Bab 3

760 Words
"Tunggu, tunggu!" Kembali kata itu keluar dari mulut Jenar, adegannya juga masih sama, mengejar pintu lift yang hampir saja tertutup rapat. Semuanya seolah terulang kembali, sebuah tangan spontan menghalangi pintu agar tidak tertutup dan Jenar bergegas memasukinya. "Kamu terlambat lagi?" Berbeda dengan kemarin, kali ini langsung ada pertanyaan itu untuk Jenar. "Pak Samuel?" Jenar tidak menyangka jika Samuel lagi yang ada di dalam lift bersamanya dan lagi-lagi mereka hanya berdua. Pernyataan itu membuat nyali Jenar menciut seketika. "Maaf, Pak," ujar Jenar menyadari kesalahan yang sudah kedua kali ia lakukan. "Makanya bangun lebih pagi," kata Samuel, lirih tidak bernada menghakimi. "Aku ...." Jenar ragu untuk membantah perkataan Samuel. "Apa karena jualan kerupuk udang di lampu merah sampai kamu enggak bisa bangun pagi?" tanya Samuel. Jenar mengangkat kepala yang semula tertunduk menatap Samuel dengan ragu dan juga penuh tanda tanya bagaimana bisa lelaki itu mengetahui, tapi detik kemudian ia sadar jika bisa saja Samuel melihatnya ketika tengah berjualan karena memang dirinya berjualan di tempat umum, bukan? "Bukan—." Pintu lift yang sudah terbuka membuat Jenar berhenti berkata, terlebih lagi Samuel juga telah berjalan keluar lift mendahuluinya. * Dita Andriyani * "Jenar, Mbak Ning mau bikin mi rebus pesenan Bu Fina. Tolong kamu anterin kopi ini ke ruangan Pak Samuel, ya," pinta Mbak Ningsih kepada Jenar yang sedang meminum segelas air putih, gadis itu baru saja selesai mengerjakan tugas yang diberikan oleh seorang karyawan. "Iya, Mbak," jawab Jenar patuh ia segera mengambil penampan dan membawanya ke ruangan Samuel. . "Ini kopi Anda, Pak," ucap Jenar seraya menaruh kopi yang masih mengepulkan asap di atas meja, kursi kebesaran sang bos besar itu membelakangi meja sekarang hingga Jenar tidak bisa melihat apa yang sedang Samuel lakukan, mungkin sedang menatap pemandangan di luar jendela untuk melepas penat. "Iya, Sayang." Kedua mata Jenar membola mendengar apa yang Samuel katakan. "Hah? Ap—apa, Pak? Bapak panggil saya Sa—sayang?" Jenar tergagap tetapi merasa perlu memperjelas semuanya. Mendengar suara Jenar, Samuel memutar kursinya menatap gadis itu dengan kening mengerut. Saat itu ingin rasanya Jenar hilang ditelan bumi saja saat melihat jika Samuel sedang berbicara di telepon yang lelaki itu tempelkan di telinganya. "Ma—maaf," ucap Jenar lagi dengan kikuk karena rasa gugup dan malu yang semakin menjadi-jadi. "Sa—saya permisi." "Tunggu!" Samuel memberi isyarat agar Jenar tetap di tempat. "Iya, Sayang. Nanti aku telpon lagi. I Love You." Jenar menelan ludah, bisa-bisanya ia mengira Samuel berkata sayang padanya nyatanya lelaki itu sedang berbicara entah dengan siapa, mungkin istrinya. "Kamu ngomong apa tadi?" tanya Samuel pada Jenar yang hanya diam dengan wajah terasa memanas karena malu. "Hah? Kapan?" Dengan konyolnya Jenar malah bertanya. "Tadi waktu saya lagi ngobrol sama istri saya, saya dengar kamu ngomong sesuatu, kamu ngomong apa saya kurang dengar." Seketika rasa lega memenuhi hati Jenar, ternyata Samuel tidak mendengar kekonyolannya. "Itu ... aku cuma mau menjelaskan sama Bapak kalau aku enggak pernah bangun kesiangan karena berjualan kerupuk udang. Aku selalu bangun sebelum subuh dan membantu nenek memasak lalu berjualan nasi untuk sarapan, itulah kenapa aku datang terlambat," ujar Jenar dengan tenang, semua ia katakan jujur apa adanya. "Kenapa kamu harus menjelaskan itu semua pada saya?" tanya Samuel datar, walau dalam hatinya sedikit trenyuh mendengar apa yang Jenar ucapkan, terlebih lagi ia lihat sendiri bagaimana gigihnya gadis itu menjajakan dagangannya di lampu merah. "Karena aku magang di perusahaan Bapak, aku enggak mau perusahaan Bapak memberikan penilaian buruk terhadap kinerjaku," jawab Jenar lirih, tidak ada niat memelas tetapi nada bicaranya tetap membuat siapa saja iba. "Kalau begitu kamu hanya perlu lebih memperhatikan kedisiplinan kamu," jawab Samuel, sebuah senyum ramah ia berikan hingga Jenar yang menatapnya dengan takut-takut juga tersenyum sempringah. "Iya, Pak. Aku janji. Terima kasih banyak, Pak." Jenar segera meninggalkan ruangan Samuel dengan perasaan lega. Samuel menghela napas panjang, lalu menatap foto seorang wanita cantik yang berada dalam pelukannya. Kesulitan yang Jenar alami saat ini mengingatkan dirinya pada kesulitan demi kesulitan yang Meisya ceritakan padanya, kesulitan ekonomi yang mereka alami di masa SMA. . Jam kantor sudah berakhir sejak tadi tetapi karena masih ada yang harus Samuel kerjakan maka lelaki itu keluar dari kantor belakangan, suasana sudah menjelang senja, langit juga sudah mulai berubah warna. Gedung perkantoran itu sudah terlihat sepi hingga yang Samuel lakukan adalah berjalan menuju mobilnya untuk segera pulang, tetapi perhatiannya tertuju pada pemandangan di depan sana. Sebuah keributan di tempat sunyi yang menarik perhatiannya. "Jenar?" Samuel memastikan, itu memang dia. "Hey, kalian! Hentikan! Apa yang kalian lakukan padanya?" (Cerita ini akan berlanjut setelah teken kontrak, ya, teman-teman. Doakan semuanya bisa berjalan cepat dan lancar. Mohon pengertiannya dan selalu bersabar.)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD