Menjadi Seorang Tabib

1079 Words
“Kalian menemukannya?” “Tidak.” Para prajurit menggelengkan kepala. Demien mengacak rambutnya yang telah kusut sejak tadi. Pangeran Azure tiba-tiba saja menghilang dari kamarnya ketika Boo membawakan makan siang, dan mereka telah mencari hingga ke setiap inci penginapan dan masih tidak menemukannya. “Dia pasti keluar bersama Nona Ruby,” Boo berlari dari lantai atas dengan tergesa. Demian menatap Boo “Ruby juga tidak berada di kamarnya?” tanyanya. Boo menganggukkan kepala. “Aku tahu gadis itu akan membuat masalah!” Demien menggeram marah. “Aku rasa, Pangeran sendirilah yang datang untuk mengajak Ruby berjalan-jalan.” Boo menggaruk kepala. “Kau tahu suasana hati mereka sedikit buruk beberapa hari ini.” Demian mendengus “Lalu apa itu lantas membenarkan tindakannya yang membawa Pangeran Azure keluar dari penginapan tanpa pengawalan?” “Di antara kita semua, Ruby adalah yang paling kuat.” Boo mengalihkan tatapan ketika mengatakan itu agar tidak melihat bagaimana mata Demien menatap seolah ingin melubangi kepalanya. “Apa dia mencuci otakmu?” Demien maju selangkah. “Kau terus membelanya sejak kemarin.” “Aku hanya mengemukakan apa yang aku pikir benar.” Boo mundur dan menatap prajurit lain yang hanya diam mendengar perdebatan mereka. “Kurasa yang lain juga setuju denganku.” Prajurit lain tidak mengangguk maupun menggeleng, namun dari suasana hati mereka yang lebih tenang begitu tahu Azure bersama Ruby, memberikan mereka jawaban yang sangat jelas. Demien juga tahu itu, karenanya dia hanya bisa berdecih dan melangkah keluar dari penginapan. “Pastikan menemukan Pangeran sebelum malam menjelang.” Dia membuka pintu dan berjalan keluar dengan suasana hati yang semakin buruk, namun hanya beberapa langkah setelah dia menuruni tangga penginapan, dia menghentikan langkahnya begitu melihat Azure dan Ruby berdiri di bawah tangga. “Yang Mulia!” Boo berlari melewati Demien, melompati lima anak tangga dengan sekali lompatan dan menghampiri Azure dan Ruby, namun senyum lebarnya pudar begitu dia melihat noda darah di pakaian kedua orang yang dia sambut. “Y-Yang Mulia... “Aku baik-baik saja, ini bukan darahku.” Azure memberikan senyum menenangkan dan menepuk bahu Boo lalu berjalan melewatinya. “Maaf membuat kalian khawatir, aku keluar untuk berjalan-jalan sebentar.” Ujarnya sembari menaiki anak tangga satu persatu lalu berjalan menuju pintu penginapan. “Apa yang terjadi?” Demien mengikuti, membukakan pintu untuk Azure sembari menatap pakaian Azure dengan kerutan di dahinya. “Kami bertemu beberapa Assassin di jalan pulang.” Azure mengibaskan pakaiannya dan menghilang di balik pintu bersama Demien. Boo mengalihkan tatapannya pada Ruby yang masih berdiri di hadapannya “Kau baik-baik saja?” dia melihat bahwa darah di tubuh Ruby jauh lebih banyak hingga bahkan menodai pipi hingga kain penutup gadis itu. “Baik.” Ruby melangkah masuk ke penginapan dan diikuti oleh Boo. “Berapa orang yang menyerang kalian?” Boo meraih semua kantong belanja di tangan Ruby. “Aku akan membawakannya untukmu,” Ujarnya lalu membukakan pintu untuk gadis Ruby. Semenjak mendapatkan pelatihan secara pribadi dari Ruby waktu itu, Boo telah memperlakukan Ruby jauh lebih terhormat dan juga menjadi satu-satunya orang selain Pangeran Azure yang bisa bercakap santai dengan Ruby layaknya teman. “Dua puluh orang.” Ruby menjawab. “ Wahh kau mengalahkannya sendiri?” Boo menatapa takjub. Ruby menggeleng “Tidak, Pangeran Azure menangani setengahnya.” Boo berseru terkejut. “Pangeran bisa  mengalahkan sepuluh orang sendirian? Hebat! Apakah itu artinya kau sudah berhasil membuat obat yang sempurna untuk Yang Mulia?” “Belum, Aku perlu mengetahui situasi tubuhnya sebelum bisa membuat obat yang sempurna, yang aku buat sekarang hanya bersifat sementara.” Tanpa terasa mereka bercakap hingga di depan Kamar Ruby. “Hanya bisa di minum beberapa detik sebelum pertarungan dan hanya bertahan hingga beberapa jam.” “Kau berusaha sangat keras untuk pangeran kami. Terima kasih.” Boo menyerah kantong belanja di tangannya kembali kepada Ruby. “Aku sudah berjanji untuk membuatkan obat untuknya, tentu saja aku harus menepatinya.” Ruby membuka pintu kamarnya namun tidak segera masuk, masih menunggu Boo pergi lebih dulu. “Baiklah, beristirahatlah dengan baik, aku tidak akan mengganggumu lebih lama.” Boo berbalik namun mendengar Ruby memanggilnya. “Ada apa?” Dia menoleh lagi. “Bisakah kau menemaniku berbelanja besok?” Ruby menggaruk tengkuknya, sedikit gugup meminta bantuan seseorang untuk pertama kalinya. Boo memiringkan kepala. “Belanja?” “Hum.” Ruby mengangguk. “Aku mau membeli beberapa buku?” “Ah kau ingin ke toko buku? Baiklah, kebetulan kau juga ingin membeli sesuatu di sana.” Ruby mengangguk lagi dan masuk ke dalam kamarnya lalu menutup pintu. *** Keesokan harinya, setelah sarapan pagi, Ruby dan Boo keluar bersama setelah mendapatkan Izin dari Azure. Sekali lagi berbaur dalam keramaian dengan orang yang berbeda dan dengan suasana berbeda, Ruby merasakan sensasi yang berbeda pula. Jika Azure memberinya suasana yang tenang, maka Boo memberinya suasana yang sedikit lebih hidup. Itu karena Boo benar-benar berceloteh sepanjang jalan tidak peduli apakah Ruby membalas perkataannya atau tidak. “Kau benar-benar cocok dengan pakaian itu.” Kata Boo sembari melirik gadis di sisinya beberapa kali. Ruby menghela nafas. “Kau telah mengatakan itu lima kali.”   “Benarkah?” Boo menggaruk pipi malu. “Itu karena aku terlalu terpesona jadi tidak bisa menahan kata-kataku.” Ruby memang mulai memakai pakaian yang di beli oleh Azure kemarin. Dia memilih pakaian berwarna putih yang membuat kulitnya tampak seolah bercahanya, dengan rambut panjang yang di kepang dan di sampirkan di bahu kanannya, membuat Ruby terlihat begitu anggun meskipun penutup mata yang di pakainya masih membuat beberapa orang yang melihat menyayangkan. Meski pun Ruby masih merasa risih dengan rok panjang yang mencapai ujung kakinya, namun setidaknya bahan kainnya yang ringan tidak lagi begitu merepotkan. Karena penampilannya, Ruby berhasil menyedot perhatian orang-orang hingga mereka tiba di toko buku. Bau familiar yang Ruby cium kemarin kembali menusuk hidungnya, namun tidak mengganggunya. Bau buku bukanlah bau yang bisa semua orang sukai, beberapa tidak suka bahkan membencinya namun Ruby adalah satu dari beberapa orang yang menikmati bau buku yang menguar di udara. “Buku apa yang kau cari?” Boo kembali menghampirinya setelah menyapa penjaga toko yang sejak tadi terus menatap Ruby dari atas ke bawah, bertanya-tanya wanita bangsawan mana yang memiliki putri cantik namun cacat itu. “Berikan padaku semua buku tentang pengobatan herbal dan teknik akupuntur.” Ruby mengulurkan tangannya dan membelai deretan buku tanpa peduli dengan debu yang menempel di tangannya. “Woah, kau seorang pelajar?” Penjaga toko yang sejak tadi hanya berani curi-curi pandang mendekat dan menyapa. “Kau sedang belajar ilmu kedokteran?” “Hum.” Ruby mengangguk dan menarik sebuah buku, dia tidak bisa membacanya sekarang, jadi hanya merabanya dengan lembut. “Jika dokternya seperti dirimu, aku tidak masalah untuk sakit setiap hari.” Penjaga toko itu tertawa, lalu segera berhenti dengan suara tercekat begitu Boo memberinya tatapan tajam. Boo mungkin terlihat muda dan tidak begitu maskulin, namun dia tetaplah seorang petarung yang pernah membunuh, memberikan tatapan tajam saja, sudah cukup untuk menakuti penjaga toko itu hingga bergetar. Penjaga toko yang tidak lagi muda itu berdehem. “Maaf mengganggu, pilihlah sesuka anda, aku permisi dulu.” Dia berbalik dan berlari secepat mungkin. Ruby meletakkan buku di tangannya dan meraih buku lain. “Apakah manusia memang seperti itu?” “Apa?” Boo bertanya bingung. “Beberapa menyerang saat pertama kali bertemu dan beberapa begitu ramah?” Ruby benar-benar penasaran dengan hal itu. Para pemburu membunuh Luna di pertemuan pertama mereka sedangkan Azure telah bersikap ramah padanya sejak awal meski mereka sempat bertarung. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD