Gadis Kesepian

1158 Words
Sekali lagi, Azure berdiri di padang Dandelion, membelai bunga rapuh itu dengan ujung jubahnya dan melewatinya dengan langkah tenang nan tegap. Angin yang berhembus perlahan menerbangkan serpihan bunganya yang seringan kapas, terbang tinggi menjelajah dan jatuh di tempat entah berantah yang akan menjadi rumah barunya. "Apakah Dandelion ini terlihat seindah saat di malam hari?" Ruby yang sedang berjalan mendahului Azure mengulurkan tangannya dan menangkap satu serpihan bunga yang melintasi telinganya. "Dandelion bukan bunga yang begitu indah." Azure memetik setangkai bunga dan meniupnya hingga tersebar "Mereka sangat rapuh," ujarnya sembari menatap telapak tangannya sendiri, telapak tangan kasar yang di hiasi kapalan akibat berlatih pedang namun masih tidak bisa meningkatkan tubuhnya yang lemah. Seberapa banyak pun dia menguasai teknik pedang, dia akan selalu kalah dari mereka yang memiliki fisik kuat. "Tapi mereka bebas, di terima di mana saja dan tumbuh dengan sangat baik." Ruby berkata lalu mempercepat langkahnya begitu mereka mencapai bukit kecil, kemudian melompat dan memetik dua buah apel liar berwarna merah kemudian melemparnya ke arah Azure dengan sangat tepat. "Sekarang, bolehkah aku tahu namamu?" Azure tidak langsung memakan apelnya, dan hanya memandanginya sejenak sebelum meletakkannya ke kantong kain kecil di pinggangnya. "Apa nama begitu penting?" "Tentu saja, nama melambangkan identitas seseorang, sebuah nama membuat kita lebih mudah di ingat oleh orang lain." "Aku tidak butuh identitas." Ruby menggigit buah apel di tangannya dengan keras. "Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?" Ruby mengerutkan kening "Panggil saja sesukamu," dengusnya sedikit kesal. "Little Witch." Ruby langsung menghentikan langkahnya dan berbalik begitu mendengar nama yang Azure sebutkan, melihat kerutan di bibirnya, sangat jelas dia sangat tidak senang. "Kau mengatakan aku boleh memanggilmu apa pun." Azure menghentikan langkahnya tepat di hadapan Ruby. Hanya selangkah lagi dan tubuh mereka akan menempel. Tubuh Azure yang tinggi seolah menaungi Ruby yang hanya mencapai bahu pria itu, meski karena tubuhnya yang lemah, Azure lebih kurus dari pria pada umumnya namun posturnya cukup tinggi dan tegap. Rambut hitam panjang pria itu mencapai ujung telinganya. Terkuncir setengah di belakang kepala, dan bergerak membelai pipi pemiliknya karena terpaan angin. Ruby mendongak seolah bisa melihat setiap detail wajah pria itu, memiringkan kepala lalu berbalik "Sebagai seorang pria, kau sangat lemah," ujarnya lalu melanjutkan perjalanan. Jleb. Seolah panah tak terlihat terbang dan menembus harga diri Azure yang rapuh, membuatnya terluka parah hingga meringis. "Sangat tidak sopan mengatakan fisik seorang pria lemah." Dia menyusul, kali ini tidak ragu untuk berjalan di samping gadis itu. "Sangat tidak sopan juga memanggil seorang wanita dengan sebutan penyihir." "Apa kau bukan penyihir?" "Apa tubuhmu memang tidak lemah?" " ... " Azure memilih diam, dalam hidupnya sebagai pangeran, ini adalah pertama kalinya seseorang menentang semua perkataannya secara blak-blakan. Kediaman Ruby adalah sebuah gua berukuran besar yang mulutnya memuat lima orang dewasa dengan ketinggian hampir tiga meter. Mulut guanya tertutupi tanaman merambat layaknya tirai berwarna hijau yang di hiasi beberapa bunga berwarna keunguan. Tak jauh dari sana terdapat air terjun kecil yang alirannya tidak begitu deras yang di sekitarnya di hiasi banyak tanaman herbal maupun bunga berwarna-warni. Sedangkan di sekitar gua terdapat banyak pohon yang di penuhi buah. Mulai dari anggur, buah persik dan berbagai berry liar. Di dalam gua tidak banyak hal yang bisa terlihat, hanya terdapat tikar yang terbuat dari kulit binatang yang terbentang di atas sebuah ranjang batu. Tumpukan kertas di atas meja serta berbagai macam kuali. Begitu Ruby masuk, dia langsung melepas jubahnya dan menggantungnya pada ranting kering sebuah pohon mati, kemudian menghampiri salah satu kuali berukuran kecil dan menyalakan api di bawahnya dan mulai menyibukkan diri dengan berbagai dedaunan dan akar. Azure yang mengamati semua kegiatan gadis itu, ikut melepas jubahnya dan menggantungnya di sisi jubah usang Ruby lalu mencari tempat untuk duduk. Ruby memotong akar, membersihkan dedaunan, dan menuangkan semuanya ke dalam kuali hingga terdengar desisan air panas yang mendidih serta kerak kayu yang terbakar. Tak lama kemudian, bau herbal memenuhi seisi goa itu, bau yang sedikit menyengat namun anehnya membuat setiap saraf Azure sangat rileks. Rasa lelah yang dia dapatkan setelah berjalan kemari sedikit terobati. "Apa yang kau buat?" Azure memutuskan untuk menghampiri gadis itu dan melihat cairan kehijauan yang mengepulkan asap di kuali yang airnya mendidih. "Membuat sup untuk merebusmu." Ruby berkata datar, tidak menghentikan gerakan cepatnya menghancurkan sebuah dedaunan lalu memerasnya di dalam kain ke dalam kuali kemudian mengaduk semua bahan di dalamnya. Azure memperhatikan sisi wajah gadis itu, mengamati setiap kali mata gadis itu sedikit bergerak di balik kain merahnya. "Yang membunuh semua orang yang mati di hutan ini bukan kau kan?." Azure tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk di tenggelamkan ke dalam kuali namun secepatnya di tahan oleh Ruby. "Pembunuh sekejam itu seharusnya tidak sehangat kamu ketika menyambut tamu." Ruby menendang sebuah wadah kecil berisi air di bawah kakinya yang langsung memadamkan api di bawah kuali. "Mengapa begitu yakin?" Dia kemudian mengeluarkan sebuah jarum dan di tusukkan ke pergelangan tangan Azure. "Intuisi, aku selalu percaya intuisiku." Azure mengerutkan kening karena sengatan dari jarum namun tidak memiliki rencana untuk menarik tangannya dari Ruby. Ruby mendengus pelan lalu mencabut kembali jarumnya. Seketika itu rasa pegal di pergelangan tangannya yang Azure rasakan akibat pertarungan semalam menghilang. "Dan aku yakin, intuisiku padamu juga tidak salah." Senyumnya semakin lebar. "Sudah aku katakan, aku ingin menjadikanmu bahan percobaan dan untuk melakukan itu, kau harus lebih sehat." Ruby meraih sebuah cawan dan mengisinya dengan ramuan yang baru saja dia buat dan menyerahkannya kepada Azure. "Kita lihat apakah kau berani meminum ini... Setelah meraih ramuan itu dari tangan Ruby, tanpa menunggu gadis itu selesai berbicara, Azure telah meneguk habis cairan yang ada di cawan itu. Rasa pedas dan pahit bercampur menyebabkan Azure mengerutkan kening, sedangkan rasa panas yang seolah membakar tenggorokannya mulai menjalar, lalu kemudian di ikuti oleh rasa sakit seluruh tubuhnya. Azure mengerang dan jatuh ke lantai, memecahkan cawan yang di pegangnya. Seluruh pori-pori di kulitnya seolah tertusuk jarum, aliran darahnya mendidih panas sedangkan jantungnya berdetak cepat, di saat butiran keringatnya jatuh satu persatu menyentuh bebatuan. Azure terbatuk dan menyemburkan darah merah gelap dari mulutnya, berkali-kali terbatuk dan tanah berbatu itu kini di warnai darah kental berbau amis. "Intuisi juga bisa membunuh seseorang." Ruby berkata dingin. Azure mendongak, menatap gadis yang masih berdiri tenang di hadapannya, dia antara nafasnya yang semakin sesak, dia bertanya-tanya apakah keinginannya untuk hidup lebih lama hingga mengharapkan kepercayaan dari seorang penyihir justru menjadi malaikat mautnya? Ruby berdiri di sana bak pengamat, sangat tenang mendengar rintihan kesakitan Azure yang semakin lemah lalu kemudian menghilang. Saat itulah dia menghela nafas pelan dan melepas ikatan penutup matanya. Mata merah itu kembali terlihat, seolah bercahaya di dalam remangnya gua. Di sinilah, di dalam pelukan bebatuan dingin, satu-satunya tempat bagi Ruby untuk bebas melihat. Namun hari ini, dia merasakan kehangatan nafas seorang manusia lain untuk pertama kalinya setelah Luna wafat. Ruby menunduk dan menatap telapak tangannya yang tadi menggenggam pergelangan tangan pria yang tergeletak di tanah itu. Berbeda dengan panasnya api dan matahari yang bisa dia temukan setiap hari, kehangatan di tangannya ini seolah bertahan lebih lama, hangat dan nyaman hingga membuat hatinya berdesir. "Hangat, kehangatan tubuh seorang manusia." Ruby menempelkan telapak tangan itu di pipinya, memejamkan mata untuk menikmatinya.    Bersambung...            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD