Pertemuan Pertama

1552 Words
Jam terus berdetik dan waktu terus berlalu. Seorang gadis tidak bisa melepaskan pandangan dari dua hal, yakni jam tangannya yang terus berputar dan pemberhentian bis berikutnya. Rasanya sangat lama, apalagi ketika gadis itu melihat ke arah jam tangannya. Jam tangan itu seolah sedang menjerit-jerit dan memberitahukannya bahwa dirinya kini sudah dan makin terlambat. Dan itu untuk kesekian kalinya. Ajeng terlihat senang saat dilihatnya pemberhentian bis yang sebentar lagi akan dilewatinya. Ia menunggu dua menit dan busway yang ditumpanginya pun akhirnya berhenti dengan perlahan. Ia turun dari dalam bis dengan perasaan lega luar biasa. Tapi belum sempat ia mendesah, dirinya kembali berlari dengan kekuatan seadanya. Bukan salahnya karena sama sekali tidak mahir lari. Dia memang terlahir dengan kaki yang kecil dan mudah lelah. Tas ransel yang berada di belakang punggungnya mulai bergoyang ke sana kemari. Ajeng belum putus asa. Ia terus berlari, tak peduli jika larinya hanya seperti lari kuda betina yang baru saja melahirkan. Ia sedang berusaha sebaik mungkin. Dan tangannya mulai terulur naik meraih ujung tas ranselnya lalu menggenggamnya erat-erat sementara kakinya terus berlari. Ah, dirinya tidak ingin terlambat masuk bekerja. Dia baru bekerja selama 6 hari di Sir Adam Inc., sebagai Office Girl tapi sudah beberapa kali telat. Mungkin tepatnya, dia sudah telat sebanyak 5 kali dan hari ini adalah hari ter-telat baginya. Entah bagaimana ekspresi rekan-rekan kerjanya yang senior itu nanti? Ajeng membuyarkan lamunannya tentang pendapat orang-orang terhadapnya dan lebih memilih lari lebih cepat. Tapi sayangnya saat sedang sangat terburu-burunya, Ajeng terhenti dengan tiba-tiba. Dengan hitungan mili detik tubuhnya sudah tersungkur di lantai saat sedang melalui pintu masuk kantor. Merasa mendapatkan hantaman yang sangat keras, Ajeng pun meringis sambil bergumam tidak jelas, "Aduuuh, sakit." Dia memegang kepalanya yang terhantam pertama kali kemudia mengusapnya dengan pelan sambil berharap rasa sakitnya berkurang. "Hey, kamu baik-baik aja kan?" tanya pria di depan Ajeng dengan suara lemah lembut. Ajeng mendengar suara berat pria di hadapannya. Ia juga melihat tangan seseorang yang putih bersih terulur ke depan wajahnya, menawarkannya bantuan untuk berdiri. Sambil bersungut-sungut, Ajeng pun menerima uluran tangan itu lalu mengomel. "Aku habis jatuh kayak tadi kamu masih tanya 'apa aku baik-baik aja?'. Jelas sakit, tahu!" Tapi sebentar saja Ajeng mengomel. Karena saat gadis itu melihat pria di hadapannya yang baru saja ditabraknya, ia pun melipir malu. Pria di hadapannya sangat tampan, itu pun jika Ajeng tidak memanipulasi matanya sendiri dan mengatakan pria di hadapannya tidak menarik sama sekali. Laki-laki itu terdiam saat dilihatnya gadis yang baru mengomelinya malah menatapnya dalam diam. Dengan lembut, ia pun menyentuh bahu Ajeng beberapa kali. "Kamu enggak kena gegar otak kan?" tanya pria itu pelan. Bukan karena ingin mendoakan Ajeng gagar otak, tapi ia khawatir sekaligus mencoba membangunkan lamunan gadis di hadapannya. Ajeng perlahan tersadar saat bahunya terguncang pelan. Ia melihat ke arah bahunya dan melihat tangan pria itu di sana. Mendapatkan tatapan aneh dari Ajeng, pria itu pun segera menurunkan tangannya lagi. "Kamu makanya jangan lari-lari!" ujar pria itu memberi nasihat pada Ajeng. Ajeng yang makin tersadar akan lamunannya pun segera meringis sambil memegang kepalanya. Akting sedikit agar dirinya tidak terlampau malu karena sudah melamunkan pria berpostur tinggi dengan rambut ikal yang menawan hatinya. "Maaf, aku lagi buru-buru," gumamnya pelan dan ia kembali tersadar bahwa dirinya saat ini sedang terburu-buru. "Iya, aku lagi buru-buru. Ya ampun, Mas, aku udah telat." Setelah itu, Ajeng pun melesat lagi seperti rudal. Melupakan rasanya sakit pada kepala dan bokongnya yang menghantam lantai marmer, juga melupakan pria tampan yang sedang diajaknya bicara karena insiden tadi dalam sekejap. Sesampainya di pantry, Ajeng tidak melihat seseorang pun berada di dalam sana. Padahal biasanya, mereka masih berkumpul sambil mengobrol. Itu makin menandakan bahwa Ajeng sudah kelewat telat. "Kamu telat lagi, Jeng!" suara Pak Didi berasal dari belakang tubuh Ajeng. Ajeng membalik tubuhnya dan melihat Pak Didi berjalan masuk ke pantry disusul oleh Gita dan Afif yang berada di belakangnya. "Maaf, Pak. Aku kesiangan pas bangun." "Kamu ini kebiasan banget," gerutu Gita dengan wajah merengut marah. Terlihat sekali dari kilatan mata dan ekspresi wajahnya bahwa dirinya sangat tidak menyukai Ajeng. "Baru juga beberapa hari kerja kayak gini. Gimana nanti kalau kamu kerja makin lama? Bisa-bisa kamu ngebolos lagi tiap hari." Mendengar sindiran pedas dari Gita, Ajeng pun hanya bisa terdiam. Ia mengaku salah dan membenarkan ucapan Gita sepenuhnya. "Ya sudah, sekarang kamu cepet ganti baju, Jeng! Bapak buatin pesanannya dan kamu yang anterin ya?" Ajeng mengangguk singkat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia melangkah menuju ruangan kecil yang biasanya digunakan untuk tempat istirahat OG sepertinya. Setelah menutup pintu ruangan yang terdapat banyak stiker di belakang punggungnya, Ajeng pun menguncinya kemudian bergegas mengganti pakaian. Tak lama ia berganti baju dan berlanjut dengan menata rambutnya agar lebih rapi. "JENG! LAMA BANGET SIH!" teriak Gita dari luar ruangan. Ajeng yang merasa kaget pun menyentuh jantungnya yang tiba-tiba berdebar terlampau keras. "Bentar, Mbak," jawab Ajeng pelan. "CEPETAN DONG! ENGGAK USAH DANDAN MENOR-MENOR DEH!" Ajeng memutar bola matanya kemudian mendesah. Ia benar-benar tidak paham dengan rekan kerja perempuan satu-satunya di sini. Namanya Gita, orangnya cantik, tapi jika sudah berhadapa dengan dirinya wajahnya akan ditekuk 10.000 tekukan. Jelas sekali memang, bagaimana Gita memang tidak menyukai Ajeng. "Iya, Mbak. Ini udah jadi kok." Ajeng menyemangati dirinya sendiri. Ia tahu ada orang yang tidak menyukainya, tapi bagaimana pun juga ia harus sabar. Ia harus yakin selama pekerjaan yang dikerjakannya halal ia tidak perlu mengkhawatirkan hal yang lainnya. Toh selama ini Gita hanya bersikap ketus yang belum terlampau menganggu baginya. Saat membuka pintu ruangan, Ajeng melihat Gita yang sudah menunggu di depan matanya. Wajahnya ketus dan tanpa mengucapkan sepatah katapun, Gita melewatinya. Gadis itu masuk ke dalam ruangan yang baru dipakai Ajeng dan menutupnya dengan keras. "Udah, Jeng! Disabari aja. Gita mungkin lagi PMS." Afif yang sejak tadi duduk diam pun bersuara. Ajeng mendesah kemudian tersenyum secerah mungkin. Ia melihat ke arah Pak Didi yang masih menyiapkan beberapa minuman untuk para karyawan kantor sambil berjalan menuju kursi yang hendak diduduki di samping Afif. "Ini minumannya udah jadi." Tak menunggu berapa lama lagi, Pak Didi meletakan penamban besi tanpa corak di depan meja yang sedang diduduki Ajeng dan Afif. "Jeng, kamu yang antar saja ya! Afif tadi kan udah jalan." "Iya, Pak. Enggak apa-apa. Lagipula udah kerjaan aku juga," ujar Ajeng. Ia mulai berdiri kemudian mengambil sisi bercelah untuk pegangan kedua tangannya. "Hati-hati ya, Jeng! Itu untuk Mas Dave, Mas Galang, Mbak Prima, sama Mas Budi," pesan Pak Didi. Ajeng mengangguk kemudian mulai melangkah keluar dari pantry. Ia berjalan menuju Devisi Pemasaran yang berada di lantai 4. Dengan langkah lamban agar keseimbangan tubuhnya sempurna dan tidak menumpahkan 4 gelas cangkir yang dibawanya, ia pun akhirnya sampai di depan lift. Dengan menggunakan sikunya, Ajeng memencet tombol lift agar terbuka. Menunggu beberapa puluh detik akhirnya lift pun terbuka. Ajeng memasukinya dan hanya bisa terdiam. Saat pintu lift hendak tertutup, Ajeng melihat seseorang yang berlari memasuki lift. Laki-laki yang baru masuk ke dalam lift itu mendesah dan kemudian tertawa sendiri seperti orang gila. Ajeng yang belum melihat orang di sampingnya, bukannya ingin melihat wajahnya orang di sampingnya malah makin mundur ke belakang, ia bahkan berharap dirinya tak terlihat. Hingga tidak perlu berurusan dengan orang yang sepertinya kurang waras di sekitarnya saat ini. "Halo, Ajeng!" panggilnya, membuat Ajeng makin penasaran. Perlahan kepalanya yang sejak tadi menunduk pun mendongak ke atas. Ia melihat laki-laki yang tadi ditabraknya. Ya ampun, jadi dia. "Mas kok tahu nama saya?" balas Ajeng bingung. "Habis Ayah saya dukun." Laki-laki itu kembali tertawa kecil, membuat Ajeng yang jarang mendapat suguhan wajah laki-laki tampan menjadi serba salah dan bingung untuk bicara apa? "Ayahnya apa tadi, Mas?" tanya Ajeng kurang menyimak. "Udah lupain aja," Laki-laki berambut ikal itu sudah terburu malas mengulangi ucapannya. "By the way, name tag kamu ketinggalan tadi." "APA?" Ajeng dengan perlahan melihat kalung name tag yang biasa dipakainya. Tapi ternyata dia belum memakainya sama sekali. Dan saat dia melihat ke arah laki-laki di depannya lagi, ia pun melihat name tag miliknya. Tertera namanya dan pas fotonya yang berukuran 3x4 cm. ] "Lain kali hati-hati loh, Jeng! Untung aku yang nemuin, kalau bukan? Pasti name tag kamu udah ada di tong sampah," ujar laki-laki itu lagi sambil mengalungkan name tag milik Ajeng di lehernya. "Makasih, Mas. Mas baik banget," ungkap Ajeng. Ia setuju dengan ucapan laki-laki di sampingnya. "Oh ya, nama Mas siapa?" "Aku Iham, Jeng." Laki-laki bernama Iham itu tersenyum tipis. Ia melihat ke arah Ajeng beberapa saat kemudian bergumam dengan suara pelan. "Kamu ngingetin aku sama seseorang, Jeng." "Ngingetin?" Ajeng tidak paham dengan ucapan Iham. Seolah baru menyadari lamunannya, Iham pun menggeleng kecil. Ia tertawa seolah ingin memanipulasi keadaan di sekitarnya. "Oh ya, kamu mau ke lantai 4?" "Iya, Mas Iham." Ajeng tidak berani bertanya lagi soal yang tadi. Sesampainya di lantai 4, ia pun berpamitan pada Iham. "Permisi, Mas." Iham mengangguk kecil. Ia memencet tombol lift dan menunju lantai 2, tempat dirinya akan bekerja secara continue untuk beberapa waktu dalam jangka panjang ini. Yang pasti bagi Iham, ia tidak akan lama bekerja di kantor itu, ia hanya menunggu waktu dan bekal yang tepat untuk akhirnya kembali ke dunianya sendiri. Dunia bisnis yang akan ia kelola sendiri.[] *** Bersambung>>>> sambil nungguin Baby Love di ACC, yuk baca ini. semoga aja yg ini cepet ACC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD