Rasa Iri

1347 Words
Tifa dan Willow kembali, setelah awalnya kembali ditugaskan di tempat lain setelah Ruby di bawa oleh Baginda Ratu ke Istana. Lalu ketika akhirnya Ruby kembali ke Kastil, Ruby terus berada di sisi Azure, jadi dia tidak banyak membutuhkan bantuan pelayan pribadinya. Sekarang, setelah Ruby akhirnya lebih banyak melakukan kegiatan sendiri, Azure mengembalikan dua pelayan pribadi Ruby ke posisinya agar bisa membantu gadis itu dengan banyak hal. Saat mendapat perintah kembali, Tifa dan Willow tidak tau apakah mereka harus senang atau sedih. Mereka tidak suka pada Ruby, tapi jika mereka melayani Ruby, maka mereka bisa bertemu Yang Mulia Putra Mahkota lebih sering. Siapa yang tau, ketika mereka kembali bertugas di sisi Ruby, mereka bahkan tidak bisa bertemu Yang Mulia lebih sering dari yang mereka perkirakan sebelumnya. Ruby dan Azure hanya bertemu beberapa kali sehari di dalam kamar Yang Mulia dan tidak memperbolehkan mereka ikut masuk. Jadi ketidakpuasan awal mereka kini semakin menjadi-jadi, apalagi ketika mereka harus menemani Ruby setiap hari berkeliling di istana dan melihat gadis itu melakukan entah apa di sudut-sudut pagar kastil. "Apakah menurutmu dia menjadi stress karena Yang Mulia mengabaikannya?" Tifa berbisik pada gadis di sebelahnya dengan mata terus menatap punggung Ruby di antara semak belukar. "Tentu saja, dia banyak bertindak sombong ketika Yang Mulia masih menghargainya, sekarang setelah dia di depak dari sisi Yang Mulia, dia pasti sangat marah dan menjadikan pekerjaan aneh ini sebagai pelarian." Willow mencemooh dengan suara yang sama sekali tidak kecil, seolah dia takut Ruby tidak bisa mendengar kata-katanya dengan jelas. Selama tiga hari terakhir, Ruby memang memfokuskan semua tenaga dan pikirannya untuk menggambar formasi di beberapa titik pagar istana. Setiap hari dia akan menghabiskan 80% Mana di dalam tubuhnya dan menggambar lebih dari sepuluh formasi, dan yang dia gambar hari ini adalah formasi terakhir. Ruby tentu bisa mendengar semua percakapan dua gadis pelayan yang berdiri tak jauh darinya itu, tapi bagi Ruby yang telah mendengar banyak kata-kata buruk tentang dirinya sendiri selama beberapa hari, ucapan dua pelayan itu terdengar seperti kicauan burung yang tidak perlu dia hiraukan. Ruby menyelesaikan goresan terakhir huruf Rune di dalam formasi sihir yang dia buat kemudian menekan telapak tangannya ke dalam lingkaran dan menyuntikkan mana ke dalamnya. Setelah selesai, keringat tipis telah menetes dari pelipisnya sedangkan seluruh tubuhnya terasa lelah dan juga mengantuk. "Oke, akhirnya selesai." Ruby menghapus keringat di dahinya, mengumpulkan tinta dan kuas yang selesai terpakai kemudian berbalik. "Bawa ini." Ruby menyerahkan semua barang di tangannya ke arah Willow kemudian berjalan mendahului kedua pelayan itu meninggalkan area pagar. Senang atau tidak senang, Willow harus tetap menerima peralatan itu dengan wajah kesal, kemudian berjalan mengikuti Ruby bersama Tifa dengan pandangan seolah ingin melubangi punggung Ruby. "Hati-hati, jika kau membuka matamu sebesar itu, pasir bisa menjadikan matamu rumah barunya." Ruby berkata tanpa berbalik, sangat jelas memberitahukan bahwa dia tau semua gerakan mereka meski tidak bisa melihat. Tifa dan Willow berdesis semakin tidak senang dan mempercepat langkah mereka untuk mengejar Ruby. Saat melintasi kolam teratai dengan air yang jernih, Ruby berhenti sejenak untuk mencuci tangannya. Seketika itu, sebuah pemikiran jahat muncul di pikiran Willow, dia menyipitkan mata dan menoleh ke arah rekannya dan memperlihatkan seringai tipis. Melihat Ruby yang sedang berjongkok di tepi kolam memunggungi mereka tanpa perlawanan, Tifa bisa menebak apa yang sedang rekannya itu ingin lakukan. Tapi Tifa tidak setuju, dia menarik lengan baju Willow dan menggeleng dengan keras. Bahkan jika Ruby tidak lagi mendapatkan perhatian Yang Mulia seperti dulu, status Ruby masih jauh lebih tinggi dari mereka yang hanya pelayan dan memiliki hak untuk memberi mereka hukuman. Meski selama ini Ruby bersikap pasif dengan semua bisikan buruk yang mereka katakan tentangnya, tetap saja Tifa tidak ingin mendapatkan hukuman. Jangan lupa bahwa Ruby adalah seorang tabib, bagaimana jika dia marah dan memberikan mereka obat pencahar atau sebagainya untuk balas dendam? "Apa yang kau takutkan?" Willow berbisik sangat pelan dan menarik lengan bajunya dari Tifa kemudian menaruh semua barang bawaan di tangannya ke rekannya itu. "Nona Zera pasti akan melindungi kita, lagi pula air di dalam kolam itu tidak cukup untuk menenggalamkan orang." Tifa menggigit bibir dan menatap cemas pada temannya itu yang berjalan dengan sangat pelan ke arah Ruby. Tifa memang tidak suka pada Ruby yang menggunakan wajah cantiknya untuk mendapat status dari Yang Mulia, tapi dia tidak cukup bodoh untuk ikut campur dalam konflik para selir. Tifa ingin menjadi selir, tapi tidak ingin bersaing dengan siapa pun, hanya ingin meninggalkan statusnya sebagai pelayan. Karena itu dia selama ini hanya berani berbicara buruk di belakang Ruby, tapi tidak benar-benar mencoba untuk memprovokasi gadis itu. Bagaimana pun, menurut kabar yang dia dengar, Ruby adalah yang bertanggung jawab untuk menemukan cara menyembuhkan penyakit Yang Mulia Putra Mahkota. Jika benar seperti itu dan dia berhasil, bahkan jika Azure tidak lagi menempatkan Ruby di sisinya, di masa depan posisi Ruby tidak akan mudah di gerakkan. Willow yang tidak tahu apa-apa tentang kecemasan rekannya berjalan semakin dekat ke arah Ruby, kemudian setelah memperkirakan jaraknya, Willow dengan sengaja memekik pelan kemudian menjatuhkan tubuhnya ke arah Ruby. Seringai tipis semakin terlihat jelas di wajah Willow begitu melihat tubuh Ruby masih tidak bergerak dan semakin dekat dari jangkauannya. Sedikit lagi dan... Pandangan jahat Willow berubah menjadi horror ketika beberapa jengkal sebelum dia menyentuh tubuh Ruby, gadis itu tiba bergeser dengan sangat cepat. Tubuh Willow yang bergerak dengan cepat kehilangan topangannya dan bergerak langsung ke arah kolam. "Ahhh!" Byuuurrr... Tifa yang menyaksikan semua itu dengan cemas, membelalakkan mata dan menutup mulutnya begitu Willow jatuh ke dalam kolam dengan kepala tercebur lebih dulu. "Willow!" Tifa berlari degan cepat ke tepi danau, namun tidak melihat bahwa tanah yang baru saja terkena cipratan air kolam kini menjadi sangat licin. Merasakan kakinya kehilangan keseimbangan, Tifa berteriak dengan keras dan mempersiapkan diri untuk menyusul Willow jatuh ke dalam air. Namun tiba-tiba tangan yang kuat meraih lengannya dan menariknya untuk berdiri dengan tegak. "Bodoh, apakah kau juga ingin menemaninya bahkan ke dalam kolam?" Suara halus namun tanpa emosi Ruby terdengar di telinga Tifa. Ketika Tifa membuka matanya dengan terkejut, Ruby telah melepaskan tangannya dan berjalan kembali ke arah tanah yang kering. Willow berlutut di dalam kolam dengan tubuh badah kuyup, bahkan jika awalnya air kolam itu besih, tapi karena kini Willow jatuh ke dalamnya, lumpur di bawah kolam kini menjadikan air kolam menjadi coklat sedangkan beberapa akar teratai bertengger di pundak Willow. "Bukankah sudah aku katakan untuk tidak membuka matamu terlalu lebar?" Ruby memiringkan kepala dan menopang dagu. "Lihatlah, matamu jadi kelilipan debu dan tidak bisa melihat jalan dengan jelas." lanjutnya dengan seringai tipis. "K... K.. Kau! Kau sengaja!" Willow tidak menyembunyikan kemarahannya, dia menatap Ruby dengan tatapan berapi-api dan memukul permukaan air untuk melampiaskan kemarahannya. "Sengaja apa?" Ruby mengangkat alis. "Apa aku mendorongmu ke dalam kolam? Jelas-jelas kau jatuh sendiri seperti orang bodoh." Willow sangat marah hingga tumbuh bergetar, apalagi ketika melihat sejumlah pelayan mulai berdatangan dan menonton, rasa malu juga kesal semakin menumpuk di dalam dadanya. Seumur hidup, bahkan jika statusnya hanya pelayan, Willow tidak pernah merasa semalu ini, dan semuanya karena gadis buta di hadapannya ini. Sudah sangat jelas, mereka berasal dari kau awam yang sama, tapi mengapa gadis yang bahkan tidak bisa mengenali wajah seseorang ini bisa berdiri dengan bangga dan bahkan menjadi tuan yang harus dia layani setiap hari. Tunggu saja, aku pasti akan mengembalikan rasa malu yang aku rasakan hari ini. Willow berjanji di dalam hati. "Ahh! Wi... Willow.... "Apa!" Willow berbalik ke arah Tifa yang berdiri di belakang Ruby dengan pandangan ketakutan. "Kenapa berteriak dan menatapku seperti itu? Kemari dan bantu aku!" dia mengulurkan tangan, dengan harapan Tifa bisa datang dan membantunya berdiri. Tapi, alih-alih mendekat, Tifa justru melangkah mundur dengan tatapan ketakutan yang sama, bukan hanya Tifa. Willow menemukan bahwa beberapa pelayan juga menahan teriakan mereka dan menatap ke arahnya dengan tatapan yang sama. "Ada apa dengan kalian! Tifa bantu aku!" Apakah tidak cukup memalukan untuk jatuh ke dalam kolam dan sekarang mereka melihatnya seolah sedang melihat hantu. "Sssshh... Hum? Willow merasakan sesuatu bergerak dari punggung ke pundaknya. Tidak! Willow menatap satu persatu orang di sekitarnya dan hal yang mengerikan muncul di pikirannya. "Willow... A... Ada ular... "Ahhh!" Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD