Aku menahan tawaku yang hampir pecah karena perkataannya. Sambil membuat wajahku agar terlihat nggak peduli, aku melirik sekilas ke arahnya. Dasar gombal! Tapi tetap saja aku suka mendengarnya karena membuatku jantungku berdegup nggak karuan karenanya. Boleh ulangi sekali lagi nggak?
"Kamu belum makan kali," kataku asal. Ini jawaban yang sangat aman daripada aku menanggapinya dengan senyum malu-malu, itu bukan aku banget. Gara tertawa sambil menoleh ke arahku.
"Kata-kataku nggak mempan di kamu ya," ucapnya.
"Oh...biasanya nggak gitu?" tanyaku balik. Jangan-jangan dia sering mengatakan hal seperti ini pada wanita mana pun.
"Nggak juga. Baru ke kamu aja aku ngomong kayak gini," ujarnya sambil mengulum senyumnya. Manis banget dan membuat aku terpana karenanya. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri yang hampir nggak bisa mengendalikan diri. Apa kata Gara jika tahu wanita yang sedang bersamanya kali ini adalah wanita yang tiada tara noraknya.
"Nggak cocok sama kamu," ejekku sambil tertawa. Ayo, Aruna, tertawa aja terus agar Gara nggak tahu kalau sebenarnya aku sedang mencapai level grogi di batas yang paling tinggi.
"Tapi memang benar, aku nggak pernah bohong tentang perasaanku ke kamu. Aku pengen kenal kami lebih dekat karena memang itu yang aku inginkan. Dan semakin aku pengen kenal kamu, entah kenapa aku semakin berdebar," ucapnya panjang lebar. Aku mengerutkan keningku dan menoleh ke arahnnya sekilas. Lelaki ini serius dengan ucapannya?
Aku bukan tipe wanita yang mudah berganti-ganti pasangan. Walaupun beberapa lelaki telah silih berganti dalam hidupku, tapi sampai saat ini belum ada seorang lelaki pun yang bisa membuatku berdebar seperti yang dikatakan Gara.
Tunggu...apa kali ini aku termakan omonganku sendiri? Nggak berdebar bagaimana? Melihat tubuhnya yang terlihat bidang saja membuat jantungku nggak karuan. Astaga! Apa debar seperti itu yang dirasakan Gara padaku? Tapi aku yakin debaran yang kami rasakan tidak sama, aku hanya sekadar mengaguminya, nggak lebih.
"Gimana kalau kita makan aja buat hilangin debaranmu itu?" Aku memiringkan kepala sambil menatapnya. Seperti ada yang lucu dari ucapanku, Gara tertawa dengan kerasnya. Aku harus mengalihkan pembicaraan kami tentang debaran yang Gara rasakan. Mungkin dengan mengajaknya makan akan membuat semuanya normal lagi.
"Ide bagus. Tapi aku yakin setelah makan pun nggak bakal hilang, malah bertambah parah," ucapnya. Aku mencibir dan dibalas cengirannya. Ke mana perginya lelaki berwajah dingin itu?
"Hari Sabtu besok ada acara?" tanyanya sambil membawa mobilnya melaju membelah jalan Yogya yang di sore ini nggak begitu ramai.
"Tergantung mau diajak ke mana," sahutku sambil menoleh ke arahnya. Kalau cuma mau kencan ala ABG, tentu saja aku akan punya waktu. Kalau kencan yang serius? Ah! Nggak tahu deh!
"I see," katanya.
"Kamu nggak keberatan, kan kalau besok nemanin aku dan Nala?" Aku tersentak dan kontan menoleh ke arahnya.
"Nala?" ulangku dengan wajah bingung. Gara menangguk dan balas menatapku.
"Besok ulang tahun Nala, dan aku sudah berjanji akan menjemputnya dari Magelang dan membawanya ke Yogya," kata Gara.
"Oh, boleh. Asal nggak kepagian aja. Kadang aku suka kesulitan bangun pagi," sahutku. Wajah Gara terlihat berbinar saat aku menyatakan kesediaanku. Lagi pula besok aku juga memang ada yang mau dikerjakan. Dan bertemu dengan Nala, putrinya Gara sudah menjadi keinginanku saat pertama kali Gara mengucapkan namanya.
"Umur Nala sekarang berapa?" tanyaku. Di saat yang bersamaan, mobil Gara baru memasuki parkir rumah makan yang terkenal dengan ayam goreng cabe hijaunya yang enak banget.
"Besok empat tahun," jawabnya. Aku diam setelah perkataannya dan memilih mengikuti Gara turun dari mobil. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi sampai kami berjalan menuju pondok-pondok kecil rumah makan ini.
"Wajahmu terlihat penasaran, tapi kenapa lebih memilih diam? Nggak apa-apa, tanya aja apa yang pengen kamu mau tahu tentangku," ucap Gara tiba-tiba. Aku menengadah dan pandangan kami bertemu pada satu titik. Buru-buru aku memalingkan wajah dan kecanggungan seperti merayap pelan. Sepertinya dia tahu jika selama ini aku memendam berpuluh pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya tapi selalu saja membuatku mengurungkan niat. Apa kali ini nggak apa-apa jika aku ingin tahu sedikit tentangnya?
Benar yang dikatakan Gara. Aku ingin sekali bertanya tentang pernikahannya dulu, tentang mantan istrinya, tentang alasan perpisahan mereka, dan...entahlah kenapa rasa ingin tahuku sebesar ini.
"Sudah berapa lama kamu hanya berdua dengan Nala?" tanyaku setelah berulang kali memikirkan kalimat yang tepat untuk bertanya. Pertanyaan apa kamu benar-benar sudah tidak memiliki istri aku urungkan, karena pertanyaan itu terkesan tidak sabaran. Nggak sabaran mau tahu jika dia masih lajang.
"Selama umur Nala," jawabnya sambil membimbingku menuju sebuah pondok kecil dengan dinding bambu dan lantai kayu untuk duduk lesehan.
"Sudah lama banget," komentarku dan kembali kehilangan bahan pembicaraan. Setiap detik yang berlalu terasa menegangkan buatku. Aku takut telah salah mengajukan pertanyaan padanya.
"Kami bercerai tepat saat Nala berumur satu bulan," kata Gara sambil menerawang.
"Kamu nggak perlu cerita kalau sulit." Aku menyentuh lengannya perlahan. Wajah Gara terlihat sendu dan itu membuatku merasa bersalah.
"Itu sudah lama dan aku nggak ngerasa sulit lagi kok. Tadi mendadak wajah Nala saat masih bayi terlintas di pikiranku, dan itu membuatku terharu," sahutnya sambil membalas sentuhan tanganku dengan menggenggamnya erat. Mataku membesar tapi sudah terlambat untuk menarik tanganku. Lelaki ini sepertinya punya prinsip mencari kesempatan dalam kesempitan. Oke, sepertinya ini juga kesalahanku karena lebih dulu menghibur dirinya dengan menyentuh lengannya. Harusnya aku cukup melakukannya dengan kata-kata, tidak perlu sentuhan fisik seperti ini.
"Dia membenciku dan Nala karena ada darahku yang mengalir padanya." Gara masih melanjutkan ceritanya.
"Bagaimana bisa?" tanyaku bingung.
"Kami menikah karena perjodohan," sahut Gara sambil tertawa pelan, seperti sedang menertawakan dirinya sendiri.
"Awalnya aku pikir nggak apa-apa. Perjodohan karena permintaan orang tua bukan hal yang aneh. Lagipula setelah mengenalnya, ternyata perlahan aku bisa mencintainya. Tapi nggak begitu dengannya. Karena sebelum perjodohan kami, dia telah berhubungan serius dengan seorang lelaki."
Sampai di sini, aku bisa menyimpulkan apa yang terjadi dengan Gara di pernikahannya dulu. Menikah karena dijodohkan dan kemudian mantan istrinya meminta bercerai karena nggak bisa mencintai dia dan anak yang dilahirkannya. Mendadak dadaku terasa nyeri membayangkan anak sekecil Nala kehilangan kasih sayang orang tua karena keegoisan ibunya.
Bukankah sama saja seperti yang kualami?
"Sudah, nggak perlu cerita lagi. Semua ini pasti membuatmu kembali mengingat hal buruk yang pernah kamu alami." Aku memotong pembicaraannya sebelum Gara bercerita lebih lanjut.
"Nggak, Aruna. Aku nggak sedih lagi, dulu memang iya. Tapi seiring waktu yang berlalu, aku rasa nggak ada yang patut disesali," timpalnya sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kita bercerita tentang dirimu aja. Sepertinya lebih menarik," lanjutnya. Aku membuang napas panjang. Selama ini aku tidak suka jika berbicara tentang diriku, tidak ada hal yang bisa aku ceritakan selain masa laluku yang begitu menyakitkan. Dan itu bukan hal yang bisa aku ceritakan begitu saja.
"Nggak ada yang menarik, kamu bakal bosan nanti. Mendingan kita mulai makan aja," kataku karena pelayan rumah makan telah mengantarkan dua porsi ayam goreng dengan cabe hijaunya yang begitu melimpah ke hadapanku dan Gara. Kontan perutku memberontak, nggak sabar mau mencicipinya.
"Apa Nala nggak pernah menanyakan Mamanya?" cetusku tiba-tiba. Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di kepalaku. Aku ingat dengan sosok kecilku yang selalu menangis menanyakan keberadaan Papa pada Tante Maika. Dan sampai suatu hari aku nggak pernah menanyakan Papa lagi karena kebenaran yang nggak sengaja kuketahui.
"Nggak pernah. Dia sama sekali nggak kenal dengan Mamanya. Apalagi Mamanya nggak pernah sekali pun mencarinya," sahut Gara. Aku menarik napas panjang. Melihat wajah Gara yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun malah membuatku sedih.
"Kamu bilang nggak apa-apa, tapi kenapa malah aku yang jadi sedih," ucapku hampir nggak terdengar.
"It's OK, Aruna." Tangannya menepuk pundakku perlahan.
"Mau aku ambilin nasi?" tawarnya tiba-tiba sambil mengambil piringku. Aku mengangguk pelan. Aneh sekali, dadaku terasa hangat, hanya karena sentuhan tangannya di pundakku. Aku merasa dia sedang menangangkanku dengan caranya sendiri. Padahal untuk kali ini harusnya dia yang sedang bersedih karena ceritanya tadi.
Kami makan dalam diam. Gara seperti sengaja memberiku waktu untuk berpikir sendiri. Padahal dia sendiri baru membuka luka lamanya, harusnya dia yang bersedih, bukan aku.
"Aku antar kamu pulang dulu ya. Aku masih harus balik ke kantor," ucapnya saat kami baru selesai makan.
"Jemput Nalanya malam ini juga?" tanyaku.
"Nggak, mungkin besok pagi," sahutnya.
"Aruna...." Gara menahan tanganku saat aku akan bangkit dari dudukku. Apa dia masih belum mau meninggalkan tempat makan ini? Atau dia masih enggan berpisah denganku? Kuharap begitu.
"Ini mungkin terdengar nggak masuk akal. Tapi aku merasa hidupku lebih baik semenjak kenal denganmu." Gara menghentikan ucapannya sejenak sambil menatapku. Aku salah tingkah dan merasa sangat malu saat menatap matanya. Astaga Aruna! Aku ini sebenarnya kenapa?
"Kamu nggak keberatan, kan dengan kehadiranku?" tanyanya kemudian. Aku diam untuk beberapa saat sedangkan tangan Gara masih menggenggam erat tanganku. Dia seperti enggan untuk melepaskannya. Dadaku berdesir pelan saat dia mengeratkan genggaman tangannya, seperti meyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. Gara, sosok lelaki yang baru kukenal dalam hitungan hari. Masih banyak hal yang tidak kuketahui tentangnya, tapi sepertinya akan banyak waktu untukku agar bisa mengenalnya.
"Iya," sahutku sambil membalas tatapan matanya. Hanya iya? Sesingkat itu jawabanku? Aruna benar-benar sudah tidak waras!
Duniaku memang terasa masih baik-baik saja, aku masih bisa berpijak dengan benar dan bahkan masih bisa membalas senyumannya. Tapi tidak dengan hatiku. Hatiku yang lemah ini sedang berpesta pora dengan tidak tahu dirinya dan mengabaikan pemiliknya yang hampir nggak bisa bernapas. (*)