teh buatan adek enak, seger lagi. Makasih yaah, habati."  Jawab Agus mengecup kening istrinya. Ame menundukan kepala, ada perasaan malu dalam hatinya saat ingin menyampaikan tentang hasil tes yang dilakukannya sebelum isya tadi. Bagaimana reaksi suaminya, menjadi bayang - bayang menajubkan. "Tadi adek tes kehamilan, mas. Hsilnya dua garis." "Ha ?" Seketika itu, Agus langsung duduk ditempatnya. Sambil menatap kaget dan heran pada Ame. "Kamu kok gak bilang langsung sih dek ? Kan kita bisa pergi ke dokter sekarang." Ame membulatkan matanya mendapati reaksi suaminya diluar ekspetasinya. Dia kita lelaki itu akan memeluknya kegirangan dan emm mungkin menciumnya. Tapi, dia justru kena omel. "Emm, adek fikir masih masih kurang sehat, jadi besok aja gak apa - apa." Ujarnya sambil ikut duduk. "Gak apa - apa gimana ?" Protes Agus, turun dari ranjang. "Nanti kalo terjadi sesuatu sama dia gimana ? Kan lebih cepat tahu lebih baik dek. Kita bisa tahu keadaan dia sebenarnya. Udah sekarang siap - siap ke dokter. Baru jam delapan, pasti masih ada bidan atau dokter praktek yang buka." Omelnya lagi sambil memakai baju yang lebih pantas untuk keluar rumah. Ame pun akhirnya turun dari ranjang, mengikuti perintah suami tercintanya. Yah, untung saja suami yang dia cintai, kalo tidak. Aah sudahlah! TAMAT. 06 Februari 2020.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD