Adam dan Iham

1653 Words
Lelaki berwajah oval itu mulai berhenti saat melihat pintu di depannya. Di luar masih terdengar isak tangis gadis yang memang sejujurnya mengingatkannya pada Jingga, tapi ucapannya tadi. Iham tidak menyangka akan membohongi kakaknya hingga seperti itu. Ia bahkan tidak tahu arti jatuh cinta yang sebenarnya. Perlahan tangannya yang putih bersih pun memegang handle pintu. Ia menahan napasnya kemudian membukanya perlahan. Dilihatnya Ajeng berdiri di sana, menatapnya dengan perasaan kalut. Iham menutup kembali pintu ruangan kakaknya sambil tersenyum menggoda. "Kamu kalau nangis jelek banget, Jeng." Ajeng tidak mempedulikan wajahnya. Biar saja dia jelek yang terpenting baginya saat ini hanya pekerjaannya. Ia bisa jadi gelandangan kalau dipecat. "Gimana, Mas? Apa aku tetap dipecat?" tanya Ajeng sambil menghapus air matanya. Berbicara pun masih ditemani isak tangisnya. "Masa aku udah senyum-senyum gini dan kamu masih dipecat sih?" Iham tersenyum. Memperlihatkan wajahnya yang jenaka. Tapi belum sempat melanjutkan ucapannya, Iham terdiam saat merasakan pelukan yang begitu kencang dari seorang gadis yang baru dikenalnya. "Aku enggak dipecat, Mas Iham? Mas Iham serius kan?" tanya Ajeng sambil melepaskan pelukannya. Ia mendongak untuk melihat ekspresi di wajah Iham. "Dua rius deh," gumam Iham. Dan Ajeng kembali memeluk Iham. Ajeng tersadar dengan apa yang dilakukannya beberapa saat kemudian. Euforianya yang terkikis membuatnya kembali sadar bahwa dia sedang memeluk seorang pria. "Ya ampun, Mas." Ajeng mundur selangkah. "Maaf, aku enggak sengaja meluk-meluk Mas Iham." Iham terkekeh. "Sengaja juga enggak apa-apa. Sini, mau peluk aku lagi enggak?" tanya Iham sambil melebarkan kedua lengannya. Dengan wajah memerah, Ajeng pun menggeleng. "Makasih ya, Mas. Tapi, Mas enggak bohong kan kalau aku enggak jadi dipecat sama Pak Adam?" Decakan Iham terdengar sangat nyaring di telinga Ajeng. Laki-laki itu kemudian melangkah lebih dulu. "Kamu tuh masih enggak percaya juga." "Habis, kayak enggak mungkin banget, Mas. Tadi kan Pak Adam marah banget ke aku." Ajeng mengikuti langkah Iham. Ia bahkan lupa tentang nasib pecahan cangkir di ruangan Pak Adam. "Pak Adam emang gitu, Jeng." Ajeng terdiam sejenak. Ia merasakan ada suatu hal janggal ketika mendengar jawaban Iham. "Mas Iham kok kayaknya kenal deket ke Pak Adam?" tanya Ajeng penasaran. Laki-laki di sampingnya hanya tersenyum tipis. Setelah memencet tombol lift, ia pun tak urung mengatakan apapun. "Kamu habis ini mau pulang, Jeng? Udah jam 6 nih." Ajeng mengangguk pendek bersamaan dengan lift yang terbuka. Di dalam lift Ajeng melihat sosok yang tidak asing lagi baginya. Ia melihat Afif berdiri sambil membawa alat pel, sapu, dan tong sampah. "Afif," ujar Ajeng. Ia menyapa teman satu profesinya. Afif melangkah ke luar dari lift kemudian mendesah pendek. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya. Ia sudah yakin kalau Ajeng sudah dipecat oleh bos besar itu. "Aku baik-baik aja, Fif. Kamu mau ngapain?" "Mau beresin pecahan cangkir kopi di ruangan Pak Adam." "Ya ampun, aku bener-bener lupa sama pecahannya. Biar aku aja yang beresin, Fif." "Jangan, Jeng!" Bukan suara Afif yangg terdengar, melainkan suara milik Iham. Laki-laki itu sudah berdiri di dalam lift yang terbuka. "Biar temen kamu aja. Kan bisa gawat kalau Pak Adam berubah pikiran kalau ngelihat muka kamu lagi sekarang. Bisa-bisa dia mecat kamu lagi." Afif tidak mengerti. "Emang Ajeng enggak dipecat?" tanya Afif bingung. Ini di luar ekspektasinya saat mendapat telepon dari sekertaris Pak Adam. Ia benar-benar mengira Ajeng sudah dipecat di detik yang sama ketika ia memecahkan cangkir kopi milik bos pemarah itu. "Alhamdulillah, aku enggak jadi dipecat, Fif. Ini berkat Mas Iham," Ajeng menoleh ke arah Iham yang kini melipat kedua tangannya di depan d**a. Mendengar namanya disebut, Iham pun tersenyum tipis. Ia mengangguk kemudian menahan pintu lift saat hendak tertutup. "Ayo, Jeng!" ajak Iham. "Aku duluan ya, Fif. Nanti kita ngobrol lagi." Setelah itu, Ajeng pun memasuki lift. Ketika pintu lift tertutup, Iham dan Ajeng sama-sama terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Ketika sampai di lantai 3, Iham pun pamit sementara Ajeng kembali melanjutkan perjalanannya menuju lantai dasar, menuju pantry kantor. *** Ajeng sudah berganti pakaian saat Afif kembali ke pantry. Mereka dengan heboh membicarakan insiden yang baru dialami Ajeng, berlanjut dengan kisah horor yang dialami OG seperti Ajeng saat mengantarkan makanan atau minuman ke ruangan CEO kampret itu untuk pertama kalinya. "Jadi emang Pak Adam kayak gitu orangnya?" Ajeng berdecak kesal. "Pantesan saat aku masuk, aku denger dia lagi marah-marah ditelepon." "CEO kita emang pemarah, Jeng. Aku juga enggak nyangka Pak Iham bisa membujuk Pak Adam supaya enggak jadi memecat kamu. Biasanya kalau Pak Adam udah buat keputusan, dia pasti enggak akan mengubahnya." "Aku juga enggak tahu kenapa bisa begitu? Saat aku tanya Mas Iham, dia malah jawab dengan gurauan. Tapi aku merasa, Pak Adam sama Mas Iham ini pasti teman dekat, Fif." "Bisa jadi. Apalagi dia bisa membuat Pak Adam berubah pikiran. Ini bener-bener keren." Afif tertawa lebar. "Oh ya, kamu juga kayak udah kenal dekat Pak Iham sih? Pakai acara manggil Mas pula." "Biasanya juga ke karyawan laki-laki kita manggilnya Mas, Fif. Emang kenapa?" Afif menggeleng kecil. Ia sudah membereskan perkakas kebersihan dan mengembalikannya ke tempat semula. Dan kini ia pun bersiap-siap pulang. "Enggak, karena setahuku Pak Iham itu manajer keuangan yang baru. Jadi bedalah sama karyawan-karyawan lain di kantor ini yang sering kita panggil Mas." "Tapi kan aneh banget, Fif, kalau cowok yang masih muda kayak Mas Iham udah dipanggil Bapak." Afif tidak membalas. Ia menyampirkan tas selempang hitamnya kemudian mengajak Ajeng berdiri. Mereka pun bergegas pulang. *** Tidak ada hal yang harus dibicarakan ketika keduanya bertemu di meja makan. Dua laki-laki yang dulunya kecil kini sudah tumbuh dewasa. Yang satu dengan wajah datar dan kurang bersahabat, dan yang satu lagi dengan wajah santai. Mereka adalah Adam Bimantara dan Iham Adipura. "Gimana kerja kamu di kantor Mas Adam, Ham?" tanya ibu mereka, Mama Santi. Iham yang sedang asyik menyantap makan malamnya pun mengunyah lebih cepat. Ia menelannya kemudian meminum air putih. Barulah ia menjawab pertanyaan sang ibu. "Baik kok, Ma. Di sana banyak yang ngebantu dan aku yakin bisa bekerja dengan baik di sana." "Apa Papa bilang kan? Kamu emang cocok kerja di keuangan," ujar Papa Reno. Iham tidak ingin membantah. Ia tidak akan menang melawan ayahnya. Passion-nya yang sebenarnya berada di dunia anak-anak dan memasak. "Coba dari dulu kamu ikuti saran Papa. Mungkin sekarang kamu udah kayak kakakmu. Udah bisa punya perusahaan sendiri. Kamu bisa lihat kan gimana mapannya kakakmu sekarang?" Adam tidak ikut bicara. Sama seperti adiknya, ia memang akan selalu kalah mendebat ayahnya. Jadi lebih baik ia tetap diam. "Udah, Pa. Ayo makan dulu! Yang lainnya juga ayo makan! Mama enggak mau kalau ada makanan yang tersisa. Inget itu mubazir." Pesan Mama Santi kepada kedua anaknya. Meskipun mereka berasal dari keluarga yang berada, tapi Mama Santi yang memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi itu selalu menanamkan hal-hal baik yang harus dilakukan kedua putranya. Bahkan berkat Mama Santi, keluarganya itu cukup terpandang dan disegani di mata masyarakat. Mama Santi memang tidak menyombong, ia menolong tanpa pamrih. Ia juga selama ini menjadi donatur tetap di salah satu panti asuhan. "Dari dulu pesan Mama masih sama," ujar Adam. Nadanya tidak mengejek, tapi saat arah pandang keduanya bertemu, ibu dan anak itu tersenyum. "Semoga kamu enggak bosen sama pesen Mama ini! Tapi perlu selalu kamu dan Iham tahu, setiap makanan yang berada di atas meja kita ini sangat berharga bagi orang yang kekurangan. Jadi syukurilah dan habiskan! Jangan sampai Tuhan marah dan menghilangkan rezeki makanan untuk kita hanya karena tidak mau menghabiskan makanan!" Iham mengangguk sedangkan Adam hanya bisa menunduk makin dalam. Ia selalu ingat pesan ibunya, tapi setiap kali berada jauh dari Mama Santi, Adam sering kali melupakan pesan-pesan dari ibunya. Ia bahkan cenderung memiliki sifat yang kelewat kasar ketika berada di kantor. Mungkin sebagaian dari dirinya memang berasal dari sang ayah serta almarhum kakek Duta yang otoriter. "Iham," panggil Papa Reno sekali lagi. "Kenapa, Pa?" balas Iham sambil menoleh. Sang ayah meletakan sendok dan garpunya di atas piring kotor yang sudah kosong. "Kamu jangan pacaran dulu! Papa mau kamu mapan dulu seperti Adam. Setelah itu kamu baru boleh pacaran lagi." "Ya ampun, Pa. Aku bukan anak SMA lagi yang harus dilarang saat mau pacaran," gumam Iham dengan wajah tidak percaya. Ia bahkan sudah lulus kuliah 2 tahun yang lalu. Usianya saat ini sudah menginjak 24 tahun. "Papa mau kamu mapan dulu. Lagipula cuma perempuan bodoh yang mau diajak berhubungan dengan laki-laki tidak mapan. Dunia ini bukan dongeng yang sekali meminta sesuatu akan langsung dikabulkan. Kamu harus bisa menjadi mapan agar bisa membahagiakan kekasih kamu," ujar Papa Reno. "Lihat Adam! Dia enggak pernah kelihatan pacaran. Dan lihat hasilnya, Adam yang sudah mapan tidak perlu bersusah payah mencari wanita, malah wanita itu sendiri yang akan berkumpul mengelilinginya." Dalam hati Adam tidak setuju. Ia memang dikelilingi wanita. Tapi percayalah, wanita di sekitarnya jika bukan seorang w************n, ia pasti seorang wanita matrealistis tingkat mutakhir. "Terserah Papa aja kalau gitu," Iham yang tidak mau terlarut dengan obrolan pun memilih jalan tengah. Ia menghabiskan makanan di atas piringnya kemudian berlalu tanpa mengatakan apapun. *** "Ham," panggil Adam sambil membuka kamar adiknya. Didapatinya sang adik sedang duduk termenung dengan tangan mempermainkan kamera polaroidnya yang berwarna hijau tua. "Ada apa, Mas?" tanya Iham tanpa menoleh. Adam bersandar di pintu kamar kemudian menjawab. "Enggak perlu dengerin omongan Papa tadi. Kamu bebas mau pacaran sama cewek mana pun." Mendengar ucapan kakaknya, Iham pun tersenyum lebar. Ia memang akan selalu mendapati kakaknya yang peduli, di luar sikapnya yang 180 derajat berbeda ketika di kantor. "Santai aja lagi, Mas. Aku juga udah enggak mempan sama ucapan Papa. Dari dulu kerjaannya ngatur orang mulu." Adam tersenyum tipis. Dalam benaknya kembali mengingat cerita sang ibu mengenai ayah mereka. Mama Santi dulu bilang, Papa Reno sebenarnya sangat menyayangi mereka. Tapi karena dulu Papa anak tentara jadi didikannya seperti itu. Mereka memang harus banyak bersabar. "Kalau gitu aku ke kamar lagi, Ham." Iham kali ini menoleh. "Cuma mau ngomong gitu doang?" tanyanya tak percaya. Adam pun tanpa menjawab segera beranjak pergi. Meninggalkan Iham yang kini menggelengkan kepalanya.[] *** bersambung>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD