Sejenak, ruangan itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan embusan angin tipis dari kisi-kisi jendela yang terdengar. Alma terdiam, pandangannya bergeser ke wajah Yangti dan Yangkungnya yang jelas-jelas kebingungan. Adrian, masih dengan ekspresi tenang, menurunkan cangkir teh perlahan ke meja. “Alma,” suaranya rendah dan terkendali, “Papa kan memang nggak sepenuhnya tinggal di sini. You know that.” Alma menggigit bibir. Ia paham maksud ayahnya, tapi sulit menjelaskannya ketika kini Yangti dan Yangkung sudah menoleh dengan tanda tanya. Yangkung menegakkan punggungnya, nadanya kembali serius. “Maksudnya apa, Adrian? Kenapa Alma bisa ngomong seperti itu?” Adrian hanya menatap sejenak, lalu menyandarkan diri kembali ke kursi. “Beberapa bulan terakhir, saya memang lebih sering di rumah dinas,

