2. Raizel dan Qian

1371 Words
Hari mulai gelap dan sebuah motor melaju kencang melewati jalanan yang cukup sepi. Tanpa ia sadari, sebuah motor terlihat menyeberang dan membuatnya terkejut. Diinjaknya rem motornya juga menekan kuat rem tangan namun percuma, tabrakan tak terhindarkan.  Braaak! Suara tabrakan terdengar dimana motor matik yang ditabraknya akhirnya jatuh bersama si pengendara. Untung saja kecepatan motornya sedikit berkurang karena telah menginjak rem dan membuat kecelakaan tidak terlalu parah. Jika tidak, mungkin kecelakaan itu akan menjadi kecelakaan yang mematikan. Meski tetap saja, tabrakan itu menjatuhkannya juga. Pria berusia 26 tahun bernama Raizel Yogaswara itu segera bangkit dengan rasa perih di beberapa bagian tubuhnya setelah mencium aspal dengan keeas. Dan tanpa memikirkan motornya, ia justru memilih menyelamatkan seorang gadis yang telah tergeletak di samping motor yang ia tabrak. Beberapa saat kemudian beberapa orang menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Raizel pun menjelaskan dan meminta bantuan mereka untuk membawa gadis bernama Qiandra Aito ke klinik terdekat. Setelah menunggu akhirnya seorang warga meminjamkannya mobil untuk membawanya juga Qian ke klinik. Dalam perjalanan Raizel tak lupa menelpon seseorang dan menyuruhnya mengurus motornya juga motor gadis yang ia tabrak. Dan akhirnya, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, mereka telah sampai di sebuah klinik. Sesampainya di sana, mereka segera mendapat pertolongan dan dibawalah Qian ke ruang pemeriksaan umum. Sementara Raizel menunggu di luar. Entah mimpi apa ia semalam, hari ini ia begitu sial. Niatnya berkunjung ke pantai adalah untuk bertemu dengan seseorang, namun orang itu justru tidak ada di sana. Dan saat ia sudah sangat kesal dan ingin segera pulang, ia harus menabrak seseorang. Ia mendesah lelah dan memijit pangkal hidungnya. Ia harap gadis itu baik-baik saja.  "Argh." Ia meringis saat rasa perih mulai terasa di beberapa bagian tubuhnya. Terlalu mengkhawatirkan orang lain, ia justru melupakan keadaannya sendiri. Akhirnya ia memutuskan segera mengobati luka dan kembali lagi ke sana setelah selesai. **** Saat ini Raizel dalam perjalanan mengantar Qian ke hotel. Tak ada banyak pembicaraan antar keduanya saat mereka keluar dari klinik. Bahkan Qian sama sekali tak menyebutkan namanya. Untuk apa? Bahkan Raizel tak bertanya. "Ponselku!" Raizel segera menoleh mendengar pekikan Qian yang duduk di jok belakang. Sementara ia duduk di depan dengan sopirnya yang mengemudikan mobilnya. "Dimana ponselku?" Qian mencari-cari ponselnya dalam tas dan tetap tak menemukan benda persegi miliknya. Seketika ia menepuk bahu Raizel. Saat ini posisinya duduk dengan menjelujurkan kaki karena lututnya tak bisa ia tekuk. "Apa?!" tanya Raizel dengan suaranya yang datar. "Apa kau melihat ponselku?" Qian bertanya dengan hati-hati tak ingin menuduh. "Aku tidak tahu," jawab Raizel dan kembali menatap lurus ke jalanan yang sepi.  "Huuh! Harusnya kau meneliti barangku saat menyelamatkanku. Jika ponselku hilang bagaimana aku menghubungi keluargaku?" Qian menggerutu dengan menggembungkan pipi kesal. "Setidaknya nyawamu lebih penting daripada barang bukan," balas Raizel yang seketika membuat Qian terdiam. Namun Qian tak mau kalah. Bagaimanapun juga ada banyak nomor di ponselnya dan semuanya penting. "Ini semua salahmu! Karena kau tidak hati-hati mengendarai motor, kau jadi mencelakaiku!" ucapnya dengan suara sedikit mengeras. Mungkin jika Raizel berbicara lebih lembut, ia tak akan berani. Namun karena ucapan Raizel terdengar ketus, itu membuatnya kesal. Raizel hanya diam, karena itu memang salahnya. Ia memijit kecil kepalanya dan meminta sopirnya melajukan kendaraan lebih cepat. Qian benar-benar membuatnya sakit kepala dengan celotehannya. Hanya butuh waktu 15 menit akhirnya mereka pun sampai di depan sebuah hotel tempat Qian menginap. Raizel segera turun dan membuka pintu mobil dengan mengulurkan tangannya pada Qian untuk membantunya turun. Jika saja sopirnya lebih muda, ia akan menyuruhnya. Sayangnya sopirnya sudah mempunyai cucu dan sangat tidak sopan jika ia menyuruh sopirnya itu. Terlebih, tentu sopirnya tak akan kuat menggendong Qian sampai kamarnya. "Mau apa kau?!" Pekik Qian saat Raizel memposisikan kedua tangannya di bawah p****t juga punggungnya. "Tentu saja membawamu ke kamarmu. Kau pikir kau bisa berjalan?!" bentak Raizel dengan kesal. Telinganya rasanya sudah berdengung mendengar suara Qian yang cempreng di telinganya. "Sudah diam dan jangan tekuk kakimu," perintah Raizel memperingatkan.    Qian terlihat berpikir dan dengan terpaksa bersedia diantar Raizel ke kamarnya. Dengan wajah yang terlihat memerah, dengan pasrah ia membiarkan Raizel menggendongnya ala bridal style dan tetap meluruskan kaki. Tangannya bekerjasama melingkari leher Raizel saat pria itu mulai mengangkat tubuhnya. Dengan hati-hati Raizel menggendong Qian dan mulai memasuki hotel. Sontak mereka pun menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung hotel yang melihatnya juga beberapa oetugas hotel. Raizel sudah merasa pegal, namun ia tetap melaksanakan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin. Saat mulai memasuki lift, Qian membuka suara. "Turunkan aku saja," ucapnya. Kalau berdiri, lututnya tak akan tertekuk kan. Raizel terlihat berpikir sejenak kemudian menurunkan Qian dengan hati-hati. Namun tetap saja Qian meringis saat kakinya memijak lantai lift. Demi apapun, lecet di lutut benar-benar menyiksa. Bahkan Qian sampai berpegangan pada Raizel saat rasa cenut-cenut ngilu menyiksa lututnya. Belum lagi rasa perih di siku tangannya. Rasnya ia ingin menangis, namun menangis pun percuma karena rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya tetap terasa. Jika saja menangis dapat mengurangi rasa sakitnya, ia akan menangis sekencang-kencangnya. Merasa bahwa Raizel orang baik, Qian akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah bertanggung jawab," ucapnya dengan suara kecil. Sebelumnya ia memang kesal karena kehilangan ponselnya. Tapi melihat Raizel sampai menggendong dan mengantarnya ke kamarnya, ia rasa Raizel memang pria yang baik. Tepat saat Raizel hendak menyahuti, pintu lift telah terbuka dan tak menunggu waktu ia segera kembali menggendong Qian menuju kamarnya. Dan saat telah berada di depan pintu, Qian mengambil kunci kamar dari dalam tasnya dan membuka pintu. "Terima kasih, kau boleh menurunkanku di sini," ucap Qian saat Raizel justru memasuki kamar. Ia harus jaga-jaga jikalau Raizel sebenarnya p****************g. Raizel tak menanggapi dan tetap menggendong Qian hingga membuatnya khawatir. Pikiran buruk pun menyerang Qian. Seperti di film-film, seorang pria akan berpura-pura baik dan saat si wanita lengah, maka pria itu akan menerkamnya. Qian menggeleng keras. Pikiran itu benar-benar buruk. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa mereka telah sampai di depan tempat tidurnya. "Su-- sudah lepaskan aku. Turunkan aku di sini!" pekik Qian saat Raizel berhenti di sisi ranjang. Ia meronta dan membuatnya lagi-lagi meringis kesakitan. "Tsk." Raizel mendecih kesal dan langsung saja menjatuhkan Qian ke atas ranjang.  "Argh!" Qian kembali meringis kesakitan. "Tidak bisakah hati-hati?!" teriaknya dengan memegangi pinggangnya yang terasa mau patah meski ranjangnya begitu empuk. Bagaimanapun juga ia baru saja jatuh dari motor, tentu beberapa bagian tubuhnya membutuhkan perbaikan sendi. Ia butuh pijat. "Tsk. Siapa suruh kau meronta?!" cibir Raizel dengan menatap Qian dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian mengukir seringai yang membuat Qian bergidik.  "Ja-- jangan melihatku seperti itu!" teriaknya dengan menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Namun Raizel justru melonggarkan dasi dan menjilat bibir bawahnya yang membuat Qian menelan ludah kasar. Tunggu! Sejak kapan Raizel memakai dasi? "Ma-- mau apa kau?!" Qian mulai khawatir terlebih saat Raizel membuang bajunya ke sembarang arah dan menunjukkan roti sobek yang menggoda iman kemudian melepas ikat pinggangnya. Raizel menunduk dan merangkak ke atas ranjang dimana ia hanya tinggal memakai boxer setelah melepas celana. Keringat dingin kian membanjiri tubuh Qian. Ia tidak mau malam pertama juga keperawanannya direnggut secara paksa oleh orang yang tidak ia kenal. Meski ia tahu namanya, tetap saja, mereka bukan siapa-siapa.  Raizel kian melebarkan seringai dan meraih tangan Qian kemudian mencengkramnya di atas kepala.  "Lepaskan! Tolong … tolong …." Qian berteriak berharap seseorang dapat menolongnya namun tentu itu sangat mustahil. "Diamlah, kau akan menikmatinya," bisik Raizel kemudian mulai menurunkan celana boxernya dan membuat Qian membelalak. "Nikmati makan malammu, honey." "Kyaaa …." **** "Bagus. Laksanakan tugasmu selama di sana." ["Tapi jangan lupa tambah bayaranku. Foto ini berharga mahal."] "Ck. Bahkan pekerjaanmu belum selesai dan kau hanya memikirkan bayaran." ["Hei, hei, hei, segalanya butuh uang, Honey. Lagipula jika kau tak mau, aku bisa menjualnya dengan harga tinggi pada orang lain"] "Baiklah. Tapi dapatkan gambar yang sempurna. Aku ingin dia hancur sehancur-hancurnya." Wanita itu segera menutup panggilan dan tertawa keras seperti orang gila dimana ia berdiri di depan sebuah cermin besar. Sebuah foto tertempel di cermin itu yang tak lain adalah foto Qiandra. "Hahaha … sebentar lagi kau akan hancur. Kau akan hancur Qian!" teriaknya tanpa menghilangkan tawa kejam yang membuat siapapun bergedik ketakutan saat mendengarnya.  Diambilnya lipstik berwarna merah darah dan digunakannya untuk mengukir kata demi kata di atas cermin. Kemudian menggunakannya juga untuk membentuk bentuk silang di foto Qian. "Hahaha … hahaha …." Dan terdengarlah kembali suara tawanya yang kian menggelegar memenuhi kamar apartemennya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD