2. Rasa Terpendam

1423 Words
Rio baru saja memarkirkan motor kesayangannya di pelataran rumah yang sudah dia tempati sejak usianya enam tahun bersama sang kakek tercinta. Rio sangat menyayangi kakeknya, karena hanya kakeknya yang Rio punya setelah Mark meninggal. Mark adalah ayahnya yang meninggal karena bunuh diri setelah mengetahui jika Nadin-bundanya selingkuh dengan lelaki lain. Sedangkan Nadin pergi entah ke mana dengan membawa adik perempuan Rio satu-satunya setelah bertengkar hebat dengan Mark. "Kakek, aku pulang...!" suara Rio menggema di seluruh penjuru rumah milik keluarga Pratama. Rio memeluk kakeknya dari belakang diiringi senyuman manis menghiasi kedua sudut bibirnya. "Apa-apaan ini, Rio?" Hans mengangkat selembar kertas yang diberikan oleh kepala universitas milik keluarga Pratama. Rio melepaskan pelukannya dari tubuh Hans, menatap lekat-lekat apa isi selembar kertas itu. "Kenapa nilai kamu semuanya hancur?" tanya Hans penuh amarah. "Dosennya saja yang rese. Masa kasih tugas susah-susah. Sudah susah banyak lagi." jawab Rio berusaha tenang. Meski pun jauh di dalam lubuk hatinya Rio takut dengan kakeknya. "Terus kamu mau dikasih soal seperti apa? Seperti anak SD?" Hans memancarkan aura sangat menakutkan untuk siapa pun yang melihatnya saat ini. "Begitu juga lebih bagus, Kek. Aku enggak usah susah-susah berpikir." "Masuk ke SD lagi saja sana." sindir Hans tajam. "Kakek minta aku pulang cuma mau membicarakan hal ini doang? Kakek ganggu waktuku lagi kumpul tahu enggak." gerutu Rio kesal. Nafas Rio memburu menahan amarah. Tapi Rio sadar, siapa yang dia hadapi sekarang. Lelaki tua yang sangat dia sayangi. "Kalau nilai kamu masih di bawah rata-rata. Jangan harap kamu bisa lulus nanti, Rio." gertak Hans seolah-olah sedang menakut-nakuti anak kecil. "Aku tahu, Kakek. Lagi pula kalau aku enggak lulus sampai sarjana juga kan ada Kakek. Kekayaan Kakek enggak akan habis sampai tujuh turunan." "Kamu itu penerus utama di seluruh aset perusahaan Kakek, Rio. Kakek enggak mau kamu salah jalan." Hans meletakkan selembar kertas berisi seluruh nilai Rio ke atas meja. "Aku enggak minat. Aku mau jadi pembalap, bukan pebisnis." emosi Rio kembali memuncak. "Apa yang kamu harapkan dari profesi menjadi pembalap? Kumpul-kumpul sama geng motor tidak benar. Minum-minuman keras, narkoba, main perempuan. Apa yang kamu harapkan dari semua itu?" "Aku bukan pecandu, Kek." bantah Rio membela dirinya. "Kamu memang bukan pecandu, tapi kamu suka keluar masuk kelab di tengah malam dan membawa seorang wanita yang lebih pantas menjadi kakak kamu dari pada teman tidur kamu. Kamu juga sering menjadikan wanita sebagai taruhan dalam balap liar." Rahang Rio mengeras ketika mendengar Hans selalu mengungkit hal itu. "Aku enggak mau lebih jauh debat sama Kakek." suara Rio terdengar menegas lalu meninggalkan Hans sendirian di ruang keluarga. "Jangan kecewakan Kakek, Rio." ucap Hans penuh harap. Rio mendengar ucapan Hans namun langkahnya tak mau berhenti. Kakinya terus menaiki tangga penghubung dari lantai satu ke lantai dua. Rio hanya ingin menuju kamarnya, mengistirahatkan fisik dan jiwanya yang lelah. "Kakek hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Rio. Kakek enggak mau kamu terjerumus dalam pergaulan bebas." Hans mendesah lalu pergi menuju ruang kerjanya. *** "Ta, mau pulang bareng siapa?" tanya Sinah melihat Zita peduli. "Bareng Ulfa saja. Lagian kan lo sama Devi beda arah sama gue." "Oh, ya sudah deh. Gue cabut ya." pamit Sinah mendahului ketiga sahabatnya. "Ok." "Gue juga pulang deh. Pasti Mama sudah menunggu gue." pamit Devi lalu memasuki mobilnya. "Hati-hati ya." Devi mengacungkan jempolnya dan menggas mobilnya membelah jalanan. "Yuk, Ta pulang." ajak Ulfa mendahului Zita menuju mobilnya. "Kak Reno kapan pulang, Ta?" tanya Ulfa ketika Zita baru saja memasuki mobilnya. "Enggak tahu juga, kemarin sih bilangnya sebulan lagi baru bisa pulang. Soalnya enggak dapat izin kalau pulang bulan ini." jelas Zita mengingat acara telponannya bersama sang kakak semalam. "Hah... Padahal gue kangen." desah Ulfa lemas. "Kalian itu aneh tahu enggak. Sudah tahu sama-sama saling suka, saling cinta. Tapi sama-sama enggak mau mengungkapkan perasaan masing-masing." "Gue kan malu, Ta. Ya kali cewek yang nembak duluan." Zita mendesah mendengar jawaban Ulfa yang selalu saja sama. "Memangnya Kak Reno enggak pernah kasih kabar secara pribadi ke lo?" Zita memfokuskan wajahnya untuk menatap wajah Ulfa yang sedang fokus menyetir. "Enggak, kalau gue enggak chat duluan, Kak Reno enggak pernah chat gue. Ya masa gue terus sih, Ta." Ulfa mendengus menerima kenyataan jika orang yang dia cintai juga mencintainya tapi tidak pernah sekali pun mengungkapkan perasaannya atau sekedar memberinya celah untuk mendekat. "Mungkin Kak Reno sibuk sama urusan pekerjaannya, Ulfa. Lo jangan sedih ya, suatu saat pasti Kak Reno mengungkapkan perasaan itu kok ke lo." Zita mengusap-usap bahu Ulfa lembut.  "Thank ya, Ta." Ulfa menengokkan kepalanya sekilas untuk sekedar memberikan senyuman manisnya. "Lo sendiri enggak akan ada usaha buat mendapatkan hatinya Kak Rio?" tanya balik Ulfa. "Gue enggak berani, Ul. Lo kan tahu bagaimana Kak Rio. Mantan-mantannya saja cantik banget. Beda sama gue yang gadis biasa." Ulfa bisa menangkap jika Zita menundukkan kepalanya melalui kaca mobil. "Coba dulu saja, Ta. Siapa tahu Kak Rio melirik lo." "Gue enggak berani, Ul. Kalau gue punya keberanian, pasti sudah gue ungkapkan dari jaman SMP mula." Zita merasakan nyeri mengingat lelaki yang dia cintai selama ini tidak pernah sedikit pun atau sekali pun meliriknya. Padahal mereka dari SMP sampai universitas berada di tempat yang sama. Hanya pernah terpisah dua tahun ketika Zita kelas tiga SMP dan Rio kelas satu SMA, begitu juga ketika Zita kelas tiga SMA dan Rio semester satu di universitas. "Lagi pula lo kuat banget sih, Ta. Nahan rasa cinta selama itu. Hati lo terbuat dari apa sih?" Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat betapa keras hati sahabatnya itu. "Lo sendiri bisa cinta ke Kak Reno juga dari SMP, Ul." Skak! Ulfa kicep tak bisa berkata. "Ah sudahlah, kita satu sama dalam urusan memendam cinta. Cuma bedanya kalau gue mah sudah tahu itu cowok juga ada rasa sama gue. Nah lo? Enggak dilirik sama sekali. Sakit loh itu rasanya, Ta." "Sakit banget, cuma gue yang bisa merasakan." Zita menatap sinis ke arah Ulfa setiap kali Ulfa membandingkan Reno dan Rio. "Sudah sampai nih, turun gih. Besok gue jemput seperti biasa." Ulfa memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah sederhana berwarna salem, membuatnya terlihat sangat indah dan memesona. "Thank ya, Ul. Gue duluan." pamit Zita keluar dari mobil Ulfa. *** "Argh...! Sial banget sih gue hari ini." Devi menggeram kesal ketika mobilnya tiba-tiba mogok. "Mana gue enggak mengerti masalah mesin lagi. Ish..." desis Devi kesal. Devi mengambil ponselnya yang berada di saku celananya. "Sial, lowbatt lagi. Gue harus minta tolong ke siapa?" Devi menjambak rambutnya frustasi. "Mobil lo kenapa, Dev?" Devi meloncat kaget mendengar suara tiba-tiba. "Astaga...! Untung enggak jantungan." Devi mengelus-elus dadanya kaget. "Gue ngagetin ya, Dev? Sorry deh, enggak bermaksud." Devi memutar kepalanya menghadap ke arah siapa yang bertanya padanya. "Kak Nofal, kok lo bisa ada di sini?" tanya Devi heran. Wajahnya seperti orang blo’on sedunia kali ini. "Gue habis main sama Ikbal sama Refi. Ini baru pulang dan kebetulan lewat sini." Nofal turun dari motor ninjanya, menghampiri Devi yang terlihat was-was kepada Nofal. "Jangan mendekat." pekik Devi dengan nada bergetar. Nofal menaikkan sebelah alisnya mendengar larangan Devi. Nofal melihat Devi yang memundurkan langkahnya layaknya orang ketakutan yang sedang ditodong oleh preman. "Gue cuma mau cek mobil lo kok, Dev." Nofal tersenyum manis ke arah Devi. "Barusan sudah gue cek. Radiatornya enggak kosong kok. Tiba-tiba saja mati." sahut Devi berusaha sebiasa mungkin. "Lo sudah telefon bengkel langganan lo atau siapa begitu yang bisa bantu lo?" "Ponsel gue lowbatt. Jadi enggak bisa nelfon pihak montir." "Nih, pakai ponsel gue saja." Nofal menyodorkan ponsel canggihnya ke arah Devi. "Gue enggak hafal nomer montirnya." Devi berusaha cuek supaya Nofal tak kegeerean. "Gue antar pulang saja." "Enggak usah." tolak Devi cepat sembari melambai-lambaikan tangannya pertanda tidak. "Enggak apa-apa, gue antar lo sampai rumah." lagi-lagi Nofal mengeluarkan senyum manisnya. "Gue nunggu taksi saja, itu lebih aman." "Di sini area jarang taksi, Dev. Bahkan enggak ada kendaraan umum. Lo mau nunggu sampai kapan?" Nofal kembali mendekati Devi. "Biar gue jalan kaki saja." tolak Devi lagi. "Ok, gue akan nungguin lo di sini sampai lo dapat kendaraan buat pulang. Bagaimana?" Devi gelagapan sendiri mendengar ucapan Nofal barusan. "Ya sudah, gue mau lo antar pulang. Tapi ke rumah, bukan ke hotel." putus Devi sewot. "Ya ke rumahlah, Dev. Ngapain ke hotel." "Jangan samakan gue sama cewek-cewek lain. Gue enggak seperti mereka." Devi berlalu mengambil tas dan barang-barangnya yang ada di dalam mobil. "Lihat saja, Dev. Lo bakal masuk ke perangkap gue." batin Nofal tertawa mendapat respon sedikit baik dari Devi. "Sudah? Ayo naik." Nofal menaiki motornya terlebih dahulu. Meski pun sedikit ragu, Devi ikut naik ke atas motor ninja milik Nofal sesudah memencet tombol lock pada kunci mobilnya agar tidak dibawa orang tentunya. "Pegangan yang kuat ya. Gue bakal ngebut." Nofal memberi sedikit aba-aba untuk Devi. "Sudah buruan jalan. Gue berani kok meski enggak pegangan." jawab Devi acuh tak acuh. "Ya sudah." Nofal tersenyum picik dalam helm full facenya. "Satu, dua, tiga..." "Kak Nofal...!" teriak Devi takut. Tangannya refleks memeluk perut Nofal dari belakang. Matanya terpejam karena saking takutnya. Nofal tersenyum kemenangan ketika merasakan kedua tangan Devi melingkari perutnya. Bahkan Devi juga menyandarkan kepalanya pada bahu Nofal. "Bentar lagi, gue bakal mendapatkan lo, Dev. Dan gue bakal buktikan ke Refi, Rio, sama Ikbal kalau gue bisa menaklukkan dan memacari lo." Nofal tersenyum sinis dalam hatinya. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD