Bab 3

1226 Words
-SATYA- Matahari bersinar terik siang ini. Kulitku sudah hampir 90 persen terbakar, 10 persen lagi tertutup pakaian. Di tengah panas terik begini kami hanya diperbolehkan menggunakan kaos oblong tangan pendek dan celana pendek seadanya. Tapi aku bersyukur karena aku lolos tes kesehatan tahap 1 tingkat Panda. Dari sekian banyak anak lain yang mendaftar hanya 26 calon taruna saja yang lolos ke tahap selanjutnya—tes Kesamaptaan Jasmani. Dan aku yakin dari 26 orang yang tersisa pasti akan terus menyusut. Mungkin nanti ujung-ujungnya hanya beberapa orang saja yang melenggang ke Malang. “Bang, minum!” seseorang menyapaku dari arah samping, saat jam istirahat. Sambil menyodorkan sebotol air mineral padaku. Sejujurnya aku pernah melihat anak ini, tubuhnya tegap, dan mungkin dia satu-satunya anak yang rambutnya sudah dicepak khas TNI, sejak pertama datang untuk menyerahkan berkas administrasi. Benar-benar niat . “Makasih,” jawabku sambil tersenyum. “Asal mana, Bang?” tanyanya. Tanpa diminta ia sudah duduk di sebelahku. “DKI, Bang. Abang mana?” aku balik bertanya. Tapi jika boleh menebak pasti anak ini orang Jawa. Mungkin Jawa Tengah atau Jawa Timur. “Cianjur, Bang,” jawabnya. Setelah ia menyebut salah satu kota di Jawa Barat itu barulah belakangan aku yakin ia bukan orang Jawa, ia bicara dengan logat khas Sundanya yang kental. “Cianjur? Oalah, saya kira Jawa, Bang,” aku berkomentar dengan sedikit malu. “Panggil aja Udin, Bang. Biar lebih akrab,” “Nama panjangnya Solehudin,” sambungnya. Aku bisa melihat senyumnya yang begitu tulus dan lepas. Sepertinya anak ini orang baik, apa lagi jika mendengar namanya “Sholeh”. “Saya juga daftar pake domisili DKI, Bang. Saya asal Cianjur tapi tinggal sama Paman di Jakarta. Anak Jaksel, Bang,” ucapnya sambil tersenyum. “Wah, akhirnya nemu juga anak Jaksel di sini,” komentarku. Tapi serius, aku benar-benar senang bertemu Udin, berasa bertemu teman sekampung. Walaupun aslinya dia orang Sunda dan aku Jawa—dengan mengalir sedikit darah Betawi. “Nama siapa, Bang?” Sejujurnya aku terkejut, saat ia menanyakan itu. Bagaimana mungkin aku sampai lupa untuk memperkenalkan diri, setelah sekian menit kita mengobrol dengan akrab. “Oh iya, maaf, Bang, saya sampai lupa. Nama saya Satya Wira Dharma Adi Sucipto,” jawabku. Ia terlihat sedikit termenung mendengar namaku. Itu pasti karena namaku yang panjang. “Tapi cukup panggil saja Satya,” kataku lagi. “Oh, syukurlah,” jawab Udin. “Syukurlah?” “Iya, syukur hanya dipanggil Satya, tidak harus panggil dengan panggilan nama lengkap, belum plus pangkat, kan? Bisa repot!” jawabnya. Aku tertawa mendengarnya, kurasa Udin memiliki selera humor yang baik. “Ah, Abang bisa aja, lulus seleksi aja belum, Bang!” Jawabku malu-malu. “Sapa tahu, Bang,” kata Udin. “Oh ya, karena kita sudah kenalan, jangan panggil Abang lagi, kita bukan kakak beradik juga, panggil Satya saja. Terus ngomongnya gak perlu terlalu formal dan berasa sedang berhadapan dengan komandan ya, walaupun aku ini calon komandan!” kataku sedikit bergurau. “Siap, Ndan!” jawabnya. Kami tertawa. Mungkin ini adalah tawa pertama yang muncul sepanjang proses seleksi melelahkan dan menegangkan. Jangankan ada tawa, garis bibirku ini rasanya sudah turun ke bawah sejak pertama kali memasukan berkas ke markas TNI AL ini. Tak lama, suara sirine berbunyi nyaring, tanda kami harus kembali ke lapangan. Sekarang adalah tes outdor terakhir. Setelah ini kami akan bergeser ke gelanggang berenang. Dan nanti biasanya akan ada jeda lagi sesaat untuk menunggu pengumuman siapa orang-orang yang lolos ke babak final. Jika ini adalah seleksi Indonesian Idol mungkin lebih lega rasanya menerima apa pun keputusannya. Namun, karena ini seleksi yang menyangkut harga diri dan kehormatan keluarga, meski terdengar dramatis, kurasa aku sudah menyiapkan handuk untuk menangis sesenggukan di koridor mushola, jaga-jaga jika kabar buruk yang aku dengar. Mushola yang letaknya tak jauh dari lapangan ini. Aku tak peduli orang mau bilang apa, menangis itu manusiawi, bahkan untuk calon kadet sekalipun. Paling-paling jika dipergoki oleh panitia, mereka akan langsung menyuruhku pulang, sekaligus merasa bersyukur karena sudah tidak meloloskan calon taruna yang lemah hati sepertiku. -UDIN- Kami berlari secepat yang kami bisa, sebelum suara sirine itu berhenti. Jika kami terlambat sedetik saja, bending dua sesi siap menanti. “Calon taruna!” teriak salah satu panitia berpangkat Kolenenl Laut, dengan tegas. Dari sebuah megaphone. “Siap!!!” teriakku paling keras. “Ini adalah penilaian terakhir di lapangan, kalian akan melakukan tes lari mengitari garis yang sudah ditentukan selama 12 menit, ada yang ditanyakan?” “Siap, tidak!” seru kami. Kemudian kami digelandang menuju sebuah area berlari yang sudah dipersiapkan panitia. Ada tiga bangku berjajar di pinggir trek lari. Dua meja sudah diiisi dua orang juri, mereka memegang kertas—untuk penilaian. Dan satu meja lagi, seorang lainnya yang bertugas memegang stopwatch. Setiap calon taruna sudah bersiap-siap unjuk kebolehan berlari. Aku teringat pepatah Emak di kampung, ia berpesan, jika ada tes lari, larilah sekencangnya, anggap saja saat berlari itu aku sedang di kejar-kejar tukang tagih hutang, agar termotivasi. Meski lari dari kenyataan, kurasa akan jauh lebih mudah bagiku. Aku mendengar nama Satya yang panjang itu di panggil, ia memang mendapatkan nomor urut lebih awal dari punyaku. Sebelum masuk ke dalam trek lari, ia sempat menoleh ke arahku, aku mengangkat tangan sambil mengacungkan jempol, memberikan semangat. Dibalas senyuman dan anggukan. Tiba-tiba saja aku yakin kami berdua pasti akan lolos sampai akhir, mungkin paling tidak sampai seluruh rangkaian tes ketahanan fisik ini selesai. Aku sangat yakin. -AYU- Setelah surat pengumuman kelulusan dari sekolah mendarat dengan selamat di rumahku, secara resmi aku sudah lulus dari SMA. Kami hanya tinggal merayakannya dengan upacara seremonial yang rencananya akan diadakan sekolah di salah satu gedung di bilangan Jakarta Pusat, sebuah gedung serbaguna yang tak jauh dari sekolahku. “Kamu rencananya mau meneruskan ke mana, Yu?” tanya Tias. Dia sahabatku sejak kami masuk SMP. Kami berkenalan di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama. “Belum tahu, tapi sepertinya aku akan ikut kelas intensif persiapan saringan masuk universitas aja, Ti. Kamu?” tanyaku. “Aku juga belum tahu, aku akan diskusi lagi sama orang tuaku, aku pengen minta saran dari mereka. Tapi ngomong-omong, kamu udah tahu, kalau beberapa anak dengar-dengar ada yang rencananya bakal lamar kerja pakai ijazah SMA?” “Oh, iya aku juga tahu, kuliah kan butuh biaya, Ti. Mungkin mereka mau nabung dulu. Aku sih malah yang kebayang itu cari beasiswa ke kuar negeri, siapa tahu bisa, lumayan kan gak usah bayar biaya kuliah sendiri,” sambung Ayu. “Tahu deh, aku pribadi sih udah males kalau harus berpusing-pusing mikirin pelajaran, pengennya cari duit biar bisa beli ini itu tanpa minta sama ortu,” jawab Tias. "Ya juga sih, tapi kalau aku kayaknya orang tuaku gak bakal kasih izin buat kerja, mereka udah ngebayangin kalau aku nanti jadi guru selepas beres kuliah di UNJ," jawabku sekenanya. Meskipun aku tak yakin memang itu yang diinginkan orang tuaku dariku, tapi terakhir kali kami membicarakan ini, ibu memang kekeuh menginginkan aku masuk universitas, dan ilmuku bisa bermanfaat untuk orang banyak. Mendengar harapan ibuku, yang terpikir olehku hanya satu, jadi guru. karena dengan menjadi guru, aku bisa mengabulkan dua keinginan orang tuaku: jadi anak kuliahnya, setelahnya mengajarkan ilmu yang bermanfaat setelah lulus kuliah. Memikirkan masa depan memang tidak bisa diputuskan semalam dua malam, tapi memang harus dipikirkan matang-matang, karena salah melangkah sekali saja akan terjadi efek domino di kemudian hari, meski pun memang bukan berarti akan gagal selamanya, karena tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD