Too Young To Marry – 13

1033 Words
Apa hal yang paling gila di dunia? Aku pikir jawabannya adalah jatuh cinta. Karena memang jatuh cinta bisa menjadi sesuatu hal yang sangat amat berbahaya. Saat jatuh cinta seseorang bahkan bisa kehilangan akal sehatnya. Manusia bisa kehilangan kewarasannya dan mulai menepikan logika. Gilanya lagi, tak sedikit yang tahu bahwa mereka akan terluka, namun tetap saja, cinta memang membutakan segalanya. -Too Young To Marry. “Sepertinya untuk sekarang kita memang lebih baik seeprti ini aja,” ucap Mita memecah keheningan. Daffa mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu?” “Maksud aku biarin aja semua orang taunya hubungan kita udah berakhir ... termasuk para orang tua kita,” jawab Mita. Daffa mengangguk tanda mengerti. Mereka berdua masih duduk di jembatan itu sambil menjuntaikan kakinya. Aliran sungai di bawah sana yang sebelumnya terlihat menyeramkan, kini malah terlihat indah di mata mereka berdua. Ya, memang begitulah saat cinta sudah melanda. Langit gelap pun tidak menjadi penghalang. Dinginnya angin malam yang menusuk tulang pun juga tidak menjadi penghalang. “Jadi kamu pengen kita backstreet, gitu?” tanya Daffa. Mita mengangguk mengiyakan. “Iya. Seenggaknya sampai kita selesai Ujian Nasional. Bagaimana menurut kamu? Apa kamu setuju?” Daffa telihat berpikir sebentar. Sejujurnya dia masih memikirkan ucapan mama Mita waktu itu. Daffa benar-benar tidak ingin menjadi penghalang bagi impian Mita. Dia tidak ingin Mita berubah haluan hanya karena dirinya. “Ta ... sebelumnya aku boleh nanya sesuatu nggak sama kamu?” tanya Daffa dengan nada suara hati-hati. Mita tersenyum lembut. “Nanya apa?” “Apa keinginan kamu setelah tamat SMA?” “Menikah.” “Aku nanya serius ... apa kamu punya keinginan untuk masuk ke Universitas? Atau apa kamu punya impian lain yang ingin kamu raih nantinya?” tanya Daffa lagi. Mita mengalihkan pandangannya menatap langit yang gelap. “Dulu aku memang pernag mempunyai cita-cita seperti itu. Namun sekarang keinginan aku hanya ingin hidup bersama kamu. Aku tau mungkin ini terdengar gila. Aku juga sadar semua ini terdengar sangat menggelikan. Tetapi kalaupun nanti ada mimpi yang ingin aku raih, aku ingin meraihnya bersama kamu.” Daffa tersenyum pelan. “Tapi kenapa kamu tiba-tiba nanya seperti itu?” Mita kini menatap heran. Daffa meneguk ludah. “Aku hanya tidak ingin menjadi penghalang bagi kamu, Ta. Aku nggak mau kamu mengorbankan keinginan kamu sendiri untuk aku. Aku hanya ing—” Cup. Kata-kata Daffa terhenti saat Mita mengecup bibirnya dengan lembut. Kecupan ringan itu sukses membuat Daffa melotot dengan napas tertahan. Mita pun menarik wajahnya kembali dan menjadi gugup. Dia sendiri juga tidak sadar kenapa bisa melakukan hal gila seperti itu. Mita memalingkan wajahnya dengan rasa malu yang memuncak. “Maafin aku,” bisik Mita lirih. Daffa tidak menjawab. Dia langsung menarik lengan Mita dan membalas kecupan itu dengan cepat. Sekarang giliran Mita yang terkejut. Detak jantungnya kini beracu cepat. Perlahan Daffa pun melumat bibirnya itu dengan lembut dan Mita pun mulai memejamkan matanya. Moment bersejarah itu pun tiba. Daffa dan Mita sudah melakukan ciuman pertama mereka. _ Sudah dua hari terakhir Mita memutuskan untuk mendiamkan sang mama. Dia tidak menyahut saat dipanggil. Dia tidak menjawab saat sang mama bertanya. Dia juga tidak sarapan dan makan di rumah sama sekali. Mita benar-benar merajuk dan sang mama mulai kebingungan karena hal itu. “Kamu marah sama Mama karena menemui Daffa?” tanya sang mama yang kini berdiri di ambang pintu kamar Mita. Mita tidak menjawab dan sibuk memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam ransel. “Lihat sekarang kelakuan kamu itu! kamu bahkan sudah berani membangkang kepada orang tua.” Sang mama mulai frustasi. “Mita mau belajar, Ma ... jadi sebaiknya Mama keluar aja!” Deg. Sang mama menatap nanar. Tidak pernah terbersit dipikirannya sedikitpun jika Mita akan berkata seperti itu kepadanya. Anak yang selalu dia bangga-banggakan selama ini. Anak yang sangat dia harapkan, nyatanya kini mulai menorehkan luka di hatinya. Sang mama pun akhirnya keluar sambil menggerutu. Sepeninggal sang mama, Mita pun memeijit keningnya sendiri. Kenapa dia bisa seperti ini? bagaimana dia bisa mengusir sang mama seperti itu? ya, sepertinya jiwa muda Mita memang sedang bergejolak dan tidak terbendung lagi. Sepertinya dia akan membabat habis siapapun yang melarang kehendaknya saat ini. “Kakak apain Mama sih?” tiba-tiba Gafran datang dan berdiri di ambang pintu dengan raut wajah bingung. Mita pun menatap heran. “Memangnya kenapa?” Gafran menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Mama nangis setelah keluar dari kamar ini!” Deg. Mita tertegun mendengar jawaban adiknya itu. “Kayaknya Kakak emang perlu di ruqiah deh! Akhir-akhir ini Kaka emang aneh sekali. Jangan sampai Kakak nanti menyesal dengan semua pilihan gila yang Kakak pilih!” Gafran berkata ketus, kemudian kembali pergi dari sana.   _ Aneh? Apa aku benar-benar menjadi aneh akhir-akhir ini? Apa keinginanku memang adalah sebuah hal yang salah? Tapi kenapa? aku tidak menemukan alasan mengapa semua keinginan ini terlihat salah di mata orang lain. Bagiku ini adalah sebuah mimpi yang ingin kugapai. Bagiku ini adalah sebuah harapan yang selalu kunanti. Kenapa mereka semua mengatakan bahwa nantinya aku akan menyesal? Apa yang aku sesalkan? Justru aku akan sangat menyesal jika aku tidak bisa memiliki dia seperti yang aku mau. Gerakan tangan Mita yang sedang menuliskan buku diary-nya itu pun terhenti. Mita meletakkan pulpennya, lalu beranjak mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Ucapan adiknya Gafran masih terngiang-ngiang di telinganya. Mita kembali mengkaji ulang segala keinginannya itu. Apakah menikah muda memang baik untuknya? Apakah dia memang benar-benar sudah siap untuk melakukannya? Mita menelan ludah. Tiba-tiba perasaan gamang mulai menghinggapi pikirannya, tapi kemudian segala keindahan tentang pernikahan segera memenuhi isi otaknya. Mita kembali tersenyum membayangkan betapa indahnya kehidupan mereka nanti. Bagaimana indahnya menyesap secangkir kopi berdua di pagi hari, pergi berbelanja kebutuhan berdua, menonton acara televisi bersama. Membayangkan semua itu membuat rasa gamang yang tadi mendera hilang seketika. Lamunan Mita pun buyar saat suara handphone-nya terdengar pelan. Mita langsung tersenyum senang karena itu adalah panggilan telepon dari Daffa. “Halo ... apa kamu sudah tidur?” tanya Daffa. “Belum. Ada apa?” “Aku hanya pengen dengerin suara kamu aja.” Mita tersenyum. “Padahal tadi kita sudah berbicara sangat lama.” “Tetep aja ... aku udah lama nggak denger suara kamu melalui telepon seperti ini,” ucap Daffa. Mita pun tersipu malu. obrolan mereka berdua pun terus berlangsung. Mita dan Daffa terus berbicara panjang lebar hingga malam semakin larut. Rasa kantuk yang tadi sudah menyerang Mita pun mendadak menguap. Jarum jam bahkan sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Sesekali Mita bahkan tidak bisa mengontrol suara kikikan tawanya. “Hahaha... kamu kenapa konyol banget, sih!” sergah Mita sambil tertawa keras. Tiba-tiba saja pintu kamar itu di dobrak dengan kasar. Mita yang terkejut pun langsung membeku dengan mata melotot. Sang papa kini menatapnya dengan pangkal geraham yang beradu kuat. Sedetik kemudian beliau langsung merebut handphone Mita yang masih menempel di telinganya dan membawa handphone itu keluar. _ Bersambung...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD