Kemana Mereka Mengajak Ziva?

1124 Words
Baby Sitter Selingkuhan Suamiku 2 "Lah ini kita mau ke mana, Pa?" tanyaku saat jalan yang dilewati Mas Joko bukan jalan pulang. "Mau ganti velg baru buat mobil kita dulu, Ma. Nggak apa-apa 'kan?" jawab Mas Joko sambil tersenyum ke arahku. "Ya nggak apa-apa sih..." jawabku singkat. "Nanti, pulangnya kita makan soto batok kesukaanmu ya, Ma," ujarnya lagi yang hanya kubalas dengan anggukan saja. Selama dalam perjalanan, sejak tak ada Likah, Ziva selalu duduk dipangkuan Papanya. Putri kecilku itu, memang sangat manja sekalu pada Papanya. "Kak, itu main sama Mbak yang baru, namanya Mbak Yanti," ucapku pada Ziva. "Kakak mau Mbak Likah," jawab putriku, diumurnya yang baru genap dua tahun bulan kemarin itu, bicaranya sudah amat fasih memang. "Mbak Likah kan sudah nggak kerja sama kita lagi, Kak...yang menemani Kak Ziva main sekarang Mbak Yanti ini," ucapku memperkenalkan. Namun saat kulirik dari spion atas, ternyata di jok belakang, Yanti sedang duduk sambil menaikkan kedua kakiknya keatas, dan membersihkan kukunya yang panjang-panjang dan di cat merah itu, senada dengan rambutnya. "Kamu aslinya mana Yan?!" tanyaku. Tetapi aku tak dapat jawaban darinya, dia masih asik sendiri. "Yan, itu ditanya loh, kamu aslinya mana?" Mas Joko tiba-tiba ikut bicara. "Oh...aku asli Kalimantan loh," jawabnya spontan dengan tersenyum. Kalau aku yang ngajak ngobrol, entah mengapa kok dia diam saja, padahal jika Mas Joko yang mengajak bicara, dia spontan langsung menjawab. "Kak, sana duduk di belakang sama Mbak Yanti ya," ujar suamiku itu lagi. "Ayok sini Sayang, sama Mbak Yanti. Nanti kita main bareng. Sini anak cantik." Yanti pun kini mulai merayu Ziva. Mereka pun kini mengobrol dan bercanda bertiga, Mas Joko, Yanti dan juga Ziva. Seolah keberadaanku di sini ini transparant. Aku pun akhirnya diam saja, kesal. Ingin protes aku masih malas. Kubiarkan saja mereka bercanda, kucoba berpikiran positif dulu, mungkin saat ini Mas Joko memang sedang memperkenalkan baby sitter itu pada Ziva. Dari pada jengkel memikirkan Yanti yang sok cantik, aku pun kemudian mengambil handphond di saku daster, toh Mas Joko pun tak sekalipun mengajakku bicara, karena sudah asyik dengan Yanti. Sudah sekitar dua bulan ini, aku mulai menulis di sebuah platform menulis, namun Mas Joko tak tahu itu. Dua bulan menulis aku mengantongi uang sekitar lima juta rupiah, dan suamiku tak tahu tentang hal itu. Awalnya aku hanya suka membaca tulisan-tulisan di platform ini, namun akhirnya kucoba menulis sendiri, sebuah novel yang menceritakan tentang seorang istri yang tegar. Ternyata tulisanku ini diterima oleh banyak pembaca. Bulan pertama aku mendapat bagi hasil sebesar dua juta, bulan berikurnya kudapat tiga juta rupiah. Dan bulan ini sepertinya aku mempunyai lebih banyak membaca, karena kini, aku sudah mengantongi uamg sekitar tiga juta meski masih dipertengahan bulan. "Ma...sudah nyampai di toko variasi mobil ini. Mau turun nggak?" Pertanyaan dari mas Joko itu, tentu saja membuatku kaget yang sedang asyik menulis. Aku langsung mendongak, dan melihat ke sekitar, ternyata kami memang telah berada di depan toko variasi mobil langganan suamiku itu. "Ziva mana, Pa?!" tanyaku karena tak melihatnya di dalam mobil. "Tuh, sudah turun sama Yanti," ucap Mas Joko sambil menunjuk Yanti yang sedang menggendong Ziva, "kamu turun nggak, Ma?" "Diganti sekalian nggak sih velg-nya, Pa?" tanyaku lagi. "Rencana sih, mau langsung kuganti, Ma. Turun saja, nah di sana kan ada tempat duduk dan kantinnya. Mama bisa nyantai sambil ngemil di sana, biar Ziva sama Yanti," ucap Mas Joko sambil menunjuk ke arah kantin. Aku pun segera turun, dan menghampiri Ziva dan Yanti, "yuk Yan, kita ke sana sambil ngemil," ajakku. "Nggak deh, Bu. Aku di sini saja sama Ziva. Nanti kalau haus aku ke sana deh!" jawabnya enteng. Perilaku Yanti dan cara bicaranya itu, mencerminkan tak ada sama sekali hormat padaku, beda sekali dengan Likah. Namun kucoba mengerti, mungkin karena usia kami yang tak begitu jauh beda. "Ya sudah, nanti kalau Ziva cari, antar ke sana ya," jawabku yang dijawabnya dengan anggukan saja. Aku pun segera berlalu ke kantin dan memesan jus buah serta pisang coklat kesukaanku. Kulihat Ziva masih asyik bermain dengan Yanti di ayunan yang ada di sana, sementara Mas Joko masih antri, karena memang toko ini cukup ramai. Aku pun kembali melanjutkan menulis, karena memang para pembaca selalu minta double update tiap hari. Bagi hasil yang kudapat itu, rencananya akan kugunakan untuk berinvestasi membeli tanah. Kenapa aku ingin berinvestasi sendiri? Karena sebenarnya Mas Joko bukan seorang suami yang baik, menurutku. Sejak menikah, aku tak pernah tahu berapa uang yang didapatnya. Tiap bulan, dia akan mencukupi dan membelanjakan sendiri semua kebutuhan rumah tangga dan dapur. Termasuk s**u dan popok untuk Ziva. Untuk keperluan dapur sehari-hari, dia akan mengajakku berbelanja ke pasar tiap tiga hari sekali. Jika aku ingin beli sesuatu, maka akan dibelikan olehnya, selalu seperti itu. Tiap hari, dia hanya akan memberikan uang sepuluh atau lima ribu saja untukku, kadang malah saat sore diminta untuk tambahan membeli rokok. Pernah kuminta uang jajan harian lebih banyak, tapi katanya aku tak boleh boros jadi istri, dan lagi snack untuk Ziva sudah dibelikan juga olehnya. Padahal, namanya anak kecil, jika ada penjual makanan keliling kadang masih minta dibelikan juga. Memang semua kebutuhan terpenuhi, tapi sebagai istri seorang mandor borong, aku juga ingin memegang banyak uang. Aku sebenarnya masih terus bersabar selama dua tahun, karena kupikir yang penting aku dan Ziva tak kekurangan. Namun setahun yang lalu, aku menemukan banyak chat Mas Joko dengan seorang pemandu lagu bernama Sandra. Dari chat-chat itu, terlihat mereka sudah intens bertemu. Namun Mas Joko masih mengelak, dan katanya itu adalah chat temannya sesama orang kantor yang tak ingin ketahuan istrinya. Sebenarnya, saat itu aku sudah ingin mengakhiri pernikahan ini, namun Galih menasehatiku, agar tak terlalu egois dan memikirkan Ziva, dan lagi aku juga tak melihat dengan mata kepalaku sendiri perbuatan mereka. Jadi, aku pun akhirnya memberikan kesempatan lagi padanya. Saat itu juga Mas Joko pun berjanji membelikanku sebidang tanah, atas namaku, dan hal itu sedikit membuatku senang, karena selama ini, apapun yang dibeli selalu atas namanya. Sekitar empat puluh menit menulis, akhirnya aku bisa menyelesaikan satu bab sudah kuketik sejak di dalam mobil tadi. Aku pun kemudian mencari keberadaan Ziva, tapi sejauh mata memandang di toko ini, tak dapat kutemukan Ziva dan juga Yanti. Aku pun kemudian mengedarkan pandangan ganti mencari Mas Joko, ternyata dia pun tak ada. Segera kubayar camilanku di kantin ini, kemudian mencari mereka. Setelah berputar, ternyata mobil kami pun tak ada di tempat. Jadi kini lengkap, Ziva,Yanti, Mas Joko dan mobilnya pun tak terlihat. "Pak, mobil Nissan Livina warna putih yang tadi di sini di mana ya?" tanyaku pada tukang parkir. "Ohhh...sudah pergi dari tadi, Bu. Sepasang suami istri dan anak cewek 'kan Bu yang mengendarai? Suaminya berkacamata, dan istrinya berambut pirang? Sudah sekitar setengah jam lalu perginya, Bu," jelas tukang parkir itu. Apa yang diucapkan tukang parkir itu benar ciri-ciri Mas Joko dan Yanti. Lalu kemana mereka? Kenapa tak bilang padaku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD