Rahmi menyusul si kembar ke kebun. Si kembar sedang duduk di bawah pohon rambutan, bersama Razzi.
"Assalamualaikum, Abba."
Rahmi mencium punggung tangan, dan telapak tangan Razzi.
"Waalaikum salam. Dari pabrik?" Razzi menatap Rahmi. Tatapan, dan suara Razzi sama lembutnya. Sekalipun Rahmi belum pernah melihat Razzi marah.
"Iya, Abba. Panen ya, Abba?" Rahmi mengedarkan tatapan ke arah kebun.
"Iya."
"Abba, dan Amma harusnya jangan terlalu keras lagi bekerja. Sudah ada Bang Aay, dan Bang Aan, yang mengurusi semua pekerjaan," ucap Rahmi.
Razzi tertawa pelan.
"Abba datang ke sini bukan untuk bekerja, hanya mencari keringat saja. Nanti perut Abba gendut kalau hanya berdiam diri saja. Ammamu masih imut begitu, masa suaminya gendut. Tidak bagus kelihatannya. Nanti orang pikir, amma anaknya Abba," canda Razzi. Rahmi, El, dan Zizi tertawa mendengar candaan Razzi. Harus diakui, Rara meski terus bertambah usianya, tapi masih terlihat gesit, dan imut juga. Mungkin karena pembawaan Rara yang selalu ceria, pikir Razzi.
"Amma tidak akan berpaling meski Abba jadi gendut," ujar Rahmi diantara tawanya.
"Ya tidak akan, tapi Abba jadi tidak percaya diri kalau pergi dengan ammamu. Di atas semua itu, yang penting Abba tetap sehat, karena rajin bergerak."
"Aamiin, semoga semuanya panjang umur, aamiin!" Doa Rahmi.
"Aamiin." Doa Rahmi diaminkan yang lain.
"Ayo pulang. Kita ke rumah Kai ya." Razzi bangkit dari duduk, lalu menatap El, dan Zizi.
"Iya, Kai," sahut El, dan Zizi yang ikut bangkit dari duduk mereka.
Mereka berempat meninggalkan kebun. Razzi membawa setandan pisang, dan dua batang singkong yang umbinya besar-besar. Dimasukkan ke dalam keranjang yang ada di jok motornya. Kedua cucunya naik sepeda paling depan, diikuti Rahmi di belakang, setelah itu Razzi paling belakang.
Razzi tersenyum, merasakan betapa sempurna hidupnya. Dianugerahi keluarga yang luar biasa. Mertua yang sangat baik. Istri yang sangat mencintainya. Anak-anak yang membuatnya bangga, dan cucu yang yang sehat, serta patuh pada orang tua.
*
Hari Minggu, mereka semua berkumpul di rumah keluarga Ramadhan.
Aska, Asifa, Rara, Razzi, Aay, Aya, Al, Aan, Ziah, Rahmi, El, dan Zizi.
Asma, Vanda, Andri, dan Ardan.
"Ardan, Aay, dan Aan, usia kalian sudah cukup untuk menikah. Menunggu apa lagi. Aay sudah 34 tahun, Aan sudah 30 tahun, Ardan sudah 33 tahun," ujar Aska.
"Entahlah mereka ini, apa yang ditunggu," gumam Razzi.
"Menunggu bidadari turun ke bumi, untuk kami cintai, Kai," sahut Aan dengan candaannya.
"Paman Aan, dan Om Ardan punya pacar, iya'kan? Pacarnya banyak, yang ikut di mobil ganti-ganti!" seru El.
"Itu hanya teman, El, pendekatan dulu, sebelum memutuskan, siapa di antara mereka yang pantas untuk dibawa ke penghulu," sahut Aan.
"Nah itu betul!" Ardan mendukung jawaban Aan.
"Kalau sampai saat ini belum ada yang dibawa ke rumah, berarti belum ada yang pantas dibawa ke penghulu dong?" Tanya Aya.
"Aku sudah tunjukkan foto gadis-gadis itu ke Amma, kepada Nini juga. Tapi, reaksi Amma, dan Nini seperti kurang cocok. Aku jadi harus berpikir lagi," ujar Ardan, putra sulung Vanda.
"Jangan cuma berpikir, Ardan. Tanya amma, dan nini, gadis seperti apa yang diinginkan untuk jadi menantu," ujar Aska.
"Nini, Amma, bagaimana?" Tanya Ardan seraya menatap Asma, dan Vanda bergantian..
"Aku tidak ingin memaksakan kehendak, tapi kalau Ardan ingin tahu seperti apa gadis yang aku sukai, akan aku katakan," sahut Asma.
"Seperti apa, Ni?" Ardan, dan Aan bertanya bersamaan.
"Seperti Sifa, seperti Sila, seperti Aya. Bisa mengurus rumah dengan baik, pintar memasak, sayang keluarga," jawab Asma.
"Ya Tuhan, Nini. Mana mungkin aku menikah dengan Nini Sifa, Acil Sila, atau Kak Aya!" protes Ardan.
"Ck, begitu saja tidak paham. Maksud Nini itu, seperti, bukan berarti harus menikahi mereka, Ardan!" Rara gemas dengan keponakannya itu. Aan tertawa karena Ardan dicubit Rara.
"Jaman sekarang, mana ada gadis yang seperti itu, Acil Rara. Yang ada, ya super gaul seperti Acil Rara." Ardan tertawa pelan, seraya mengusap lengannya yang tadi dicubit Rara.
"Ada!" sahut Rara cepat.
"Siapa?" Semua mata tertuju pada Rara.
"Aku tahu siapa!" El mengacungkan jarinya.
"Zizi juga tahu!" Zizi ikut mengacungkan jarinya.
"Siapa, Sayang?" Tanya Rara, ia ingin tahu apakah gadis yang ia pikirkan sama dengan yang dipikirkan kedua cucunya.
"Kak Ami!" Serempak kedua remaja itu menjawab. Semua mata tertuju pada Rahmi. Rahmi melongo mendengar namanya disebut oleh kedua adiknya.
"Tepat sekali!" Rara bertepuk tangan, karena cucunya menebak dengan benar. Kalau melihat tingkah Rara seperti itu, orang tidak akan percaya kalau usianya sudah lebih lima puluh tahun. Rara, dan Aya lebih cocok sebagai kakak, dan adik.
"Eh, kenapa Kak Ami?" Rahmi bertanya pada si kembar. Wajahnya merona.
"Kak Ami mirip Amma kita!" Zizi menjawab dengan suara nyaring.
"Kalau Zizi mirip siapa?" Andri yang bertanya.
"Kata Kai, Zizi mirip Nini!" Zizi menunjuk Rara.
"Iya, benar sekali. Zizi itu seperti Rara, kelebihan energi," ujar Asma.
"Daripada Om Ardan bingung mencari istri, kenapa tidak menikah dengan Kak Ami saja?" Tanya Zizi.
"Eh, anakmu asli meruruni ammamu, Aya. Mulai belajar jadi Mak colbang dia," ujar Vanda.
"Menuruni. Mak comblang, Amma," Ardan meralat ucapan Vanda.
"Menuruni apa?" Ibu Al yang bertanya.
"Ya itu, jadi Mak Colbang," jawab Vanda.
"Mak Comblang, Acil," kali ini Aan yang meralat.
"Jadi bagaimana, Ardan? Nini sudah mengatakan seperti apa wanita yang diinginkan. Sanggup mencari yang seperti itu?" Tanya Aska.
"Bang Aay lebih tua dari aku, Bang Aay dulu dong yang menikah." Ardan menunjuk Aay.
"Aku belakangan saja. Yang lebih tua, harus mendorong yang muda untuk maju," ujar Aay dengan suaranya yang selalu lembut, persis abbanya.
"Gayamu, Bang. Bilang saja belum punya calon," ujar Aan.
"Tidak perlu dicari, kalau sudah sampai jodoh, nanti datang sendiri. Seperti Nini Asma, seperti Aya. Orang yang tak terduga jodohnya," sahut Aay.
"Siapapun jodoh kalian nanti, semoga yang terbaik. Aku bersyukur, kalau ada salah satu dari kalian yang menjadi jodoh Ami. Biar Ami tetap tinggal di sini, tidak harus pergi mengikuti suaminya nanti," ujar Razzi sambil mengarahkan tatapan pada Rahmi.
"Aamiin."
"Yang aminnya paling kencang, dia akan jadi jodoh Kak Ami. Ayo siapa tadi paling keras suara aminnya!? Om Ardan, Paman Aay, atau Paman Aan!?"
Semua tertawa melihat tingkah Zizi. Asifa benar-benar merasa melihat Rara dalam diri Zizi. Wajah Rahmi tertunduk, ia merasa malu karena dirinya yang jadi bahan pembicaraan.
Ada rasa bersalah, karena ia sudah berbohong pada Aya, tentang perasaannya pada seorang pria. Perasaan yang akan ia simpan sendiri. Karena Rahmi sangat tahu, pria itu menyayanginya, hanya sebatas sebagai kakak pada adiknya saja.
*