17 - Pesiar

2308 Words
           Setelah memastikan kalau Tria benar-benar menjauh dari jendela kereta kuda, Lucius langsung berjalan menuju persimpangan yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berada.            Meski ia tidak menyebarkan pandangannya ke sekitar, ia bisa merasakan kalau setidaknya ada lima orang yang terus mengikuti mereka sejak pertama kali mereka sampai di kota.            Karena Lucius dapat dengan mudah menemukan mereka tanpa harus memfokuskan dirinya terlebih dahulu. Sepertinya orang-orang yang sejak awal mengikuti mereka tidak memiliki banyak pengalaman seperti keluarganya, keluarga yang hanya bekerja sebagai pembunuh bayaran.            Lucius juga sadar kalau orang-orang ini tidak akan sebanding dengan kemampuannya. Ia bisa tahu dari kenyataan bahwa ia bisa menemukan orang-orang itu dengan mudah, dan juga seberapa bodohnya mereka karena berkumpul di satu tempat yang sama.            Rasanya, Lucius sedikit kesal karena ada seseorang yang disewa untuk membunuh orang lain dengan kemampuan yang cupu seperti ini. Tetapi setidaknya ia bisa membereskan mereka dengan cepat.            Seperti yang ia perkirakan, setelah Lucius bersembunyi di balik salah satu toko yang ada di persimpangan itu, orang-orang yang dari tadi mengikuti mereka akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya.            Dua di antara mereka mulai mendekat ke arah kereta kuda milik Tria, sedangkan tiga sisanya memilih untuk tetap bersembunyi. Butuh waktu beberapa menit untuk dua orang itu sampai di dekat kereta kuda, membuat Lucius memilih untuk membereskan orang-orang yang sedang bersembunyi terlebih dahulu.            Dengan langkah kaki yang tidak terdengar sedikit pun, Lucius mendekati ketiga orang yang saat ini sedang sibuk terkekeh pelan sambil mengusap pedang kecilnya. Mungkin mereka sedang berpikir apa yang akan mereka lakukan pada Tria setelah temannya yang lain berhasil menangkapnya.            Sayangnya, kenyataan tak seindah apa yang mereka bayangkan.            Lucius mengeluarkan belati miliknya. Satu hitungan detik selanjutnya, tiga buah kepala sudah terlepas dari bahu mereka masing-masing.            Lucius tidak pernah tahu, apakah jika seseorang yang kehilangan nyawa mereka tanpa tahu apa penyebabnya bisa telat menyadari hal itu. Karena, ia sempat melihat ketiga pasang mata pada kepala yang sudah terlepas itu melirik ke arahnya secara perlahan.            Rasanya Lucius bisa mendengar ‘eh?’ dari ketiga orang itu. Mungkin jika suatu hari nanti kepalanya terpisah dari bahunya, ia bisa mengerti apa yang orang-orang itu rasakan. Beberapa detik kemudian, seperti adegan yang diperlambat ketiga tubuh orang itu akhirnya terjatuh ke atas tanah.            Mereka mati begitu saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.            Lucius memeriksa seluruh barang yang dibawa oleh orang-orang itu. Mungkin ia bisa menemukan petunjuk siapa yang menyewa mereka untuk membuat masalah dengan Tria. Namun sayangnya, ia tidak bisa menemukan barang penting atau pun hal yang membuat dirinya tertarik.            Semua itu ia selesaikan dalam hitungan detik.            Setelah membersihkan noda darah pada belatinya dengan salah satu baju yang digunakan oleh orang yang sudah tidak bernyawa itu, Lucius memilih untuk menyusul tiga orang lain yang masih berusaha untuk mendekati kereta kuda Tria.            Orang-orang itu berjalan dengan sangat lambat dan terlihat sangat berhati-hati, membuat Lucius dapat dengan mudah menyusul mereka.            “Hei,” kata Lucius yang mencoba untuk terdengar akrab sambil menepuk salah satu bahu dari ketiga orang itu.            Seseorang yang bahunya Lucius tepuk langsung membalikkan tubuhnya dan menatap Lucius dengan kesal. “Apa maumu?” tanyanya yang lebih terdengar menggeram.            “Bukankah kalian berdua teman dari ketiga orang yang berada di balik toko itu?” tanya Lucius yang menunjuk dengan ibu jarinya ke tempat di mana ia baru saja bermain. “Sepertinya mereka butuh pertolongan.”            “Hah?” tanya orang itu masih dengan wajahnya yang kesal. “Dengar, bocah. Paman sedang sibuk, jika kau anak yang baik sebaiknya kau kembali pada mamamu.”            “Paman, karena aku anak yang baik, aku benar-benar memberi tahumu kalau teman-temanmu yang ada di balik toko itu membutuhkan pertolongan.”            “Paman, bagaimana jika kita melihatnya sebentar?”            Seseorang yang dipanggil ‘paman’ oleh Lucius dan temannya semakin terlihat kesal. Akhirnya ia menarik kerah baju Lucius yang membuatnya sedikit terangkat ke udara.            “Dengar, bocah. Jika kau main-main denganku, kau tidak akan bisa kembali pada mamamu lagi.”            Lucius sedikit mengerutkan keningnya, berusaha untuk terlihat ketakutan … namun sepertinya gagal. “Aku tidak berbohong, paman.”            Setelah mendecakkan lidah, ‘paman’ dan temannya menarik Lucius ke tempat yang ia tunjuk sebelumnya. Tentu saja, setelah melihat ketiga temannya yang kepala dan tubuhnya sudah terpisah, kedua orang itu langsung panik.            “Benar, ‘kan apa kataku? Teman-teman paman sepertinya butuh pertolongan.”            “Bocah! Apa yang kau—”            “Jangan berani-beraninya kau bertanya balik padaku,” potong Lucius cepat dengan perkataannya. Tidak lupa ia juga memotong leher orang yang ia panggil sebagai ‘paman’ dengan mudah. “Hmm … potongan yang rapi.”            “Apa yang kau lakuka—”            “Sudah kubilang jangan balik bertanya padaku.”            Lucius kembali membersihkan noda darah pada belatinya setelah membersihkan kedua orang itu. Rasanya sedikit mengecewakan karena tidak ada sedikit pun perlawanan dari mereka. Atau lebih tepatnya, mereka tidak sempat untuk melakukan perlawanan.            Sekali lagi, Lucius memeriksa barang bawaan kedua orang itu. Tetapi tetap tidak menemukan sesuatu yang penting. Setelah mendesah panjang, akhirnya ia membalikkan badannya dan pergi menuju toko roti isi dan es krim yang Tria sebutkan sebelumnya.            “Bagaimana?” tanya Tria setelah Lucius kembali pada kereta kuda miliknya.            Lucius memberikan Tria roti isi serta es krim yang sebelumnya ia beli padanya.            Tria sedikit mengerutkan keningnya, kemudian berkata, “Bukan ini maksudku … apa … apa kau sudah menyingkirkan mereka?”            Lucius duduk di depan Tria sambil melipat tangannya di d**a. “Tidak ada masalah. Semuanya sudah diselesaikan.”            Tria mengedipkan matanya beberapa kali. “Ah … ternyata benar, seharusnya aku tidak menanyakan kemampuanmu sebelumnya.”            Lucius mengangkat kedua bahunya dan berkata, “Kau masih mempertanyakan kemampuan dari keluarga Xlavyr?”            “Bukan itu maksudku … kau masih muda, dan kemampuanmu tidak perlu ditanyakan lagi. Sudah berapa lama kau … mengerjakan pekerjaan seperti ini?”            Lucius mendengus pelan, kemudian memalingkan wajahnya melihat ke luar jendela. Kereta kuda yang mereka naiki sudah mulai berjalan sesuai dengan perintah Tria.            Dagu Tria sedikit berkerut setelah sadar kalau Lucius tidak akan menjawab pertanyaan itu. Akhirnya ia memilih untuk menghabiskan es krimnya sebelum meleleh, dan setelahnya mengunyah habis roti isi yang semoga saja tidak menjadi roti isi terakhirnya.            .            .            Lucius berusaha melonggarkan dasi yang dipakaikan oleh Tria. Sampai sisa hidupnya, ia berjanji tidak akan pernah memakai setelan lagi.          Kemarin, setelah selesai membeli pakaian untuk dirinya, mereka berdua langsung memulai perjalanan mereka ke kota di mana pesta yang harus Tria hadiri diadakan. Perjalanan menuju kota tersebut menghabiskan waktu semalaman. Yang berarti, waktu Lucius untuk menjaga Tria tinggal empat hari lagi. Pesta yang akan dihadiri oleh mereka diadakan selama tiga hari dua malam di atas sebuah kapal pesiar.          Kota tempat di mana Lucius tinggal sangat jauh dari lautan. Dahulu sekali ia pernah menaiki sebuah kapal untuk menyeberangi sebuah danau. Namun membandingkan kapal kecil yang terbuat dari kayu dengan kapal pesiar yang akan dinaikinya kali ini rasanya membandingkan besi dan sebuah perak.          Meski wajahnya terlihat baik-baik saja, selama beberapa jam ia berada di atas kapal itu, Lucius sedikit merasa mabuk laut. Untung saja ia dapat dengan mudah dan cepat beradaptasi, sehingga ia bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pengawal Tria.          Selama perjalanan mereka ke kota sampai di atas kapal persiar ini, tidak ada lagi orang-orang yang memiliki niat untuk mencelakai Tria. Meski begitu, Lucius tidak bisa tenang begitu saja.          Setelah mengetahui seberapa banyak kekayaan keluarga Tria, Lucius bisa membayangkan berapa puluh orang yang mencoba untuk menghabisi Tria demi harta warisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Sebaiknya ia harus berhati-hati dengan orang-orang yang mengaku sebagai ‘keluarga’ Tria.           “Hei?” kata Tria sedikit kencang sambil melambaikan tangannya di depan wajah Lucius. “Kenapa kau diam saja? Apa kau mabuk laut?”          Lucius berdeham pelan, sambil melonggarkan dasinya sekali lagi ia menjawab, “Apa kau pikir aku akan mabuk laut?”          Tria terkekeh pelan. “Meski aku seperti ini, aku sadar kau sedikit mabuk laut ketika kita baru saja menaiki kapal ini… tapi untunglah, keadaan tubuhmu lebih baik sekarang. Apa sudah terbiasa?”          Karena tidak ingin mengakuinya, Lucius memilih untuk diam.          Tria kembali terkekeh pelan kemudian merangkulkan tangannya pada Lucius. “Ingat rencana kita sebelumnya, ‘kan? Seharusnya kau jangan terlihat sangat serius. Mana mungkin orang-orang percaya kalau kau kekasihku?”          “Sudah kukatakan, aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu yang satu itu.”          “Hmph. Lalu apa? Kau lebih baik memilih untuk berpura-pura sebagai anak dari sepupunya sepupu ibuku? Bagaimana jika keluargaku hadir di pesta ini dan tidak mengenalmu?” kata Tria sambil mencubit pelan tangan Lucius. “Setidaknya, lupakan gengsimu sebagai salah satu dari anggota keluarga Xlavyr!”          Gengsi sebagai anggota keluarga Xlavyr? Apa mungkin Lucius bisa melakukannya?          Tidak mendapat jawaban sedikit pun dari Lucius, Tria kembali mencubitnya. Kali ini di bagian pipi. “Setidaknya tersenyumlah sedikit!”          “Jika kau bukan klienku, mungkin kau akan kehilangan tanganmu.”          Mendapat ancaman dari Lucius, Tria malah tertawa terbahak-bahak. “Baiklah, baik. Ayo, sayang~ Sebaiknya kita membereskan barang bawaan kita di kamar~”          Lucius mendesah pelan sambil memijat pelan keningnya. Sekali lagi, ia bersumpah tidak akan pernah mengambil misi yang seperti ini lagi.          Setiap orang yang diundang untuk menghandiri pesta yang ada di atas kapal pesiar ini sangat terbatas. Untuk satu undangan hanya bisa untuk dua orang, yang berarti satu undangan hanya mendapatkan satu kamar saja, yang berarti lagi Lucius berada satu kamar dengan Tria.          Meski awalnya Tria sedikit protes karena ia harus satu kamar dengan seorang laki-laki yang hampir seumuran dengannya, setelah Lucius meyakinkan kalau dirinya dapat dengan mudah menjaga Tria jika terus bersamanya, akhirnya Tria tidak mempermasalahkan hal itu lebih lanjut. Namun, Tria meminta Lucius untuk berperan sebagai kekasihnya.          Rencana ini Tria pikirkan tidak hanya untuk memudahkan Lucius mengikuti pesta itu sebagai seseorang yang memiliki hubungan dengan Tria, tetapi juga untuk mengelabui orang-orang yang kemungkinan akan mencelakai Tria.          Siapa yang akan menyewa seseorang yang sangat muda dan terlihat kurus—seperti Lucius—untuk mengawal dirinya? Itulah kemungkinan yang dipikirkan oleh orang-orang yang akan mencelakai Tria, setidaknya itu yang ia harapkan.          “Tria,” kata Lucius pelan.          “Hm?” balas Tria.          “kau tentu kenal dengan semua orang yang memiliki hubungan keluarga denganmu, ‘kan?”          “Tentu saja! Karena ayahku memintaku untuk menghapal semuaaaa nama-nama dan wajah orang-orang yang setidaknya memiliki ikatan darah dengan ibu atau ayahku. Itu berarti, aku bisa mengenal sepupu dari sepupunya ibuku.”          “Itu bisa memudahkanku untuk tahu siapa seseorang yang mencurigakan.”          “Dan bagaimana caranya?”          “Pesta ini memiliki niat untuk bersosialisasi dengan orang-orang sekelas dirimu, ‘kan? Berarti, jika salah satu dari keluargamu tidak membawa pasangannya … contohnya pamanmu tidak membawa istrinya atau pun sebaliknya, mungkin orang itu bisa kita curigai?”          “Hmmm … karena hanya ada dua orang yang bisa ikut masuk ke dalam pesta ini, kita bisa menguranginya dengan cara itu, ya?”          Lucius menganggukkan kepalanya. “Tapi berbeda dengan halnya jika orang itu menyamar sebagai pekerja di kapal pesiar ini.”          Tria menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan sambil memasang wajah ‘kau tidak tahu apa-apa, ya?’ “Tidak perlu khawatir! Karena orang yang menyelenggarakan pesta ini sangaaat penting, orang-orang yang bekerja di kapal ini sudah dipilih sejak tahun lalu! Itu berarti, ketika kedua orang tuaku masih ada.”          “Hm, baiklah. Kalau begitu aku harus lebih mewaspadai orang-orang yang memiliki ikatan darah denganmu.”          Tria menganggukkan kepalanya dengan puas. “Kalau begitu, setelah selesai melihat di sekitar sini, ayo kembali ke kamar! Sepertinya aku harus tidur siang terlebih dahulu.”          .          .          Setiap kali Lucius dan Tria kembali ke kamar mereka, Lucius selalu memeriksa seluruh ruangan itu lagi secara teliti. Dia mau pun Tria tidak pernah tahu siapa yang menyelinap masuk ke kamar mereka dan melakukan sesuatu yang bisa mencelakai Tria.          Meski Lucius sangat berhati-hati, namun Tria mengerti betul apa yang akan terjadi padanya, sehingga ia tidak pernah menganggap kalau Lucius terlalu berlebihan.          Setelah setiap sisi diperiksa oleh Lucius dan tidak ada apa pun yang mencurigakan, akhirnya Tria bisa melepas sepatunya dan korset yang dipakai olehnya ke samping tempat tidur. Setelahnya, ia menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur dengan desahan yang panjang.          “Lucius, aku sudah yakin dengan kemampuanmu. Tapi aku ingin menanyakan satu hal.”          Lucius mengangkat sebelah alisnya pada Tria, memintanya untuk melanjutkan perkataannya.          “Aku sudah yakin dengan kemampuanmu dalam … membersihkan serangga yang selalu mengganggu. Tapi kali ini, aku membutuhkan kemampuanmu yang lain.”          Sekali lagi, Lucius mengangkat sebelah alisnya.          Tria tersenyum tipis sambil menepuk bagian kasur yang masih cukup lega. “Kemari,” katanya singkat.          Tanpa bertanya lebih lanjut, Lucius mendekati Tria yang ada di atas kasur.          “Kau tahu, setelah kematian kedua orang tuaku, aku sangaaat kesepian. Beberapa hari ini aku juga kelelahan mengurusi segala macam kebutuhan untuk bertahan hidup. Bagaimana jika kau memberiku hadiah?”          Lucius hanya diam di tempatnya dan membalas tatapan Tria.          Merasa Lucius lagi-lagi tidak akan menjawab perkataannya, Tria mengerutkan dagunya dan berkata, “Ahh~ Lucius, kau sangat tidak asik! Jika kakakmu yang ada di sini, mungkin ia akan mengerti!”          “Kau ingin aku memberimu sebuah hadiah? Dengan uang dari dirimu sendiri?”          “Kenapa harus uang! Kau bisa menggunakan hal lain, ‘kan?”          Lucius mengusap dagunya, kemudian ia berkata, “Ah … aku hanya memiliki tubuhku …”          Tria menjentikkan jarinya dengan wajah yang terlihat senang. “Akhirnya kau mengerti! Ah, kau membiarkan seorang wanita mengatakan hal itu padamu, hm?”          Lucius mendesah pelan, kemudian mulai menggulung kemeja lengan panjangnya. “Baiklah, baik. Pastikan posisimu nyaman. Karena kau kelelahan, kau ingin aku memijatmu, ‘kan?”          Senyum di wajah Tria kaku seketika. Kemudian ia melempar bantal tepat ke wajah Lucius. “Kau ini! Sekali-sekali gunakan otakmu! Ah!”          Lucius tidak mengerti apa yang salah dengan perkataannya, yang membuat Tria tiba-tiba saja marah. Setelah menerima pukulan beberapa kali lagi dari Tria, akhirnya ia mulai tenang dan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.          Meski sebelumnya Tria terus protes dan marah-marah karena hal yang tidak jelas, beberapa menit setelah Lucius mulai memijat tubuhnya,  ia akhirnya tertidur dengan pulas. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD