22 - Lia

1907 Words
           Selama di dalam kamarnya, Tria tertidur dengan pulas tanpa bangun dan bergerak sedikit pun. Jika Lucius tidak memeriksa apakah Tria masih bernapas atau tidak, kemungkinan ia akan mengira kalua Tria sudah kehilangan nyawanya.            Setelah memastikan kalau orang yang mempekerjakan dirinya masih bernapas, Lucius kembali duduk pada sofa yang disediakan di kamarnya itu. Namun, belum sempat ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, ia bisa mendengar suara langkah kaki yang berasal tepat dari luar kamarnya.            Jika di dengar dari langkah kakinya, tentu orang ini tidak memiliki niat untuk mencelakai Tria atau dirinya. Karena seorang pembunuh tidak akan pernah melakukan hal yang sangat ceroboh seperti itu. Terlebih lagi, orang itu hanya sendiri dan kemungkinan seorang perempuan, dengan tinggi yang hampir sama dengan Tria atau mungkin lebih pendek beberapa senti. Lucius juga bisa memastikannya dari bayangan yang terlihat dari celah yang ada pada bagian bawah pintu.            Merasa tidak ada yang aneh, akhirnya Lucius berjalan mendekati pintu itu dan mengintip menggunakan lubang intip yang ada di sana. Sama seperti dugaannya, seorang gadis yang kemungkinan seumuran dengan Tria menunggu di balik pintu tersebut.            “Triaa, apa kau di dalam?” tanya orang itu sambil mengetuk pintunya beberapa kali. “Ini aku, Lia!”            Ah, dia seseorang yang Tria kenal. Namun, melihat Tria yang akhirnya bisa tertidur pulas setelah usahanya yang cukup sulit untuk menidurkannya rasanya sangat disayangkan jika Lucius membangunkannya.            Setelah berpikir untuk membiarkan Tria tidur lebih lama, Lucius mulai mengacak-acak rambutnya agar terlihat seperti baru bangun tidur. Tidak hanya itu, akhirnya ia bisa melepas jas dan juga dasi yang dari tadi membuatnya tidak nyaman. Ah, tidak lupa juga membuka satu atau dua kancing pada baju kemejanya. Untuk lebih memastikan, ia juga sengaja membuat kusut kemejanya itu.            Setelah dirasa cukup, Lucius membuka pintunya dengan malas. Gadis yang kemungkinan teman Tria ini menghentikan tangannya di udara ketika ia ingin mengetuk pintunya lagi.            “Ah! Maaf … sepertinya aku salah kamar—”            Lucius mencoba untuk memasang senyumnya. “Apa kau mencari Tria?”            “Ah, itu benar … aku diberi tahu Tria sebelumnya kalau ini kamarnya …”            Lucius menunjuk ke arah kasur dengan dagunya, kemudian berkata, “Tria … sedang tidur. Sepertinya aku membuatnya terlalu kelelahan. Bagaimana jika kau kembali lagi nanti?”            Gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali sebelum wajahnya tiba-tiba menjadi merah. “Ah … ah! Baiklah. Maaf mengganggu!”            “Tunggu. Kau temannya Tria, ‘kan? Siapa namamu?”            “Lia, namaku Lia!” sahutnya kemudian ia melanjutkan larinya. “Ah, jika dia sudah bangun, katakan kalau aku akan menunggunya di aula!”            .            .            Di luar sana, langit terlihat sudah sangat gelap. Akhirnya, Lucius bisa melihat kalau tubuh Tria sedikit bergerak.            Dengan erangan pelan, akhirnya Tria bangun dari tidurnya. Dengan matanya yang masih sulit dibuka, ia menyebarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Kenapa gelap sekali? Jam berapa sekarang?”            “Enam. Kapal juga sudah mulai berlayar,” jawab Lucius pelan sambil menurunkan kakinya dari atas meja. “Ada seseorang mencarimu. Namanya Lia.”            “Lia!?” sahut Tria sambil berdiri cepat dari tempat tidurnya. “Kapan ia datang? Kenapa kau tidak membangunkanku?” Kemudian ia berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil beberapa pakaian.            “Sekitar dua jam lalu. Karena kau tidak pernah memberi tahuku untuk membangunkanmu jika ada seseorang yang bernama Lia,” jawab Lucius. Ketika ia sadar kalau Tria mulai melepaskan pakaiannya, ia langsung memutar tubuhnya untuk membelakangi Tria.            “Apa Lia berkata hal lain?”            “Dia akan menunggumu di aula.”            Dengan napas yang sedikit terengah-engah, Tria berlari menuju pintu kamar dan membukanya dengan lebar. “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo ke sana!”            Lucius mendesah pelan sambil mengikutinya di belakang. “Kenapa kau terburu-buru sekali? Apa dia semacam kekasihmu?”            Tria memutar kedua bola matanya pada Lucius. “Karena dia temanku! Lagi pula, aku masih menyukai laki-laki!”            .            .            Butuh beberapa menit untuk sampai di Aula tempat temannya Tria berada. Mereka sedikit membuang-buang waktu karena sempat salah jalan.            Ketika akhirnya mereka sampai, Tria langsung menyebarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Lucius yang menemukan Lia yang sedang berdiri di ujung ruangan pada balkon yang ada di luarnya langsung memberi tahu Tria dengan menunjuk ke arahnya.            Tria mengikuti arah yang Lucius tunjuk, kemudian mulai berlari ke arahnya. Namun, belum satu langkah ia berlari, ia terpaksa berhenti karena Lucius menarik kerahnya.            Sedikit terbatuk keras, Tria berkata, “Apa yang kau lakukan!? Kau ingin membunuhku dengan mencekikku menggunakan kerah bajuku sendiri, ha!?”            “Jangan terlalu jauh dariku,” bisik Lucius pelan.            Tria langsung menutup mulutnya dengan rapat, kemudian berdeham pelan dan membereskan bajunya yang sedikit kusut karena Lucius. “Kalau begitu cepat,” kata Tria sambil melingkarkan tangannya pada lengan Lucius.            Lucius mendesah pelan sambil menggandeng tangan Tria dengan sayang—atau mencoba untuk terlihat ia sayang padanya—ia juga mencoba untuk memasang senyuman yang seharian ia latih untuk memuaskan keinginan Tria.            Tria sempat bersiul ketika melihat  perkembangan Lucius untuk pura-pura menjadi kekasihnya. Mendengar siulan Tria, senyuman Lucius langsung lenyap seketika karena ia merasa geli.            “Lia~” sahut Tria setelah dia dan Lucius sedikit dekat dengan Lia.            Pandangan Lia yang sebelumnya terlihat kosong sambil memandang laut yang semakin jauh menghilang ditelan kegelapan langsung menolehkan pandangannya. Dengan senyuman lebar, ia langsung berlari sambil membuka kedua tangannya. “Tria! Akhirnya kau datang!”            “Sekarang sudah tidak terlalu jauh, ‘kan?” bisik Tria sebelum akhirnya ia melepaskan genggaman tangannya dan berlari kemudian balas memeluk Lia.            “Aku merindukanmu! Sudah lama sekali kita tidak bertemu!” kata Lia sambil menggoyangkan tubuhnya ke kiri dan kanan.            Tria terkekeh pelan sambil berkata, “Maaf, beberapa … bulan ini aku sedikit sibuk. Bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja, ‘kan?”            Lia mengangguk dan melepaskan pelukkannya. “Semua baik-baik saja ...” Lia menutup mulutnya ketika tatapannya tertuju pada Lucius. “Ngomong-ngomong, Tria … apa sebaiknya aku pergi saja?”            “Hm? Kenapa?”            “Uhh, kau tahu … apa aku mengganggumu dan … kekasihmu itu?” kata Lia dengan suara yang lebih pelan. Namun sayang, Lucius masih bisa mendengarnya.            Tria tertawa geli sambil menyikut rusuk Lia dengan pelan. “Anggap saja dia tidak ada. Di tempat ini, aku akan mendedikasikan diriku padamu, Lia. Tapi … tentu saja jika sudah pulang aku sepenuhnya milik kekasihku,” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit pada Lia.            Meski mendengar perkataan Tria, Lia tetap terlihat sedikit ragu. “Uhh … tapi sepertinya kekasihmu itu sedikit menyeramkan.”            Tria langsung menatap ke arah Lucius sambil menyipitkan kedua matanya. Lucius langsung kembali memasang senyuman yang sudah ia latih sebelumnya.            Setelah mengangguk puas, Tria kembali menatap Lia dan berkata, “Ah, tidak apa-apa. Dia hanya sedikit cemburu karena aku belum memperkenalkanmu padanya! Nanti malam aku akan menceritakan tentangmu padanya.”            Tanpa alasan yang jelas, wajah Lia kembali memerah. “Uhh … baiklah.”            “Lagi pula, apa kau sendirian? Bagaimana dengan orang tuamu?”            “Ah, papa tidak bisa datang karena ia sudah berjanji pada temannya sebelum ia menerima undangan untuk pesta ini. Ketika aku tahu kalau kau akan datang menghadiri pesta ini, aku langsung bilang pada papaku untuk mewakilinya.”            Tria tersenyum semakin lebar. “Berarti kau bebas, ‘kan? Kalau begitu, ayo kita jalan-jalan!”            Lucius mendesah sambil memijat keningnya yang mulai sedikit sakit. Sepertinya ia harus menjaga satu orang lagi. Ia harus meminta Tria untuk menambah pembayarannya.            .            .            Hari pertama berada di kapal pesiar ini, tidak ada apa pun yang terjadi pada Tria mau pun Lucius. Mungkin saja para pembunuh bayaran itu tidak bisa naik ke kapal pesiar karena hanya orang-orang tertentu yang dapat menaikinya. Sebaiknya ia lebih berhati-hati lagi di perjalanan pulang mereka.            Setelah Tria dan temannya yang bernama Lia bertemu, mereka berdua hanya berpisah jika kembali ke kamar mereka masing-masing untuk berganti pakaian atau tidur. Untung saja besok pagi kapal pesiar ini akan kembali ke pelabuhan dan juga misi Lucius akan selesai setelah ia mengantar Tria kembali dengan selamat ke rumahnya.            Lagi-lagi mereka berdua memilih tempat yang sangat terbuka untuk ‘bermain’. Tempat ini cukup sepi, hanya ada dirinya, Tria dan Lia, sepasang lansia yang sedang berjemur tidak jauh darinya, dan tiga pasangan lain yang sedang berbincang satu sama lain.            Matahari belum terlalu tinggi di atas kepalanya, ditambah dengan angin laut yang meniup wajah Lucius membuatnya sedikit kehilangan fokus.            Untuk ke sekian kalinya, Lucius kembali memerhatikan sekelilingnya. Dari tempatnya berada, ia bisa memikirkan lebih dari puluhan cara untuk memisahkan kepala Tria dari tubuhnya tanpa seorang pun yang menyadarinya. Jika ada orang lain yang lebih hebat dibandingkan dengan dirinya, mungkin ia harus lebih berhati-hati lagi.            Ketika ia memikirkan hal itu, ia merasa kalau seseorang memerhatikannya dari jauh. Dengan cepat Lucius memutar kepalanya melihat ke arah itu. Tetapi, tidak ada seorang pun yang berada di sana.            Perasaannya tidak pernah salah sebelumnya. Berarti, memang ada seseorang sebelumnya di tempat itu. Namun sebelum Lucius melihatnya, ia sudah bersembunyi. Ah, akhirnya ia bisa menemukan sesuatu yang membuatnya tidak lagi merasa bosan.            “Tria,” kata Lucius sambil mendekat ke arah Tria dan Lia yang masih sibuk berbicara.            “Aiii, sudah kukatakan aku sedang melakukan perbincangan antar wanita dengan Lia! Jangan menggangguku!” sahut Tria sambil membuat gerakkan mengusir dengan sebelah tangannya.            Ujung bibir Lucius berkedut seketika. Sejak kemarin, wajahnya terasa kram karena berusaha untuk terus tersenyum. “Ayolah, jangan mengabaikanku terus.”            Tria langsung menyipitkan matanya, kemudian berkata, “Ahh, apa kau cemburu? Hm?” katanya sambil berjalan mendekati Lucius dan memeluknya. “Ada yang mencurigakan?” bisiknya pelan.            “Satu orang,” balas Lucius ikut memelankan suaranya.            Setelah mendengar jawaban dari Lucius,  Tria memutar tubuhnya menatap Lia dengan pandangan yang sedih. “Liaa, mungkin aku … harus kembali ke kamar karena ada seseorang yang merasa kesepian! Bagaimana jika nanti malam aku menunggumu di depan aula sebelum pestanya di mulai?”            Lia terkekeh pelan, kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Mhm, baiklah! Bersenang-senanglah kalian berdua. Ah, Lucius … jangan membuat Tria terlalu kelelahan lagi, ya!”            Ternyata orang ini memiliki ingatan yang bagus juga … “Jika aku bisa menahan diri.”            Di sampingnya, Lucius bisa melihat kalau bulu halus pada tangan Tria sedikit terangkat. Dirinya saja merasa geli ketika mengatakan hal itu, apalagi Tria ketika ia mendengarnya?            Lia memutar kedua bola matanya. “Ah! Seharusnya aku juga mencari seseorang untuk aku ajak mengikuti pesta ini!” katanya sambil berjalan melewati Lucius dan Tria.            “Haha! Akui saja kekalahanmu, Lia!” sahut Tria sebelum Lia berbelok dan menghilang di balik dinding. “Ayo,” katanya pelan pada Lucius.            Lucius memasang kedua telinganya baik-baik dan menyebar pandangan ke sekelilingnya ketika mereka berjalan menuju kamar.            Kemudian, tiba-tiba saja seseorang yang sebagian wajahnya tertutup oleh topi yang ia gunakan muncul di koridor yang sedang mereka lewati. Langkah kakinya tidak terdengar sama sekali oleh Lucius, dengan perlahan ia meletakkan sebelah tangannya yang bebas pada belati yang ia sembunyikan di balik punggungnya.            Ketika orang itu mulai mendekat ke arah mereka,  topi yang sebelumnya menutupi sebagian wajahnya ia angkat sedikit, membuat Lucius bisa melihat wajahnya.            Meski ia sudah mengingat seluruh wajah pembunuh bayaran yang lain, ia tidak pernah mengenal yang satu ini. Apa orang ini memiliki bakat berjalan dengan langkah kaki yang tidak terdengar sama sekali … atau ia memang melatih dirinya untuk seperti itu?            Ketika orang itu berjarak tidak lebih dari lima meter dengan Lucius dan Tria, tiba-tiba orang itu terbatuk, dan bergumam. “Ah ... dingin sekali di sini.”            Meski kalimat yang ia ucapkan itu tidak aneh, dan Lucius tidak merasakan sedikit pun napsu membunuh darinya. Entah kenapa Lucius merasa sedikit khawatir jika berada di dekatnya. []    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD