Too Young To Marry - 19

1258 Words
“MITA …!!!” Ocha langsung terkejut melihat Mita yang sudah basah kuyup berdiri di depan rumahnya. Mita tersenyum dengan bibir yang sudah membiru. Tetesan air masih menitik dari ujung rambut dan juga pakaiannya. “Ya, ampun, Ta … kamu kenapa seperti ini? Kamu dari mana?” Mita hanya menatap sendu. Bibirnya kini masih terasa beku untuk seskedar berkata-kata. “Sekarang kamu masuk dulu!” Ocha langsung menyeret Mita masuk ke dalam rumahnya. Dengan sigap, Ocha pun langsung mencarikan handuk, pakaian ganti dan juga membuatkan segelas s**u hangat untuk sahabatnya itu. “Ini … kamu juga pake selimutnya.” Ocha menambahkan selimut dan langsung membalutkannya ke punggung Mita. “Makasih, ya, Cha. Aku tadi bener-bener bingung dan nggak tau mau ke mana lagi.” Ocha menatap Mita lekat-lekat. “Kenapa kamu tiba-tiba lari dari rumah? Setau aku kamu bukanlah anak seperti itu. Ada apa, Ta?” Mita tersenyum tipis. “Mama nggak ngebukain pintu rumah buat aku karena pergi menemui Daffa.” Ocha terdiam. Dia sendiri juga bingung dan tidak berani berkomentar banyak terkait hal itu. “Terus kamu lari ke sini?” tanya Ocha lagi. “Ya, aku nggak punya tempat tujuan yang lain lagi.” Ocha mengembuskan napas panjang. “Tiga hari lagi kita akan mengikuti Ujian Nasional. Sebaiknya kamu fokus, Ta! Bukannya kamu sendiri yang bilang kalo kamu pengen cepet-cepet lulus?” Mita termangu diam. “Apa aku masih harus mengikuti ujian itu?” Ocha mengernyitkan dahi. “Maksud kamu?” “Entahlah. Aku seperti sudah kehilangan selera memikirkan tentang ujian maupun sekolah.” “Kamu nggak boleh berpikir seperti itu, Ta. Ibarat kata sekarang ini kita hampir mencapai garis finish. Kita hanya perlu selangkah lagi. Kamu nggak boleh berpikir dan berkata seperti itu.” Mita hanya tersenyum dan Ocha pun terus saja menasehatinya panjang lebar. Akan tetapi semua nasehat itu terasa tidak berarti bagi Mita. Dia tidak mendengarkannya sama sekali. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini adalah Daffa. “Bagaimana keadaannya sekarang?” bisik Mita lirih.   _   Di tempat yang berbeda, Darrel baru saja siuman dan merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Terutama di bagian kepala sebelah kirinya. Daffa meraba kepalanya pelan. Dia merasakan balutan perban dan kepalanya juga terasa perih saat tersentuh. Daffa pun melayangkan pandangannya ke sekelilingnya. Bau khas rumah sakit, selang infus yang menancap di tangannya membuat Daffa sadar bahwa sekarang dia sedang berada di rumah sakit. Daffa mengembuskan napas panjang. Ingatan terakhirnya adalah dia sedang berdiri di jalanan yang ramai. Hingga kemudian dia melihat seekor anak kucing yang melintas. Daffa ingin menyelamatkan anak kucing itu, tapi tiba-tiba saja sebuah motor yang melaju kencang langsung menghantamnya hingga Daffa terpental dan terguling-guling di jalanan. “Aaaah … tangan dan kakiku juga terasa sakit sekali.” Tunggu. Daffa mencoba menggerakkan kakinya, tapi dia tidak merasakan apa-apa. Dia pun mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat. Ternyata pergelangan kaki sebelah kanan sudah dibalut oleh gips yang tebal dan berat. Daffa mencoba menggerakkan kaki itu lagi, tapi dia tetap tidak bisa melakukannya. “Pergelangan kaki sebelah kanan kamu patah. Butuh waktu untuk memulihkannya.” Tiba-tiba sang bunda masuk ke dalam ruangan itu. Daffa hanya menatapnya sekilas, lalu kembali berbaring dan berusaha mengabaikan kehadiran ibunya itu. “Kenapa kamu tiba-tiba lari seperti itu, ha? Lihat kan sekarang bagaimana jadinya?” sergah sang bunda lagi. Daffa tertegun. Bahkan dalam situasi seperti ini sang bunda masih saja menyalahkannya. Kalaulah tidak karena rasa nyeri yang amsih terasa menyiksa, Daffa sudah menjawab perkataan sang bunda. Keheningan pun menyebar sekian detik. Sampai kemudian sang bunda beralih duduk di sisi tempat tidur Daffa. “Daffa ….” panggilnya pelan. Daffa tidak menjawab. Dia bahkan memiringkan tubuhnya membelakangi sang bunda. “Bunda tahu kamu terjejut dan syok dengan keputusan itu. Tapi semua itu demi kebaikan kita bersama,” ucap sang bunda. Daffa tersenyum kecut, lalu akhirnya menoleh menatap sang bunda. “Kita?” “Iya, kita!” “Bukannya semua itu hanya demi kebaikan Bunda dan Ayah saja?” tanya Daffa. Hening. Sang bunda tampak kesulitan menjawab pertanyaan itu. “Bunda dan Ayah kamu sudah membicarakan hal ini dengan matang. Dan memang inilah solusi akhir yang bisa diambil.” Daffa tidak menjawab. Dadanya kini terasa sesak seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Padahal dia baru saja merajut sebuah harapan. Yaitu harapan jika kedua orang tuanya berdamai dan dia pun bisa memiliki kehidupan normal seperti anak-anak sebaya-nya. “Kamu harus mengerti, bahwa memang inilah yang terbaik,” ucap sang bunda lagi. “Kenapa para orang tua begitu egois, ha? Mereka selalu dengan mudah mengambil keputusan dan juga menentukan baik-buruknya sesuatu. Bagaimana kalau aku juga mengambil sebuah keputusan. Aku ingin menikah saja dan tidak ingin melanjutkan kuliah nantinya. Aku juga sudah memikirkannya matang-matang dan aku rasa memang itulah yang terbaik,” tukas Daffa. Hening. Sang bunda tampak memaksakan senyumannya. “Lebih baik kamu beristirahat.” Sang bunda kemudian melangkah pergi. Daffa pun menatap kepergian sang bunda dengan bola mata yang sudah memerah. “Benar-benar egois,” bisiknya pelan.   _   Pagi ini Mita dikejutkan oleh kedatangan kedua orang tuanya yang datang menjemputnya ke rumah Ocha. Situasi itu tentu saja membuat Mita merasa jengkel. Bukankah sang mama sudah menutup pintu baginya? Lalu kenapa mereka repot-repot mencarinya kembali. Orang tua itu memang mahluk yang aneh. “Maafin aku, Ta … aku rasa orang tua aku yang udah ngasih kabar sama orang tua kamu,” bisik Ocha ke telinga Mita. “Iya, Cha. Nggak apa-apa, kok.” Saat ini kedua orang tua Mita sedang mengobrol dengan orang tua Ocha. Mita benar-benar merasa jengkel. Jika tidak ada orang tua Ocha di sana, dia tentu sudah melawan pada mama dan papanya itu. Setelah mengobrol cukup lama, kedua orang tua Mita pun pami sambil membawa Mita pergi dari sana. Hening. Baik sang mama dan sang papa tidak bersuara sama sekali. Sang papa hanya fokus menyetir dan menatap jalanan yang ada di depannya. Sedangkan sang mama yang duduk di sampingnya juga diam seribu bahasa. Gila. Setelah semua perlakuan itu sang mama malah bersikap santai seolah tidak terjadi apa-apa? Mita benar-benar tidak mengerti lagi dengan apa yang ada di dalam pikiran kedua orang tuanya. Mobil pun terus melaju menembus jalanan pagi hari yang mulai ramai. Mita mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Pikirannya masih terpaku pada sosok kekasih hatinya Daffa yang hingga saat ini belum diketahui juga bagaimana kabarnya. “Mulai hari ini kamu mama ikutkan kursus tambahan untuk persiapan tes memasuki universitas,” ucap sang mama. Deg. Mita langsung terkejut. “Kursus?” “Iya. Mama sudah mencarikan tempat dengan mentor terbaik. Mereka bahkan juga menjamin jika murid bimbingannya bisa mendapatkan bangku di universitas idaman mereka. Pokoknya kamu harus berlajar dengan giat. Kamu harus berhenti memikirkan tentang pacaran yang tidak ada gunanya itu.” Mita menatap nanar. “Kenapa Mama tidak berdiskusi dulu dengan aku terkait dengan kursus itu?” “Apa hal seperti itu perlu di-diskusikan terlebih dahulu. Semua demi kebaikan kamu sendiri Mita! Mama hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kamu.” “A-aku benar-benar tidak habis pikir lagi,” ucap Mita lirih. “Pokoknya mulai hari ini Mama akan mengawasi kamu. Mama akan mengantar kamu ke sekolah, menjemput kamu, menemani kamu ke tempat kursus dan juga mengawasi kamu belajar di rumah.” “APA …!?” Mita semakin terkejut. Sang mama menghela napas panjang. “Mama tidak peduli apakah saat ini kamu merasa marah atau kesal dengan ha itu. Tapi yang jelas nantinya kamu akan berterima kasih untuk semua yang sudah Mama lakukan ini.” Mita tidak bisa lagi berkata-kata. Sekarang kebebasannya secara resmi direnggut sudah. Bukankah hidup seperti itu akan terasa seperti berada di dalam penjara? _ Bersambung …      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD