PART 8

1339 Words
 Callia melirik ponselnya. Dia tak lagi menghitung berapa kali ponselnya bergetar. Panggilan dari Orlando. Callia bukan tipe orang yang memilih berlari dari permasalahan. Dia tidak seperti itu. Tapi kali ini, dia bahkan tidak ingin bertemu ibunya atau ayahnya. Dia tidak akan sanggup. Mereka pasti terluka. Dan yang terluka pasti tidak akan bisa melihat dirinya yang lebih terluka. Kembali pada sebuah kebiasaan. Orang selalu menganggap lukanyalah yang paling menyakitkan di dunia. Bisa jadi ibunya berpikir seperti itu. Ayahnya?  Mungkin tidak. Tapi, ayahnya juga pasti terluka. Susah payah dia membangun sebuah kesan keluarga yang baik-baik saja.  Dan Callia dengan sekali gores...membubuhkan corengan noda yang bisa jadi tak termaafkan. Callia menatap keluar pintu yang mengarah ke balkon. Kepalanya terasa berat. Iblis sekarang sepertinya tengah berperang. Pembenaran dan penyangkalan. Dalih bahwa dirinya juga layak bahagia. Lalu pikiran bahwa tak seharusnya dia membuat aib. Callia menggeleng keras. Lalu menoleh lagi ke arah ponselnya. Orlando pasti sudah sampai pada taraf jengkel karena Callia tak kunjung mengangkat teleponnya. Callia tersedak ketika sekelebat pemikiran tiba-tiba melintas di otaknya. Dia menegakkan tubuhnya. Mengapa dia tidak pergi begitu saja? Meninggalkan semua. Agar semua tetap baik-baik saja. Lalu bahu Callia luruh. Boleh jadi Calista menikah dengan Dale. Akan ada yang menjaga adiknya itu. Tapi...nanti kalau tiba masanya adiknya itu merasakan kesakitan seperti yang sering dia alami? Seorang Dale tidak akan sanggup mengatasi rasa sakit itu. Hanya dia. Kakaknya yang lahir membawa badai.  Yang sanggup memecah sunyi sarat kesakitan yang dimiliki Calista dengan keramaian sarat kegembiraan yang dia miliki. Atau bahkan kerusakan. Callia menggeleng. Dia tidak bisa pergi begitu saja. Calista membutuhkannya. Entah sampai kapan? Dan...bukankah setiap keluarga membutuhkan kambing hitam? Seseorang yang salah sekalipun seseorang itu merasakan rasa sakit yang lebih daripada keluarganya. Brandon mengeong. Callia meraih kucing itu dan mendudukkannya dia pangkuannya. Sambil mengelus punggung Brandon, sesuatu terbesit di hatinya. Dia tidak harus pergi jauh untuk  masalahnya. Dia hanya perlu sebuah tempat dimana Orlando tidak bisa menemukannya. Sebuah tempat yang tak terpikir oleh Orlando. Cukup adil bukan? Untuk semuanya? Lalu untuknya? Callia sudah menyadari jauh sebelumnya. Bahwa keadilan bukanlah teman baiknya. Jadi dia tidak pernah berharap. "Darling..." Callia mendongak. Menemukan Dave Jefferson melangkah masuk ke kamarnya. "Ya, Grandpa?" "Kau tidak harus pergi. Itu...tidak adil untukmu." Dan semua orang sepertinya membicarakan tentang keadilan sekarang. Dan sekali lagi, keadilan bukan teman baiknya. "Kau tahu aku tidak akan pergi Grandpa." Callia tersenyum tipis. Callia melihat kakeknya tercenung. "Kau merencanakan sesuatu?" Callia melihat kakeknya memicing dengan suara yang sarat kecurigaan. "Tidak penting, Grandpa. Hmm...aku justru ingin bertanya padamu. Kenapa kau terlihat biasa saja sementara...aku telah membuat aib yang sangat memalukan." Pria tua di depan Callia itu menghela napas sangat panjang. Sepertinya kumpulan dari rasa kecewa, kebingungan, dan... "Semua sudah terjadi Callia. Kita tidak perlu membahasnya terus-terusan bukan? Kita harus melanglang buana sangat jauh agar menjadi bijak. Dan...mempunyai banyak bahan pembicaraan. Agar pikiran kita luas. Agar...kita tidak hanya bolak balik membicarakan satu persoalan saja." Callia mencoba meresapi kata-kata kakeknya. Dia terdiam seribu bahasa. Kakek dan neneknya menikah sudah begitu lama. Tapi itu bukanlah jaminan bahwa isi kepala mereka akan selamanya sejalan. "Siapapun pria itu. Sama halnya dengan Orlando. Dia tidak akan bisa mengelak dari pesonamu, darling..." Seketika Callia tertawa begitu sumbang. Ooh...apa jadinya kalau kakeknya berpikir sama dengan neneknya? Mungkin mereka akan segera membuangnya ke negeri antah berantah dan segera terlupakan. Callia menatap kakeknya lagi. "Kalau nenekmu sempurna, maka apa gunanya aku disandingkan dengannya? Kau mengerti maksudku bukan, sayang?" Callia mengangguk. "Maafkan dia ya. Ini bisa jadi sebuah pembuktian bahwa tidak selamanya perempuan itu benar." Kakeknya tertawa tertahan. "Dimana Nenek?" "Ke mansion." "Huum...bagaimana dengan bibi Paquita, Grandpa?" "Tentu saja Kakek yang akan bicara." "Orlando?" "Kalian akan belajar banyak tentang...bahwa tak selamanya apa yang kalian inginkan itu bisa terjadi sesuai apa yang kalian mau." "Kau tidak marah? Aku belum tahu apa yang akan dilakukan Dad kalau dia tahu. Lalu Mommy?" "Kau sudah begitu tertekan. Kalau aku menambahnya dengan kemarahanku, lalu apa jadinya dirimu?" Callia memeluk kakeknya. Mereka duduk di tepi ranjang dalam diam. "Orlando seperti...tidak pernah memakai hatinya. Dia menjadi sangat keras kepala...tentang kami." "Dia jatuh cinta. Pria jatuh cinta memang seperti itu." "Aku sakit, grandpa." "Aku tahu, darling. Ini berat untuk semua. Tapi...kita akan menemukan jalan keluarnya." "Bagaimana kalau aku patah hati?" "Manusia harus mengalami setidaknya satu kali patah hati dalam hidupnya." Dan itulah akhir dari pembicaraan mereka. Sampai kemudian kediaman Jefferson menjadi sunyi karena semua penghuninya pergi ke mansion Leandro di Water Mills. Sunyi, menyisakan seorang penjaga rumah yang seringkali terkantuk-kantuk di posnya. *** Pernikahan yang segera menyisakan banyak cerita indah untuk diceritakan berulang kali. Callia menatap sekali lagi sisa keramaian di padang golf mansion Leandro. Yang terlihat sejak awal adalah sebuah kemegahan tak tercela. Semua anggota keluarga berjuang keras menghormati dinasti. Salah satunya adalah dengan tidak pernah membuat skandal memalukan yang bisa menghancurkan reputasi keluarga. Tidak ada pembicaraan. Yang ada adalah sebuah kesepakatan untuk tetap membungkam mulut sendiri. Orlando yang datang sedikit terlambat tetap memainkan perannya dengan baik. Menjaga perasaan Callia seperti yang sudah-sudah. Sampai nanti, ketika Callia memutuskan untuk mengatakan semua kepada kedua orangtuanya. Ooh...poor Orlando...seandainya saja dia tahu, bahwa Callia sekarang tengah menyimpan rahasia di hatinya. Sepertinya telah terjadi kesepakatan bahwa semua akan bungkam hingga pernikahan Calista dan Dale selesai digelar. Callia menatap heels yang dia pakai tadi. Dia tidak ingin menunggu apapun. Masih akan ada pesta hingga besok. Semua akan sibuk. Dan semua orang tidak akan kehilangan dia seandainya dia tidak hadir. Menjelang senja ketika Callia dengan bertelanjang kaki, masuk ke dalam sebuah taksi. Dia ingin pergi. Orang mungkin akan bilang. Jangan sekalipun lari dari masalah.  Tapi kali ini Callia tidak ingin menyelesaikan apapun. Pelukan ibunya disertai tangisan tanpa penjelasan tadi pagi sudah cukup membuat Callia tahu apa yang harus dia lakukan. Bahkan pertanyaan Orlando dan tatapannya yang penuh arti sekalipun, tidak mampu membuat Callia lepas dari jerat rasa bersalah telah membuat ibunya menangis tanpa sanggup berkata apapun padanya. Dia hanya ingin tidak ditemukan. Sampai nanti semua melupa. Lembayung senja kemerahan. Sinar matahari yang turun perlahan ke peraduan. Cahayanya singgah sejenak melewati lembar-lembar daun maple yang berwarna kemerahan. Lalu menghilang bersama pekat yang menyamarkan laju sebuah taksi yang berisi raga yang seakan telah kehilangan sang jiwa. *** Kalau saja bisa sebuah kepala atau telinga mengeluarkan asap. Maka hal itulah yang mungkin sekarang tengah terjadi pada Orlando. Bagaimana kegaduhan telah terjadi. Bagaimana suasana begitu kalut. Ketika kebenaran diungkap. Dan membuat semua orang patah hati. Orlando menatap ibunya yang menangis dan mengajukan pertanyaan yang sama sejak tiga puluh menit lalu. "Bagaimana mungkin kau meniduri sepupumu sendiri?" Pertanyaan itu lalu menjadi sebuah hafalan di luar kepala. Orlando tahu. Ibunya sangat shock hingga tak bisa mengeluarkan kata-kata lain. Tatapannya yang pilu. Cukup mewakili betapa dia sangat kecewa padanya. Dan ayahnya? Ayahnya hanya terdiam. Entah apa yang ada di kepalanya sekarang. Begitu juga dengan kakek neneknya. Entah sudah berapa kali Orlando mengatakan permohonan maaf pada bibi Hazel. Wanita itu hanya sanggup menangis. Dan Paman Ethan? Dia menyugar rambutnya keras dan berakhir dengan berdiri mematung di dekat jendela. "Aku mencintai Callia. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan hatiku. Aku sudah berusaha mengenyahkan semua. Tapi aku tidak bisa." Terdengar helaan napas bersahutan. "Memisahkan kami bisa kalian lakukan. Tapi takdir tidak akan berjalan di jalan lain selain yang sudah ditentukan oleh Tuhan." "Cukup Orlando." Kata lain dari ibunya. "Kalian memilih untuk bungkam dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Aku tidak akan pernah mempertanyakan keadilan untukku sendiri. Selama ini aku hanya bayang-bayang Marlon dan kalian akan melupa dengan mudah ketika aku tidak ada." "Orlando..." Kali ini adalah suara ayahnya. Dan tangisan kembali pecah. "Tapi pada Callia. Aku mempertanyakan keadilan kalian untuknya." Orlando berdiri dari duduknya. Dan gerakan itu membuat semua terkejut. "Apa yang sudah kalian berikan untuknya? Pernahkan kalian berpikir tentang bagaimana dia menilai dirinya sendiri?  Pernahkah kalian bertanya sesakit apa tubuhnya setelah perjuangannya menyelamatkan putri kalian yang lain? Pernahkah kalian memberikan penghargaan yang tinggi atas jiwanya yang selalu mengalah? Apakah kalian juga akan menyalahkan takdir ketika dia mendapatkan segalanya dariku?" Bunyi bantingan pintu. Isak tangin yang tak terputus. Kebingungan yang menyergap tiba-tiba. Semuanya seakan jauh dari kata selesai. Tentang sebuah anggapan bahwa semua baik-baik saja. Tentang Callia yang diam. Dan tentang penilaian mereka yang selama ini salah tentang gadis yang lahir bersama badai itu. Betapa Callia begitu rapi menyimpan badai di hati nya menjadi sebuah ketenangan. Nyatanya...badai itu berjuang sangat kuat menjaga ketenangan keluarganya. Malam yang beranjak semakin pekat. Ketika Orlando menatap Calista yang entah sejak kapan berdiri di balik pintu kamar kedua orangtua itu. Malam semakin menghitam, ketika deru mobil Chevrolet tahun 1966 milik Orlando memecah sunyi dan meninggalkan mansion Leandro yang tetap tegak sekalipun menyimpan duka di dalamnya.  ----------------------------      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD