THREE - KARMA

1461 Words
Andrew duduk di depan meja barnya sendiri sambil menikmati sekaleng coca cola. Ia sedang tidak berminat untuk mabuk hari ini. Andrew mengamati suasana barnya yang ramai dengan orang-orang berjas dan p*****r-p*****r murahan. Matanya langsung terpaku pada keriuhan yang terjadi di tengah bar. Terdengar tangisan dan isakan seprang wanita di tengah bar. Semua orang kini berkumpul di tempat wanita itu terduduk di lantai dan menangis. Ia menghampiri tempat itu dan menerobos kerumunan untuk melihat apa yang terjadi. Seorang wanita dengan baju yang minim sedang menangis, karena dipukuli oleh seorang pria. Andrew mengamati baik-baik siapa wanita yang dipukuli oleh pria itu dan sepertinya mengenali mereka. Otaknya bekerja keras mengingat wajah wanita yang menangis itu. Tampak familiar di ingatannya, begitu juga dengan si pria. Ia baru teringat siapa wanita yang tengah menangis itu setelah memandangnya cukup lama. "Vannesa?" Tanpa sadar, ia menggumamkan nama itu. Wanita itu berhenti menangis dan mendongak. Matanya langsung bertemu dengan Andrew. Dan benar sudah, ia adalah Vannesa Erisca, gadis cantik dan pintar yang dulu menjadi favorit di sekolahnya. Pacar Sam. Wanita itu memeluk kaki Andrew dan menangis tersedu-sedu. "Tuan, tolong aku! Pria ini menyerangku." "Pria?! AKU INI SUAMIMU, JALANG!" teriak pria itu sambil menjambak rambut Vannesa. Tim security datang ke tempat itu dan menunduk hormat pada Andrew. Mereka berniat untuk membawa Vannesa dan pria itu keluar dari bar untuk membereskan kekacauan, tetapi Andrew menahan mereka untuk tidak ikut campur dengan masalah Vannesa dan pria itu. "Bawa semua orang keluar dari sini. Tinggalkan kami," pintanya. Tim security itu menurut dan membawa semua orang keluar dari bar. Semuanya kecuali mereka bertiga. Hening. Yang terdengar adalah isakan wanita itu di kakinya. Andrew berjongkok dan mengangkat wajah wanita itu dengan satu telunjuknya. Riasan wajah wanita itu kacau dan maskaranya luntur hingga terdapat bayangan hitam di bawah matanya. Pria yang menyebut Vannesa jalang itu hanya berdiri terpaku menatap keduanya. "Siapa kau? Jangan ikut campur dengan masalahku," teriaknya frustrasi pada Andrew. Andrew menyeringai dan menatap Vannesa dalam-dalam. "Siapa dia, sayang?" "Dia hanya orang gila," jawab Vannesa cepat. Pria itu langsung melayangkan pukulannya pada Vannesa, namun ditahan oleh Andrew. "Kalau dia hanya orang gila, berarti aku boleh menciummu?" tanya Andrew sambil menyeringai. Vannesa diam dan kembali melirik pria itu. Ia ragu sejenak kemudian mengangguk pelan dengan tatapan penuh dendam pada suaminya. Andrew mencium Vannesa dan melumat bibir wanita itu di depan pria yang ia sebut gila. Pria itu semakin menggila dan berteriak frustrasi hingga tim security menahannya untuk tidak memukul Andrew. "b******k, lepaskan istriku!" teriaknya saat tangannya ditahan. Andrew melepaskan pertautan bibir mereka dan berdiri menghampiri pria itu. Ia menatap tajam ke arahnya dan tahu siapa pria itu sejak tadi. Pria itu adalah Sam. Nafasnya berbau alkohol dan tampaknya pria itu frustrasi. Andrew menyeringai jahat dan berbisisk di telinga Sam, "Sebenarnya, aku tidak ingin mendapat barang dari keluarga kotor sepertimu, tetapi karena hari ini tidak ada yang bisa memuaskan nafsuku selain istrimu. Jadi, aku tidak punya pilihan lain, Sam." "K-kau mengenalku?" tanya Sam terkejut. "Mengenal pria kotor sepertimu. Sejujurnya aku malu mengakuinya, tapi ya." Seketika itu juga Sam menyadari dengan siapa ia berbicara. "Andrew? Andrew Watson?" Andrew tertawa mengejek. "Bereskan dia," pintanya. Terdengar berbagai umpatan dari Sam di belakang telinganya, sedangkan Vannesa sudah berdiri dan sepertinya mendengar pembicaraan mereka. Ia terpaku di tempatnya sambil terngaga. Andrew tersenyum sambil memasukkan tangannya di saku celana sambil memegang pinggang Vannesa dan membawanya ke hotel yang terletak di gedung yang sama dengan bar dan kasino. Andrew memesan kamar luas dengan tempat tidur king size. Selama perjalanan, wanita itu terdiam akku dengan tubuh yang sedingin es. Vannesa duduk di ranjang sambil tetap menatap Andrew terkejut ketika pria itu melepaskan dasinya. "Kau Andrew yang sering dirundung itu?" tanyanya lagi. Andrew tersenyum kecil dan melepaskan sepatunya. Ia berjalan mendekati Vannesa dan mendorong tubuh wanita itu hingga terlentang di ranjang. Andrew menindih Vannesa dan berbisik di telinganya, "Kenapa sayang? Kau tidak ingin melakukannya dengan anak yang dirundung sepertiku?" Vannesa mendesah saat hembusan nafas Andrew mengenai telinganya. Tanpa sadar, ia membuka pakaian minimnya sendiri dan melemparkannya di sembarang tempat. Tangannya juga meraba d**a Andrew dan membuka kancing kemeja pria itu dari atas. "Aku sangat menginginkanmu," bisik Vannesa. Andrew kembali melumat bibir Vannesa untuk waktu yang lama. Vannesa juga ikut melumat bibirnya, lebih ganas dari Andrew. Keduanya berciuman seolah tak ada hari esok. Andrew menjelajahi bibir Vanessa sembari sesekali menggigit bibir bawah wanita itu. Terdengar erangan sensual yang keluar dari bibir Vanessa. Andrew melepaskan pertautan bibirnya dengan Vanessa. Keduanya terngah-engah, karena kehabisan nafas akibat ciuman panas. Andrew berdiri sambil mengancingkan kembali kemeja putihnya. Vannesa menatap Andrew sambil mengangkat alisnya bingung karena pria itu belum memuaskannya. "Kenapa sayang? Ayo kita lanjutkan lagi," ajak Vannesa yang kini duduk menggoda tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Ia tersenyum menggoda berusaha menarik perhatian Andrew. Andrew merogoh sakunya dan mengeluarkan dompet tebal. Ia mengambil beberapa uang kertas dan melemparkannya di depan muka Vannesa. "Rasamu membosankan," gumamnya tajam lalu berjalan menuju pintu, tetapi wanita itu mengejarnya dan menahan Andrew di pintu. Ia memasang wajah memelasnya dan berdiri tanpa menutupi sedikitpun bagian tubuhnya. "Bukankah kau juga menginginkanku?" tanya Vannesa. "Kau tidak lebih dari seorang penghibur di mataku. Aku hanya ingin membalaskan dendamku pada Sam. Dan kau dengan bodohnya mengira aku akan memuaskanmu? Bodohnya dirimu," gumamnya tajam lalu keluar dari kamar hotel itu meninggalkan Vannesa yang syok dengan perkataannya. Andrew keluar dari hotel dan berniat pergi ke ruang kerjanya yang terletak di kasino. Ia sangat senang pada akhirnya bisa membalas perlakuan mereka. Andrew puas ketika melihat wajah syok keduanya. Seperti ada perasaan senang dan bangga tersendiri dalam dadanya. Segala sakit hatinya di masa lalu, seolah terbayar hanya dengan melihat wajah keduanya yang tak berdaya.  Ia baru saja memasuki kasino yang ramai itu dengan langkah santai. andrew memasuki ruang VIP dalam kasino sembari menyapa tamu-tamu khoermatannya dengan ramah, sebelum izin undur diri ke ruang kerjanya.  Ketika sampai di depan ruang kerja dan peristirahatan favoritnya itu, ia melihat siluet bergerak di bawah pintu. Andrew membuka pintu sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.  Ia mendapati seorang wanita mungil dalam pakaian pelayan tengah mengacak meja kerjanya sembari memotret beberapa dokumen pribadinya. Wanita itu membelakanginya hingga tidak menyadari keberadaannya. Andrew melangkah semakin dekat ke arah wanita itu. Lalu tanpa aba-aba, Andrew langsung menarik kedua tangan wanita itu dan menguncinya di belakang tubuh kecil wanita itu.  "Gadis kecil sepertimu, sepertinya ingin memancing seekor singa kelaparan," bisiknya tajam. Tubuh gadis itu menegang dan ia berusaha melepaskan diri dari pegangan Andrew. Gadis itu berniat untuk lari darinya, namun terlambat Andrew berhasil mendapatkan pinggangnya dan menempatkan gadis itu di meja kerjanya. Ia mencengkeram dagu gadis itu dan memaksa agar mata mereka bertemu. Mata violet itu... "Kau..." Alice Samantha? "....sedang apa disini?" desis Andrew tajam. Gadis itu tetap memakai kacamata seperti terakhir kali mereka bertemu, tetapi ada satu yang berbeda dari Alice yang sekarang. Alice sudah tidak pemberani lagi seperti dirinya dulu. Gadis itu terlihat rapuh, tetapi berlagak berani, padahal sebenarnya ia takut. Andrew bisa melihat kalau gadis ini ketakutan, tetapi Alice menutupinya dengan sangat baik. "Aku hanya mengantarkan minuman Anda, Tuan,." jawab Alice mantap. "Kenapa kau mengacak meja kerjaku kalau hanya mengantarkan minumanku?" geram Andrew. Sialan, ia akan memecat semau pengawal pribadi yang begitu ceroboh hingga mengizinkan penguntit kecil ini masuk ke ruang kerjanya. Alice terdiam dan lagi-lagi memalingkan wajahnya, karena kehabisan kata-kata. Ia tidak menduga bisa tertangkap seperti ini, sebab selama ini ia sellau melakukan pekerjannya dengan mulus dan berhati-hati. Sial, dokumen itu membuatnya teralihkan, hingga tertangkap seperti ini.  "Aku ingin melihat wajahmu. Kenapa kau selalu memalingkan wajahmu dariku?" Andrew kembali menarik dagu Alice untuk menatap matanya, tetapi kali ini lebih lembut. "Siapa namamu?" "Bukan urusanmu. Sekarang biarkan aku pergi." Alice berusaha untuk turun dari meja itu, tetapi lagi-lagi tangan Andrew menahan pinggangnya. "Kau mau dituntut, karena masuk ke ruangan orang tanpa izin?" ancam Andrew. Alice menggeleng lemah dan menjawab pertanyaan Andrew yang sebelumnya. "Namaku Sophie Harold." "Kau ingin kutuntut karena sudah menipuku dua kali?" Mata violet itu melebar kaget saat mendengar perkataan Andrew. Pria itu tertawa kecil dalam hatinya melihat tingkah Alice. Sudah sekak lama ia tidak lagi melihat mata violet itu. Mata itu masih tetap sama seperti dulu. Polos dan berani. Andrew menyukainya. "Aku tidak menipumu," jawab Alice dingin. "Kau menipuku dengan alasan tersesat dan kini kau menipuku lagi dengan memberikan nama palsu," jelas Andrew lagi. Alice bisa merasakan tatapan mata pria itu sangat dekat. Mata pria itu berwarna hitam pekat dan tajam. Saking tajamnya membuat Alice ketakutan. "Namaku Alice," gumam Alice singkat. "Sedang apa kau di sini?" "Aku tersesat." Alice kembali berbohong. "Kau tau, aku sedang sangat b*******h hari ini. Jadi sebaiknya, kau tidak berbohong sebelum aku mencicipimu di ranjangku," ancam Andrew lagi. Alice melebarkan matanya kaget dan lagi-lagi meneguk ludahnya takut. Jujur saja, ancaman kali ini lebih menakutkan daripada dipenjara, tetapi ancaman tetap saja hanya ancaman. "Aku sungguh tersesat." Alice mengelak lagi. "Baiklah sebaiknya kau memilih salah satu dari opsi yang kutawarkan kali ini. Masuk penjara atau menjadi penghiburku malam ini." Alice menampar pria di depannya karena sudah mengatakan hal yang membuat darahnya naik sampai di ubun-ubun. Pria itu menyebutnya p*****r. "Kau pria brengsek." Pria itu mengusap pipi yang ditampar Alice, kemudian menyeringai penuh arti. "Sepertinya kau telah salah memancing singa yang kelaparan. Aku akan menganggapmu memilih opsi kedua," gumam Andrew lalu menyelipkan tanganbya dibawah lutut Alice dan mengangkat gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD