10

1019 Words
~Senja~ Aku pulang dengan tangan kosong. Apa yang harus aku katakan pada ibuku nanti ? Padahal om Langit adalah satu-satunya orang kaya yang aku kenal. Mau minta tolong sama Biru sepertinya percuma, karena dia juga bukan orang kaya sepertiku. Aku menyusuri jalan dengan sangat lambat, berharap bisa menemukan jalan keluar sebelum aku sampai pada tempat ibuku. "Bintang !" Aku langsung melajukan motorku dengan kecepatan tinggi. Aku pergi menuju rumah Bintang. Masa bodo dengan resiko yang akan aku tanggung nanti. Jika tidak bisa mendapatkan bantuan dari ayahnya setidaknya anaknya pasti bisa membantu. Entah kenapa kok dengan mendatangi Bintang aku merasa bisa sedikit merubah masa depanku meskipun mustahil karena Bintang juga hanyalah seorang anak kecil. "Makasih ya Bintang. Kamu baik banget. Mama gak tau gimana caranya harus berterimakasih sama kamu." Kataku begitu selesai mengarang cerita di depan Bintang. Aku tak mungkin menceritakan kondisiku yang sungguh sangat memilukan kepada anak sekecil itu karena pasti juga dia tidak akan mengerti. Aku hanya bercerita bahwa aku ingin bekerja di rumah Bintang, dan aku memohon padanya agar Bintang mau bicara kepada papanya agar aku bisa bekerja disini. "Tidak mama, mama tidak perlu berterimakasih pada Bintang, justru Bintang seneng kalau mama tinggal disini." Kata Bintang sambil memelukku. "Aku juga seneng tante disini. Bintang jadi ga kesepian lagi kalo aku sama kakak belum pulang sekolah atau papa belum pulang kerja." Bulan menyambung. Aku tersenyum melihat kedua anak kecil itu. Kupeluk mereka berdua, di dalam hatiku merasa bersalah karena aku memanfaatkan kekayaan mereka. Maafkan aku ya Bintang dan Bulan. ***** "Yakin disini ?" Kata Biru meyakinkan. Saat ini posisi kita berada di sebuah kos-kosan kecil. Aku beraniin diri buat minjem uang ke Biru dan menjanjikannya untuk mengembalikan saat aku gajian dari salon atau mungkin setelah dapat uang pinjaman dari om Langit. "Mau dimana lagi kak ?" "Aku cariin kontrakan aja. Ini buat kalian berdua lho, sempit banget." "Ini aja ngutang. Yakali minta yang gede kak?" "Gak pa-pa santai aja. Nanti kalo gak bisa bayar, gampang kok. Bayarannya kamu harus jadi pacar aku. Tar lunas utangnya." "Situ datuk maringgi ?" Sungutku. "Heh apa-apaan kalian ini. Ayo masuk bantuin ibu beres-beres dulu." Ibuku keluar dari rumah dan menegur kami yang sedang berdebat. Aku dan kak Biru masuk kerumah mengekor ibuku yang memasang muka masam akibat aku terlambat pulang dan setelah sampai bukannya membantu ibu beres-beres malah berdebat dengan kak Biru. Sebenarnya kak Biru tidak berniat meminjamkan aku uang, dia malah memberikanku uang agar bisa kupakai dengan cuma-cuma, hanya aku yang tidak enak hati, karena kita masih sama-sama anak sekolah yang masih butuh uang banyak. "Bude yakin mau jualan ?" Tanya kak Biru pada ibuku. "Buat nambah penghasilan to Ru." Jawab ibuku. " Tapi bude sudah sepuh, apa gak capek nanti kalau harus muter-muter ? Laba orang jualan makanan jadi itu gak seberapa bude, tapi repotnya minta ampun." "Doakan bude ya, jika hanya mengandalkan gaji Senja tidak akan cukup untuk kehidupan sehari-hari dan membayar hutang peninggalan bapaknya Senja." "Bude, Senja dinikahin aja sama Biru, biar Biru nanti yang bertanggung jawab atas Senja dan ibu." Bruk ! Aku melempar bantal ke kepala kak Biru. Dia nampak kaget menerima bantal yang sengaja kulempar ke wajahnya. "Apaan sih ?" Tanya kak Biru dengan nada sedikit marah "Kalau ngomong suka ngawur !" Kataku sambil merebahkan diri di tikar. "Lha ? Emang salah ? Bude emang kalau Biru nikah sama Senja gak boleh ?" "Yo karepmu, kalau Senja mau yo sana nikah. Tapi eling nikah itu bukan cuma buat main-main, pernikahan itu adalah janji suci, janji sehidup semati, pernikahan itu bukan cuma tentang dua hati tapi juga tentang dua manusia, dua keluarga yang menjadi satu. Dari kamu aku menjadi kita. Kemantapan hati dan ekonomi juga diperlukan, gak cuma ayo nikah saja." Nasihat ibuku. "Dengerin tu baik-baik. Dasar !" Kataku pada kaka Biru yang disusul ketawa tanpa dosa dari wajah kak Biru. Kak Biru dan keluargaku memang sangat dekat. Setelah dia pulang entah kenapa aku jadi berfikir tentang perkataan kak Biru, benarkah ungkapan tentang pernikahan itu ? Rasanya tidak mungkin jika dia benar-benar ingin menikahiku. Kami kenal dan bersahabat sudah sangat lama, dia sudah kuanggap kakakku sendiri, dia sudah berkali-kali mengungkapkan perasaannya padaku, tapi aku tak pernah menerimanya, bukan karena aku tak menyukainya, tapi karena aku merasa itu tidak akan mungkin, apalagi kak Biru ini orangnya humble, dia juga banyak yang suka, kalau cinta kepadaku, rasanya itu sangat mustahil. Aku merebahkan diriku di ranjang, mataku enggan terpejam melihat jam dinding yang terus berdetak menanti hari esok. Aku kepikiran om Langit, apa yang akan dia lakukan padaku esok hari ? Demi materi aku rela menjatuhkan harga diriku padanya, aku rela untuk mengemis padanya, bahkan aku tega memanfaatkan kebaikan Bulan dan Bintang. "Buk, aku berangkat dulu ya." Pamitku pada ibuku. "Iya nduk hati-hati ya." Aku mengendarai motorku dengan kecepatan sedang menuju ke salon. Namun tiba-tiba saat berada di lampu merah ada mobil pajero hitam yang berhenti tepat di sampingku, dia membuka kaca jendela mobilnya dan melihatku dengan tatapan yang begitu menakutkan. "Ikuti saya !" Katanya singkat sebelum kembali menutup jendela mobilnya lagi. Aku menarik nafas panjang dan melepasnya dengan cepat. Jantungku langsung berdegup dengan kencang mengingat perintah dari om Langit. Wajahnya yang sudah dingin bertambah dingin. Aku bergidik saat dia memerintahku mengikutinya, ingin rasanya kabur saja, tapi jika aku kabur aku takut dia akan semakin marah. Mobilnya sudah terparkir rapi di belakang stadion Manahan. Aku melihatnya keluar dari mobil dan duduk di salah satu kursi taman dan menyalakan rokok, sementara aku lebih memilih memarkirkan motorku dulu. "Om ... " Sapaku mendekat ke arah om Langit. Dia masih terus diam memainkan ponsel dan menyesap rokoknya, sementara aku masih berdiri di depannya menunggu perintahnya. "Duduk !" Perintahnya tanpa melihatku. Aku melepas sepatuku dan mulai menginjakkan kaki pada tikar tempat dia duduk. Sambutan pertama yang aku terima adalah hembusan asap rokok dari mulut om Langit yang tepat di depan wajahku hingga membuatku terbatuk-batuk. "Apa maksudmu ?" Tanya dia. "Om saya... " "Dalam waktu satu hari berita yang kamu buat sudah membuat onar seluruh isi perusahaan." "Om saya kan sudah minta maaf dan saya juga sudah menjelaskan alasan saya kemarin, saya ...... " "Kamu harus bertanggung jawab pada apa yang sudah kamu perbuat."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD