Seleksi Berlanjut (Akhir)

1010 Words
Seleksi Dark Guard masih berlanjut, meski peserta yang bersedia untuk bertahan hanya sepuluh orang. Selama itu pula, rumor yang beredar layaknya rantai yang semakin tajam. Rumor itu awalnya hanya di tujukan kepada Ruby, lalu kemudian menjalar ke para peserta. Sepuluh peserta yang bertahan seolah menjadi orang buangan di antar teman-teman mereka dengan segala rumor tidak menyenangkan tentang mereka yang tersebar. Tubuh mereka masih penuh luka dari pertarungan sebelum-sebelumnya, alih-alih mendapatkan istirahat yang cukup ketika mereka kembali, mereka justru mendapatkan cemoohan. Hari ini, mereka masih datang lebih awal dari waktu yang di janjikan, menyeret tubuh lelah penuh lebam mereka yang terus menderita kesakitan di setiap gerakan yang mereka buat. Hari itu, mereka pikir, mereka akan menunggu untuk beberapa saat untuk Ruby tiba. Siapa yang tahu, saat pintu sanggar di buka, gadis itu telah duduk dengan santai di dalam ruangan. Minum teh dan makan kue juga buah. Tapi, sebagai seorang penjaga, perhatian kedua mereka setelah Ruby jatuh pada busur dan anak panah yang tergeletak di atas kursi kosong di seberang meja. "Kalian sudah datang?" Ruby menyapa tanpa mendongak, meraih sebuah apel kemudian melambai ke arah para peserta yang masih tidak bergerak dari pintu masuk. "Kemari," panggil Ruby. Jude bergerak dengan sangat cepat, seperti seekor anjing yang di tawari tulang oleh tuannya, dia menghampiri Ruby dengan mata berbinar terang. Lagi-lagi Ruby memiliki dorongan untuk mengacak rambut seseorang. Meski dia tidak bisa melihat penampilan Jude, Ruby bisa menggambarkannya melalui tingkah lakunya. Ruby menahan senyumnya dan menyodorkan apel di tangannya kepada Jude. Jude dengan senang hati menerima apel itu, berterima kasih dan menundukkan kepala untuk menggigit apel itu. Namun Ruby dengan sigap menahan kepala Jude dengan jarinya. "Apelnya bukan untuk di makan." "Huh?" Jude memiringkan kepala bingung, menatap apel di tangannya lalu pada panah di meja. Pikiran mengerikan muncul di kepalanya. Ruby membagikan sisa apel lainnya kepada peserta lain dan memerintahkan mereka untuk berbaris. Sama seperti Jude, ketika mata para penjaga itu menatap apel dan panah itu secara bergantian, mereka memiliki satu pikiran mengerikan yang sama. Dan benar saja, Ruby mulai berbicara tentang peraturan seleksi hari ini. "Jadi seleksi ini akan jauh berbeda dari seleksi sebelumnya." Ruby berdiri di hadapan mereka dengan santai, sangat kontras dengan kondisi sepuluh pria di hadapannya yang punggung mereka tidak bisa lebih lurus lagi. "Peraturannya sangat mudah dan tidak memakan banyak tenaga." Ruby mengangkat apel di tangannya dan meletakkannya di atas kepalanya sendiri. "Kalian hanya perlu meletakkan apel di tangan kalian ke kepala, selebihnya. Serahkan padaku." Hening. "Apa kalian mengerti?" Masih tidak ada yang menjawab, bahkan Jude yang awalnya sangat bersemangat tidak mengeluarkan suara sama sekali. Ruby tidak peduli, dia berbalik dan mengambil busur beserta anak panah yang tersusun di dalam quiver kulit dan mengikatnya di punggungnya, selagi Ruby mulai menjelaskan peraturan kedua. "Saat aku menarik busur, aku ingin kalian membuka mata lebar-lebar." Ruby kembali ke tempat semula, mengarahkan busur tanpa anak panahnya ke para peserta dan menarik talinya. Melihat postur canggung Ruby dan getaran di tangannya ketika gadis itu menarik busur, besar kemungkinan ini adalah pertama kalinya Ruby memegang busur panah. Tebakan itu justru membuat sepuluh penjaga di sana semakin ragu-ragu. "Lihat ke depan tanpa berkedip dan saksikan anak panah itu melesat ke arah kalian dan.. Seettt... "Menembus apel di kepala kalian." Suara yang di keluarkan oleh tali busur yang di lepas semakin mengempiskan nyali penjaga itu, mereka bahkan mulai menebak apakah apel yang Ruby katakan adalah kepala mereka. Ruby menepuk tangannya tiga kali untuk mengembalikan perhatian para penjaga itu padanya. "Ayo kita mulai, sekarang letakkan apelnya di atas kepala kalian." Ruby menarik satu anak panah dari quiver dan memegang bersama busur, menunggu para peser selesai melakukan perintahnya. Namun, tidak ada gerakan dari para peserta, tidak ada yang mau lebih dulu meletakkan apel di kepala mereka. "Apa yang kalian lakukan? Letakkan apelnya di kepala." Masih tidak ada yang bergerak. Ruby berdecak kesal. "Jika kalian tidak berani, maka kalian bisa keluar. Jangan membuang-buang waktu." Beberapa penjaga menoleh ke arah rekan mereka, tidak mengatakan apa-apa tapi seolah sedang berdiskusi apakah mereka harus menyerah. Namun bagi Jude, kata-kata Ruby yang mempertanyakan keberanian mereka seperti tamparan untuknya, dia telah berjanji akan melakukan yang terbaik agar bisa lolos seleksi terakhir, dan lihatlah apa yang dia lakukan sekarang, ragu-ragu, takut dan berpikir untuk lari. Tidak mungkin, Jude belum ingin menyerah. Jadi dia menarik napasnya dalam-dalam, memantapkan hatinya sekaligus menekam rasa takut di hatinya dan di bawah tatapan terkejut penjaga lain, dia meletakkan apel di atas kepalanya. "Jude... Jude tidak menoleh pada penjaga ramping di sebelahnya, dia hanya berkata. "Aku seorang penjaga, seseorang yang seharusnya memiliki keberanian beberapa kali lipat dari rakyat biasa. Aku tidak akan membiarkan hal seperti ini mengalahkanku, aku tidak ingin menyerah!" Jude sengaja tidak memelankan suaranya agar di dengar peserta lain, berharap dia bisa menarik beberapa orang untuk tetap bertahan bersamanya dan tidak lebih banyak mempermalukan Ruby. Dan siapa yang menyangka, tujuh dari sembilan penjaga lainnya terpengaruh dengan kata-kata Jude dan meletakkan apel di atas kepala mereka masing-masing. Sisanya, dua penjaga lain melempar apel ke lantai, mendengus lalu pergi. Ruby tersenyum tipis, dia baru saja akan mengatakan sesuatu ketika seseorang di dalam barisan bertanya. "Nona Ruby, jumlah kami sekarang hanya tersisa delapan orang. Setelah di seleksi, apakah jumlahnya cukup untuk menjadi pengawal pribadi Yang Mulia." Ruby mengangkat alis dan kembali mengangkat busur dan menjawab. "Jumlah kalian lebih dari cukup." Sebelum ada yang bisa mengeluarkan suara lagi, sejumlah anak panah melesat dengan cepat ke arah kepala mereka, hingga mereka bahkan tidak punya waktu untuk berkedip. Ketika mereka tersadar dari keterkejutan, hanya ada dua anak panah yang tersisa  di dalam quiver, sedangkan delapan anak panah lainnya menembus pertengahan apel dan kini menancap pada papan sasaran yang ada di belakang mereka masing-masing. Cepat, kuat dan tepat. Dengan kondisi mata yang tidak bisa melihat dan masih bisa melontarkan panah dengan sempurna, Ruby sudah jelas bukan seorang tabib biasa. Dan mungkin saja keputusan mereka hari ini untuk tetap tinggal adalah pilihan yang terbaik. Ruby meletakkan busurnya ke dalam quiver, lalu memamerkan senyum ramah yang tidak pernah dia perlihatkan sebelumnya di hadapan para peserta. "Selamat, kalian adalah orang-orang yang lolos dalam seleksi ini. Sekarang, perkenalkan diri kalian." Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD