Bagian 5
Dipecat Lagi
Ajeng melangkah dengan ragu saat ke luar dari lift yang baru saja membawanya ke lantai 5. Tangannya saat ini memegang baki, cangkir berisi kopi dengan satu sendok makan gula tersedia di atasnya.
Berjalan menuju pintu ruangan CEO baginya terasa sangat dekat. Tak peduli ia sudah memperlambatnya selama mungkin. Nyatanya ia tetap sampai di depan pintu CEO bernama lengkap Adam Bimantara itu.
Setelah mendesah dan menyakinkan dirinya, Ajeng mulai mengetuk pintu ruangan di depannya. Tak berapa lama teriakan terdengar dari dalam. "Masuk!" perintahnya.
Ajeng pun membuka handle pintu, ia masuk pelan-pelan dan segera mendapati Adam yang kini menatapnya dari kejauhan.
Adam memperhatikan gerak-gerik OG yang baru masuk ke ruangannya. OG yang membuat masalah yang seharusnya tidak lagi bekerja di kantornya, tapi karena belas kasihan yang diminta adiknya ia masih harus melihat wajah itu.
"Kopinya mau taruh di mana, Pak?" tanya Ajeng.
Adam tidak merespon dan lebih memilih menatap ke sekitar mejanya. Di mana mejanya yang cukup besar itu sudah penuh oleh setumpuk berkas yang harusnya ia selesaikan kemarin. Belum lagi proposal yang akan diajukannya kepada pihak bank yang kini masih berserakan di mejanya.
"Pak?" suara Ajeng lebih keras dari yang pertama.
Adam berdecak kemudian mengumpulkan kertas-kertas yang masih berserakan itu sesuai dengan halamannya. Tapi saat dirinya baru setengah berkemas, tangan kecil itu menggeser beberapa kertas tanpa permisi.
"Jangan sentuh barang saya!" bentak Adam.
Byuur. Terjadi begitu saja. Saat perlahan cangkir kopi yang dipegang Ajeng terjatuh dan membasahi sebagian kertas di atas meja.
Adam sama sekali tidak memiliki refleks yang baik. Ia terduduk dengan membanting tubuhnya ke bangku kebesarannya sambil memperhatikan pekerjaannya yang kotor oleh air kopi yang hitam legam.
"Ya ampun, Pak. Saya enggak sengaja." Ajeng mulai panik. Ia mengambil kertas yang basah tapi bingung harus melakukan apa. Apa dia harus menyelamatkan berkas yang lainnya? Atau dia harus membuang kopi yang tertumpah di atas meja. Segala kemungkinan itu menyasar di otaknya, tapi Ajeng tetap tidak bergerak. Ia bingung harus melakukan apa?
"Saya emang salah kemarin. Seharusnya saya jadi memecat kamu, bukannya tetap memperkerjakan orang ceroboh seperti kamu." Nada suara Adam makin lama makin tinggi. Emosinya saat ini sedang dipermainkan oleh OG. "Kamu saya pecat!"
"Tapi, Pak."
"Enggak ada tapi-tapian. Pokoknya mulai besok saya enggak mau lagi melihat muka kamu di kantor saya. Ke luar kamu dari ruangan saya!" usir Adam sambil bangkit berdiri.
Ajeng perlahan terisak. Kali ini ia merasa pantas untuk dipecat, tapi sungguh alasan ia menangis saat ini adalah bentakan dan hinaan Adam terhadapnya. "Maafin saya, Pak. Maafin saya."
"Saya enggak butuh kata maaf dari kamu. KE LUAR SEKARANG JUGA!"
Ajeng tanpa membalas lagi akhirnya membalikan tubuhnya. Ia menahan isak tangisnya sambil berjalan menuju pintu ruangan Pak Adam. Pintu ke luar yang akan membebaskannya dari beban rasa bersalah. Ajeng yakin kecerobohannya tadi akan membuat kantornya menjadi bermasalah. Itu pasti berkas penting, dan gara-gara dirinya berkas itu hanya akan sampai di tempat sampah.
Ke luar dari ruangan Adam, Ajeng tak sengaja berpapasan dengan Farah, sekertaris Adam. Wanita karier yang pagi hari itu tampak rapi dengan setelan berwarna biru elektriknya duduk dan menatap Ajeng dengan wajah jenaka. Tanpa harus mengatakan apapun, Ajeng tahu bahwa Farah kelihatan senang dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Ajeng sama sekali tidak mempedulikan apa yang Farah lakukan. Ia berjalan terus hingga akhirnya sampai di depan lift. Belum sama sekali ia memencet tombol lift, Ajeng melihat sosok yang membantunya kemarin dari dalam lift yang terbuka.
"Ya ampun, Jeng. Kamu kenapa?" Iham maju selangkah. Ia melihat air mata Ajeng yang terjatuh di pipinya. Wajahnya tampak tidak dalam keadaan baik.
"Aku dipecat lagi, Mas Iham. Pak Adam bener, mungkin aku emang seharusnya enggak kerja lagi di sini. Di sini aku cuma buat masalah dan enggak becus kerja."
"Loh, Jeng?" Iham mengerutkan keningnya. "Mana Ajeng yang tadi kelihatan bersemangat? Kamu jangan loyo gitu. Memang apa masalahnya? Mungkin aku bisa bantu."
"Udah lah, Mas Iham. Aku enggak apa-apa kok kalau dipecat."
Iham melihat keputusasaan di diri Ajeng saat ini. Gadis polos di depannya pun segera masuk ke dalam lift. Ia menekan tombol lift menuju lantai dasar.
Saat lift tertutup, Iham dengan langkah lebar menuju ruangan Adam. Bahkan Farah yang berada di meja kerjanya tidak ia perhatikan sama sekali.
"Mas!" teriak Iham sambil membuka pintu ruangan Adam.
Sang kakak yang sedang menelepon OB pun segera menuntaskan maksudnya. Setelah selesai, ia pun menutup telepon sambil menatap Iham tak kalah garang. "Kamu mau nyalahin aku lagi? Cewek tadi bikin ulah. Kamu lihat! Dia udah bikin berkas yang harusnya kubawa basah kena kopi."
"Mas, berkas kayak gitu pasti bisa di-print out lagi. Kemarin Mas udah janji enggak akan memecat dia."
Adam mengedikan bahunya. "Aku emang enggak akan memecat dia kemarin. Tapi hari ini, aku enggak janji apa-apa ke kamu. Aku berhak memecat dia karena dia karyawan di kantorku."
"Mas, kemarin aku udah bilang jujur alasanku sebenarnya. Dia mirip Jingga, Mas."
"Aku enggak merasa dia mirip Jingga," tukas Adam. "Lebih baik kamu lupain cewek rendahan yang cuma OG itu."
"Mama enggak pernah ngajarin kita seperti itu. Sejak kapan Mas bersikap begitu angkuh dan menilai tinggi rendah seseorang dari status sosialnya?"
Adam terdiam. Memang sudah sejak lama ia berubah menjadi orang yang angkuh tanpa sepengetahuan anggota keluarganya yang lain.
"Please, Mas. Kasihan Ajeng kalau Mas memecat dia. Kasih dia waktu."
"Berapa lama?" Adam memicing. Seperti biasanya, ia akan selalu mengalah akan permintaan adiknya.
"Seenggaknya sampai 6 bulan."
"Tiga bulan! Aku mau dia ke luar dari kantorku setelah 3 bulan. Setelah itu biarin aku memecat dia."
"Maksud ucapan Mas apa?" tanya Iham bingung. "Mas nawarin perjanjian ke aku?"
Adam pun mengangguk. "Aku bosen denger kamu merajuk dan minta supaya dia enggak dipecat."
Iham mendesah pendek sambil terduduk di kursi di hadapan Adam. Kakak beradik yang memiliki wajah yang tak sama persis itu sama-sama terdiam untuk beberapa saat. "Oke. Yang penting dia bisa kerja lagi di sini."
Adam belum merasa puas. Ia menggelengkan kepalanya kemudian bersuara lagi untuk mengajukan sebuah permintaan. "Aku juga mau kamu mulai menjauhi cewek itu mulai dari besok. Karena menurutku, Papa benar! Kamu memang seharusnya enggak berpacaran dulu mulai sekarang. Kamu harus fokus dengan pekerjaan kamu. Kamu baru 2 hari kerja di kantorku, Ham."
Iham terdiam lagi untuk beberapa saat. Bahkan saat seorang OG datang, mereka hanya terdiam sambil sesekali memperhatikan pekerjaan Gita yang saat itu datang untuk membereskan ulah Ajeng.
Barulah saat Gita selesai, kedua kakak beradik itu saling menatap.
"Aku setuju, Mas. Tapi Mas harus berjanji ke aku, apapun kesalahan Ajeng jangan pernah mencoba untuk memecatnya sebelum waktu 3 bulan."
Adam tersenyum congkak. "Kamu tenang aja. Bahkan aku akan membuat surat perjanjian kontrak untuk OG itu. Kamu kenal aku dengan baik selama ini, Ham." Dan aku janji, selama 3 bulan itu. Aku akan membuat Ajeng tidak betah hingga dia sendiri yang ingin ke luar dari kantorku.
"Aku percaya sama Mas. Sekarang aku mau cari Ajeng dulu," Iham hendak berdiri. Tapi belum sempat melangkah Adam menyuruhnya untuk kembali duduk. Tidak memiliki pilihan lain, Iham pun menuruti perintah kakak sekaligus bosnya.
"Aku mau lihat proposal kamu," ujar Adam sambil mengulurkan tangannya. Ia memang sengaja mengulur waktu Iham agar adiknya itu tidak mencari-cari keberadaan OG itu.
Iham menyerahkan map merah yang dibawanya tadi kepada Adam. Ia menunggu saat Adam mulai membaca, semua terasa lama, entah perasaannya saja atau hal itu memang terjadi karena kakaknya itu sengaja mengulur waktunya.
***
Hari ini memang mendung. Pagi yang Ajeng awali dengan penuh semangat berakhir penuh luka. Ia sadar diri bahwa dirinya sudah tamat. Mungkin sebaiknya ia kembali ke kampung halamannya. Di kampung halamannya, ia bisa bekerja di pabrik kabel atau jelly. Seperti apa yang dilakukan sahabat-sahabat semasa SMA-nya yang kini juga sudah bekerja.
Sebenarnya tidak ada yang memaksanya untuk pergi merantau. Ini murni keinginannya sendiri. Keinginannya untuk melihat kota besar yang sering dilihatnya di televisi; di film dan di sinetron. Semua memang tidak seperti bayangannya. Kota besar sepertinya terlalu kejam untuk gadis desa sepertinya.
Suara guntur perlahan berbunyi. Angin dingin berhembus dan Ajeng yang masih betah melihat awan pun masih berdiri dengan tegap.
Saat ini, Ajeng berada di tempat paling tinggi di kantor milik Adam Bimantara. Ia memang awalnya memutuskan untuk kembali ke pantry selepas dari ruangan Pak Adam, tapi niatnya berubah saat ia merasa perlu untuk menenangkan diri.
Teringat dengan cerita Afif, ia pun akhirnya memutuskan untuk menenangkan dirinya di tempatnya berdiri saat ini. Tempat paling tinggi, sepi, dan ditemani langit mendung.
Menurutnya, semua terasa lengkap. Hatinya yang sedih karena dipecat secara tidak menyenangkan ditemani oleh langit mendung penuh guntur.
Meskipun begitu, Ajeng bersyukur karena cuaca tidak hujan. Karena jika hujan, dia tidak akan bisa berteduh di tempat mana pun. Ruang tempatnya berdiri tidak beratap, hanya sebuah lahan kosong yang tidak terpakai.
"Hai," sapa seseorang dari belakang tubuh Ajeng.
Ajeng menoleh ke belakang dan tidak mengira sama sekali saat dilihatnya Iham yang berhasil menyusulnya.
Iham sampai di sisi Ajeng dan tertawa renyah. "Aku tahu kamu bingung. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu kamu berada di sini kan?"
Ajeng mengangguk kecil. Ia kembali melihat langit dan bersikap sedikit tidak acuh. Ia merasa mood-nya saat ini sedang tidak baik.
Iham mendesah saat melihat sikap Ajeng yang tidak bersahabat. Ia menyentuh kedua bahu Ajeng hingga kedua tubuh mereka saling berhadapan.
"Maaf ya, Jeng. Aku kayaknya enggak bisa membantu kamu masalah ini."
"Enggak apa-apa, Mas. Aku juga udah pikir masak-masak. Kayaknya aku mau balik lagi aja ke kampung."
"Kamu yakin?" Iham tidak tega mendengar suara Ajeng yang sedih.
"Ya mau gimana lagi, Mas."
"Ya udah kalau begitu." Iham perlahan melepaskan kedua tangannya dari bahu Ajeng. Ia pun terdiam sambil berdiri tegap di samping gadis itu. Mereka kini melihat pemandangan langit dan gedung-gedung di sekitarnya.[]
***
bersambung>>>