2

2192 Words
Dylan menatap foto Nayla yang ada di tangannya, kemudian mengusapnya dengan lembut. Ah, gadisnya ini memang cantik sekali. Matanya yang hitam dan bulat itu selalu bersinar bagaikan bintang malam. Itu adalah apa yang paling Dylan suka dari Nayla. Matanya yang bulat dan lucu itu. Yang dulu selalu memandangnya dengan berseri-seri. Sudah hampir tiga tahun berlalu dan Dylan masih belum bisa melupakan gadis itu. Oke, kalian boleh menyebut apa saja yang ingin kalian sematkan pada Dylan sekarang. Terkena karma, pria gagal move on, pria mellow, atau apapun itu terserah kalian. Ia akan menerima semua sebutan itu. Memang, Dylan sudah bilang kepada Nathan jika dirinya telah ikhlas melepas gadis itu. Ia senang melihat Nayla yang sekarang. Ia senang melihat Nayla dan Nathan berbahagia dengan dua putri kecil mereka. Ia senang melihat ibunya selalu bersemangat setiap kali menceritakan tentang dua malaikat kecil kebanggaannya itu. Dylan senang. Dan ia selalu tersenyum. Namun, senyum itu hanya di bibirnya. Jauh di dalam lubuk hati, Dylan selalu berharap ada keajaiban untuknya dan Nayla. Walaupun ia tahu jika keajaiban itu tidak akan pernah ada. Hingga saat ini. Konyol! Itu yang selalu Dylan katakan pada dirinya sendiri setiap kali dirinya mulai membayangkan lagi tentang Nayla. Tentang bayangan mereka bersama. Seandainya ia tidak melakukan kesalahan itu … Dylan mendesah dan meletakkan kembali foto Nayla di laci meja, lalu bangkit dari kursi kerjanya. Lagi-lagi, ia hampir melewatkan waktu makan siang. Selalu seperti itu setiap harinya. Sejak tiga tahun lalu. Ia memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan sehingga tidak punya banyak waktu untuk memikirkan Nayla. Ia hanya akan bekerja, bekerja, dan menjalin hubungan satu malam dengan wanita-wanita menarik yang ia temui di klub. Oke, hatinya mati, tetapi gairahnya tidak. Kini, Dylan tidak lagi berminat untuk menjalin hubungan serius dengan seorang wanita. Wanita, baginya sekarang, sudah cukup untuk memuaskan kebutuhannya, tidak lebih. Mungkin, ini seperti fase berulang yang terjadi dalam hidupnya saat sebelum ia bertemu Nayla. Hanya saja, jika dulu ia melakukannya memang untuk bersenang-senang, saat ini, ia melakukannya demi melupakan Nayla. Meskipun gagal. Selalu gagal. Wanita itu selalu bercokol di kepala dan hatinya. Dan apa yang membuatnya lebih menyedihkan adalah Dylan selalu mencari wanita yang memiliki cirri fisik mirip dengan Nayla. Mata bulat besar, rambut gelap, dan bertubuh mungil. Si seksi berdada besar tidak akan ia lirik dua kali. Dylan tahu itu kejam. Dia juga tahu jika tidak seharusnya dia berbuat seperti itu. Namun, ia tidak bisa mengabaikan rasa sakit yang selalu muncul di hatinya setiap kali ia memikirkan Nayla. Kenapa Tuhan tidak memberinya kesempatan kedua? Kenapa Tuhan malah semakin menghukumnya dengan membuat Nayla dan Nathan menikah? Dan kenapa Tuhan menyiksanya dengan cinta meluap-luap yang dirasakan Nayla untuk Nathan juga sebaliknya? Benarkah seseorang harus menanggung akibat sebesar ini karena kesalahan-kesalahannya? Dylan keluar dari ruangannya setelah melepas jas dan dasinya. Ia selalu seperti ini jika keluar makan siang. Tanpa jas, tanpa dasi, juga tanpa mobil. Ia merasa lebih nyaman berbaur dengan banyak orang dan pekerja lainnya yang berpacu dengan waktu istirahat mereka. Tidak ada yang akan terang-terangan menatapnya jika ia terlihat biasa-biasa saja. Lagipula, gedung perkantorannya berada di dekat banyak restoran dan kafe, lebih enak berjalan kaki daripada harus naik mobil. Sejak tiga tahun lalu, Dylan memutuskan tinggal di Perancis untuk mengurusi kantor pusat yang ada di negara ini. Juga, agar dirinya lebih sibuk karena banyaknya pekerjaan di sini. Sibuk akan membuatnya lupa pada Nayla. Atau itulah yang ia pikirkan pada awalnya meskipun ternyata kenyataannya sama sekali berbeda. “Claire, aku makan dulu,” pamit Dylan pada sekretarisnya. “Jangan lupa Anda ada meeting satu jam lagi, Monsieur,” ujar Claire mengingatkan. Wanita itu tersenyum lebar padanya. Claire sangat ingin tidur dengannya, Dylan tahu itu. Hanya saja, Dylan tidak meniduri karyawannya. Juga wanita berambut pirang. Dylan mengangguk. Ia tidak akan lupa. Lagipula tidak ada hal lain yang ia ingat selain masalah pekerjaan. Dan Nayla. Kenapa sulit sekali melupakan gadis itu? Apa yang harus Dylan lakukan agar ia bisa menjauhkan Nayla dari pikiran dan juga hatinya? Apa ia harus pergi ke Mars agar bisa melupakan gadis itu? Langkah kaki Dylan bergerak pelan menyusuri deretan kafe dan restoran di sekitar gedung kantornya. Ada kafe kecil yang terletak beberapa blok dari kantornya. Muffin di sana luar biasa enak. Rasanya begitu mirip dengan buatan Mom. Hal itu kadang menjadikan obat rindu kepada ibunya. Saat ini, Dylan tinggal sendirian di negara ini. Sebenarnya, keluarga ayahnya ada di selatan Perancis, tetapi ia lebih memilih untuk tinggal di apartemennya sendiri. Bukannya ia tidak mau berkumpul dengan keluarganya. Dylan hanya tidak suka jika neneknya mulai bertanya kapan ia menikah setiap kali dirinya datang. Dylan tahu jika dirinya sudah berumur. Bukan tua ya, catat itu. Namun, ia memang belum berminat untuk menikah. Entah kapan dirinya akan menikah. Mungkin nanti. Jika ada gadis seperti Nayla di dunia ini. Atau mungkin tidak. Anak-anak Nathan bisa menjadi pewaris perusahaan mereka nantinya jika memang dirinya tidak memiliki anak. Aroma harum dari berbagai makanan langsung menyergap indera penciumannya begitu Dylan memasuki kafe kecil itu. Ia menemukan kafe ini secara kebetulan. Waktu itu, Dylan bertemu dengan seorang perempuan tua di jalanan yang kerepotan membawa barang belanjaannya. Merasa tidak tega, Dylan menawarkan diri untuk membantu. Ternyata wanita itu adalah pemilik kafe mungil ini. Kafe sederhana yang mencoba bertahan di tengah menjamurnya kafe-kafe juga restoran yang lebih besar dan modern. Wanita tua bernama Sofia itu menawari Dylan untuk minum kopi dan menyediakan muffin coklat sebagai teman minum kopinya itu. Sejak saat itu, muffin dan kopi adalah pasangan sejati bagi Dylan. Manisnya coklat dan empuknya roti melengkapi pahitnya kopi yang tersaji. Hal itu membuat Dylan tidak ingin segera menghabiskan kopinya. Ia menyesal karena selalu menghabiskan paginya dengan secangkir kopi dan croissant. Seharusnya, sudah sejak dulu ia menikmati kopi bersama muffin. Dulu, muffin baginya adalah kudapan sore hari karena memang Mom lebih sering membuatnya untuk menemani mereka minum teh pada sore hari. Namun, semenjak tahu jika Sofia mempunyai muffin seenak ini, pagi Dylan selalu dihabiskan dengan secangkir kopi dan satu atau dua muffin buatan wanita itu. Hanya saja, tadi pagi, Dylan tidak sempat pergi kemari karena ia bangun kesiangan. Tadi malam ia menghadiri undangan makan malam dari salah seorang temannya yang baru saja menang tender. Dan tentu saja makan malam itu melibatkan alkohol dan seks. Dylan tidak begitu ingat apa yang terjadi, hanya saja, pagi tadi ia terbangun dengan seorang wanita berambut hitam dan bertubuh mungil yang kembali ‘menyerangnya’ sebelum ia pulang ke apartemennya sendiri. “Dylan!” Teriak Sofia begitu Dylan memasuki kafe. Wanita itu melepas apronnya, kemudian berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Dylan. “Kenapa tadi pagi tidak kemari?” Tanyanya sambil cemberut. Dylan tertawa melihatnya merajuk. Sofia yang berusia pertengahan enam puluhan dengan rambut putih dan tubuh gemuknya selalu mengingatkan Dylan pada neneknya. Neneknya lebih tua dari Sofia, tetapi beliau tidak kalah gesit dari Sofia. Neneknya juga jauh lebih cerewet dari Sofia. “Maafkan aku, Sofia, aku bangun kesiangan tadi pagi. Semalam aku terlalu banyak minum,” akunya dengan jujur. “Dasar bujangan! Menikahlah agar kau bisa bangun pagi!” Sofia mencubit hidung Dylan kemudian berbalik untuk kembali masuk ke dapurnya. Sekarang, gantian Dylan yang cemberut dan mengikuti Sofia masuk ke dapur. Ia selalu makan di dalam jika sedang kemari. Bagi Dylan, Sofia sudah seperti neneknya sendiri setelah ia mengenal pribadi Sofia yang menyenangkan selama setahun ini. “Aku sudah siapkan muffin baru untukmu.” Sofia menyodorkan secangkir kopi ditemani sepiring muffin yang masih hangat dan harum. “Resep baru?” Dylan memandangi kue mungil berwarna kuning itu dan hampir meneteskan air liurnya. Aromanya benar-benar menggiurkan. “Tentu saja! Lemon crumb muffins with lemon glaze. Cobalah. Aku jamin kau akan ketagihan!” Dylan meraih muffin yang sangat harum itu dan menggigitnya. Oh My Gosh!!! Ini lebih dari enak! Ini luar biasa lezat. Jika kebanyakan glaze itu berasa manis, kali ini Dylan menemukan rasa gurih dan asam segar dari lemon, jadi bukan d******i rasa manis yang terasa di mulut, tetapi kombinasi ketiga rasa itu. Ditambah dengan legitnya roti dan potongan keju yang tersembunyi di dalamnya, membuat lidah Dylan tergoda untuk mencicipnya lagi dan lagi. Sofia memang brillian. Sangat-sangat brillian. Kenapa ia tidak mengenal wanita ini sejak awal dirinya tinggal di Perancis? “Suka, Dylan?” Sofia terkekeh saat melihat Dylan menghabiskan muffin ketiganya. “Sangat! Kenapa baru sekarang kau membuatnya?” tanya Dylan sambil berdiri di samping Sofia untuk ‘mencuri’ muffin keempatnya hari ini. Sofia tertawa sambil menepis tangannya. “Itu tidak dijual. Ini adalah permintaan cucuku. Dia sangat menyukai lemon. Sebenarnya, aku hanya membuat itu untuknya. Dia menantangku membuat muffin dari lemon dan keju. Cepat habiskan kuemu itu. Dia bisa marah jika melihat aku memberikan muffin itu pada orang lain lebih dulu.” Dylan mengangkat alisnya. “Oh ya?? Protektif juga cucumu. Aku akan memakannya pelan-pelan sampai dirinya datang agar dia marah.” Lagi-lagi Sofia tertawa dan memukul kepala Dylan pelan. “Jangan mencoba peruntunganmu, anak muda. Dia bisa menghajarmu!!” “Menghajarku?? Apa...” “Granny!!!” Dylan menoleh saat mendengar teriakan barbar itu dari pintu dapur. Sofia berlari kecil menghampiri gadis metal itu. Kenapa Dylan bilang dia gadis metal? Oh, lihat saja penampilannya itu. Celana jins yang robek di bagian lututnya, jaket kulit berwarna hitam, rambut pirang yang diikat sembarangan, tas ransel, dan juga sepatu boot tinggi. Penampilan macam apa itu? Dylan tidak pernah menyangka jika Sofia memiliki cucu seorang 'rocker' seperti itu. Pantas tadi Sofia bilang cucunya itu bisa menghajarnya. Dylan tidak sangsi lagi jika melihat penampilannya ini. Gadis ini pastilah anak bandel! “Muffin-ku!! Granny, siapa dia?? Kenapa dia memakan muffin-ku??” Teriak gadis itu marah saat melihat Dylan yang masih memegang muffin-nya yang tinggal separuh. Matanya menatap Dylan dan muffinnya bergantian dengan sengit. “Jade, kuemu masih ada. Dylan hanya mencobanya.” Jadi si barbar ini namanya Jade? “Mencoba? Sejak kapan Granny menyuruh orang lain mencoba muffin-Ku!” Jade menekankan kata 'ku' sambil masih menatap Dylan dengan galak. Sofia memukul kepala Jade pelan seperti yang tadi ia lakukan pada Dylan. “Bersikap lembutlah sedikit. Kapan kau akan punya kekasih jika selalu galak seperti itu?” Sumpah, Dylan harus mati-matian menahan tawanya. Terang saja gadis ini tidak punya kekasih. Mana ada pria yang mau dengan gadis seperti dia? Kecuali itu pria yang sama anehnya dengan dandanan Jade tentu saja. Pria waras dan normal akan memilih gadis dengan dandanan yang layak dilihat. “Apa yang kau tertawakan, orang asing?” Mata biru itu melotot. “Namanya Dylan. Dia bukan orang asing. Dylan, ini Jade, cucuku.” Sofia memperkenalkan mereka. Dylan hampir mengulurkan tangan, tetapi kembali menariknya saat gadis itu melengos pergi sambil menyapa beberapa karyawan Sofia. Sial! Dasar gadis tidak sopan! “Maafkan cucuku.” Sofia menepuk tangan Dylan pelan. Wanita itu menatap Dylan dengan curiga saat dirinya mati-matian menahan tawa. “Ada apa, anak muda?” Mata Sofia menyipit hingga membuat Dylan meledak dalam tawa. “Maaf...maafkan aku, Sofia. Aku...” Dylan masih terkikik geli. Ya Tuhan, sudah lama sekali ia tidak tertawa selepas ini. Rasanya benar-benar…melegakan. Sofia ikut terkekeh bersamanya. “Jade memang begitu. Barbar ya?” “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menghina cucumu. Hanya saja, aneh rasanya melihat kau memiliki cucu metal seperti itu.” Bagaimana tidak aneh. Sofia itu tipe wanita yang sangat keibuan dan lembut, ya walaupun agak 'ribut' sedikit, tetapi masih dalam batas normal. Sedangkan gadis tadi... “Dia tidak semetal penampilannya.” Sofia kembali mencubit hidungnya. Dylan cemberut. Sofia suka sekali mencubit hidungnya seperti yang dulu selalu dilakukan Nayla. Hhh...oke, jangan bandingkan apapun yang orang lain lakukan padamu dengan Nayla. “Bagaimana kalau kau pacaran saja dengan cucuku?” Dylan tersedak kopinya sementara sebuah teriakan juga ikut terdengar sebelum si gadis metal muncul lagi di dapur. “Big No, Granny!!” Mereka saling berpandangan dengan tajam. Tidak tahan, Dylan menjulurkan lidah padanya. “Siapa juga yang mau berpacaran denganmu, gadis metal!” “Kau pikir aku juga mau berpacaran dengan pria sepertimu?” Dia balas menjulurkan lidahnya. “Apa maksudmu dengan pria sepertiku?” tanya Dylan dengan tersinggung. Ia tahu ada konotasi negative di balik kata ‘pria sepertimu’ itu. “Kau...” Jade memandangnya sambil tersenyum sinis dan meremahkan. “Benar-benar…penjahat wanita ‘kan?” Mata Dylan melotot. “Penjahat wanita?? Apa maksudmu??” Sialan! Penjahat wanita? Para wanita tidak pernah menyebutnya penjahat. Ia adalah dewa. Dewa seks. Dewa ketampanan. “Sudah. Berhenti!” teriak Sofia dengan kesal. “Kalian ini baru bertemu sekali saja sudah ribut. Bagaimana kalau bertemu setiap hari?” “Aku bisa mual setiap hari!!” Dylan mencibir pada gadis itu. “Apalagi aku! Aku bisa sakit kepala mendengar teriakan barbarmu itu!” “Kau...” “Cukup kalian berdua. Tidak malu dilihat para pegawaiku?” Kepala Sofia meneleng pada pegawainya yang tersenyum-senyum melihat pertengkaran itu. Dylan tersenyum salah tingkah menatap para pegawai Sofia. Hilang sudah predikat pria tampan berwibawanya gara-gara gadis metal ini. Ia baru akan kembali menikmati muffin-nya saat gadis nakal itu menarik piringnya. “Apa-apaan kau ini??” “Ini punyaku. Kau makan saja yang lain!” “Itu punyaku! Sofia bilang masih banyak untukmu!” “Tetapi muffin lemon itu permintaanku! Tidak boleh ada yang memakannya selain aku!” “Kau...” Ocehan Dylan terhenti karena getaran ponsel di kantong celananya. Nama Claire berkedip-kedip di layar. Matanya membulat saat melihat jam tangan. Sial! Ia terlambat meeting!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD