BAGIAN DUA

1579 Words
Tahun 1980 Hail POV Aku terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Mimpi itu lagi, hari di mana Glafira membawaku ke rumahnya. Hari di mana aku membuang nama Amber dan kebebasanku demi sebuah balas dendam. Bekas luka di punggungku sudah lama sembuh, tetapi rasa sakitnya masih terasa sangat jelas tiap kali aku melihat pantulannya di cermin. Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu dan hingga saat ini, tak ada seorang pun yang tahu kalau aku masih hidup. Rahasiaku dijaga dengan baik oleh Glafira, wanita yang kini telah menjadi kepala keluarga Ghea, majikanku. Aku segera berpakaian, merapikan diri sebelum aku datang menemui Glafira. Rutinitas harianku tak pernah berubah selama sepuluh tahun belakangan. Selalu saja hanya melayani Glafira, mendengarkan semua perintahnya tanpa memedulikan semua pertikaian yang ada di antara keluarga Ghea itu sendiri. Itu semua karena dia seorang wanita, karena para tetua tak pernah bisa menerima organisasi yang dipimpin oleh seorang wanita. Tak peduli bahkan jika Glafira merupakan satu-satunya pemilik darah Ghea yang tersisa, mereka tak pernah mengakui kepemimpinannya. Karena itu pula, pengkhianatan terus-terusan ia terima. Hingga sampai di titik, tak ada lagi yang bisa ia percayai selain aku di sisinya. “Lambat! Aku sudah kelaparan, cepat buat sarapan!” perintah Glafira. “Segera, apa yang kau mau?” tanyaku, membuka kulkas untuk melihat bahan apa yang kupunya di sini. Menyiapkan makanan Glafira juga merupakan bagian dari tugasku, sejak dua tahun lalu. Ketika orang-orang di sekelilingnya mulai mencoba untuk meracuninya, mencoba untuk membunuh satu-satunya pewaris dan merebut seluruh kekayaan Keluarga Ghea. “Apa saja, aku tak peduli.” “Oke, aku akan buat semau ku, tapi jangan mengeluh nanti.” Sedikit banyak, aku mengerti perasaan Ghea. Paham jelas bagaimana rasanya dikhianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai keluarga, hanya demi kekuasaan dan harta. Karena itulah, aku dengan setia berada di sisinya. Selain karena telah ditolong, aku juga tinggal karena merasa memiliki seseorang yang memahami perasaanku. Glafira tak pernah takut atau menjadi lemah hanya karena di sekelilingnya dipenuhi oleh musuh. Wanita itu begitu tegar dan berani, dia juga sangat kuat dan percaya diri. Begitu angkuh menginjak orang yang menentangnya. Membuat para tetua tak bisa berbuat banyak untuk menyingkirkannya dari posisi ketua dan berakhir hanya dengan cara kotor, diam-diam mencoba menusuknya dari belakang. Aku mengagumi Glafira. Terlepas dari balas dendam yang tersisa di dalam hatiku, ada perasaan lain yang terkadang membuatku berpikir untuk memberikan semua yang kupunya untuk melindunginya. Meskipun seorang Glafira Ghea tak pernah butuh untuk dilindungi. Sebab, dia terlalu sombong untuk membiarkan seseorang melindunginya. “k*****t tua itu,” desis Glafira ketika aku menyajikan sarapannya. Tangannya mengepal erat, meremas kertas yang ia baca hingga tak berbentuk. “Siapa?” tanyaku penasaran, ingin tahu siapa yang akan ia kutuk kali ini. “Martin Don. Dia diam-diam bekerja sama dengan Kenan,” jawab Glafira. Seketika itu juga, darahku mendidih. Mendengar nama orang yang paling ku benci disebut-sebut. Semua orang tahu kalau Keluarga Ghea dan Amber telah bermusuhan sejak beberapa dekade yang lalu. Jika Martin yang merupakan tetua keluarga Ghea, dengan berani menjalin kerja sama dengan Kenan yang saat ini telah menjadi kepala keluarga Amber, maka itu sudah jelas merupakan sebuah pengkhianatan. Memikirkan kalau orang yang ingin mengkhianati Glafira dan bekerja sama dengan orang yang sangat ku benci, membuatku tak bisa untuk tidak peduli. “Biarkan aku yang membereskan masalah ini,” pintaku. Aku ingin mengurusnya sendiri, menyingkirkan mereka berdua sekaligus. “Tidak. Jangan dulu. Kita tak punya bukti dan aku tidak berniat untuk menunjukkan kartu AS-ku semudah itu. Kau belum boleh bertemu dengan Kenan,” tolak Glafira. Lagi-lagi ... kenapa dia selalu saja menjauhkanku dari keluarga Amber? Padahal Glafira sendiri yang bilang akan membantuku untuk balas dendam, tapi apa yang diperbuatnya malah sebaliknya. “Kenapa? Aku sudah bukan anak kecil. Aku punya kekuatan untuk menghancurkan Kenan sekarang!” bantahku. Aku tak terima, aku tak ingin terus bersembunyi di balik punggung Glafira. Aku ingin melawan, aku ingin bertarung di sampingnya. “Kau lupa posisimu? Kau tak berhak mempertanyakan keputusanku!” bentak Glafira kemudian. Ia menekan bahuku dengan kuat, memaksaku untuk berlutut di hadapannya. Dan tubuhku yang telah terlatih untuk tunduk, berlutut padanya. Dengan satu kaki tertekuk, hanya agar memberi tempat untuk kakinya berpijak. “Ini belum saatnya, Hail. Tunggulah hingga aku menemukan semua pengkhianat itu hingga ke akar-akarnya dan saat itu, akan kubiarkan kau maju duluan menghancurkan mereka. Mengerti?” ujar Glafira. Aku terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya aku sadar akan posisiku sebagai seorang b***k. Kuambil kaki Glafira, memegang betisnya dan menciuminya sebagai bentuk kepatuhan. Seperti seekor anjing setia pada majikannya. “Aku mengerti,” jawabku. “Bagus. Untuk sekarang, aku ingin kau melakukan hal lain.” Pada akhirnya, Glafira hanya memberi tugas mencari informasi. Menyuruhku untuk menemui seseorang dan mengambil data yang telah ia minta sebelumnya. *** Maka dari itu, di sinilah aku sekarang. Di sebuah toko barang antik di tengah kota, tempat di mana aku bisa menemukan orang yang kucari. Seorang informan bernama Yasa, seorang laki-laki yang tak diketahui apa pun tentangnya selain nama yang belum jelas apakah itu hanya nama panggilan atau nama asli. Aku memasuki toko itu seperti pelanggan pada umumnya, berjalan mendekati penjaga toko tanpa melihat barang-barang yang dipajang. “Aku mencari Yasa,” ucapku sambil memasukkan sejumlah uang secara diam-diam ke saku celana penjaga toko. Ia menatapku sekilas, kemudian berjalan melintasiku sambil berbisik, “Ada pintu di belakang rak paling kanan.” Setelah itu, ia mengajak pelanggan lain untuk berbicara. Bersikap seolah-olah tak ada urusan denganku. Aku mengerti maksudnya, paham jelas cara kerja bisnis kotor berjalan. Beginilah cara mereka berjualan informasi, membawa pembeli menemui penjual tanpa diketahui oleh polisi. Selanjutnya, aku pergi ke pintu yang dimaksudkan. Masuk ke dalam tanpa ragu. Di dalamnya terdapat tangga yang menuju ke ruang bawah tanah. Sebuah bar kecil yang tak terlalu ramai dan hanya dikunjungi oleh orang-orang dengan keperluan yang sama denganku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok laki-laki yang sesuai dengan deskripsi yang Glafira jabarkan. Satu-satu orang yang sesuai dengan ciri-ciri itu adalah sang bartender, maka dari itu aku segera menghampirinya. Duduk di kursi tepat depannya, menatapnya lurus ke mata. “Aku datang mengambil pesanan Ghea,” ucapku. Dia menatapku secara keseluruhan, kemudian menunduk sedikit untuk membuka sebuah lemari di bawah meja bar. “Seperti yang digosipkan, b***k Nona Ghea memang punya wajah yang rupawan,” ucapnya, memberikan sebuah amplop kepadaku. “Ini bayarannya.” Aku tak memedulikan basa-basinya, memilih untuk cuek. Memberikan amplop lain yang berisikan uang bayaran atas jasanya. Kemudian aku berbalik, berniat segera pergi dari sana. Namun, ia menarik pergelangan tanganku, menatap penuh arti sambil bertumpang dagu menggunakan satu tangan lainnya. “Jangan buru-buru, tinggallah sebentar. Seseorang yang kau kenal akan segera datang,” ujar Yasa. Aku terhenti, mengernyit mendengar perkataannya. Satu-satunya orang yang kukenal hanyalah Glafira dan sisanya hanya orang-orang yang bertemu secara singkat untuk urusan yang berkaitan dengan wanita itu. Aku tak punya teman, tak punya seseorang yang berasal dari masa laluku dan yang pasti tak ada yang tahu siapa aku. Terlebih, ini pertama kalinya aku bertemu dengan Yasa. Perkataannya itu terdengar seperti omong kosong, tetapi entah kenapa aku malah percaya padanya. Tatapannya itu seolah bisa masuk ke dalam pikiranku, menggali rahasia yang terkubur rapat. “Siapa?” tanyaku. Yasa tersenyum semakin lebar. Ia melepaskan tanganku, memberikan segelas rum padaku sebagai ganti dari jawaban yang tak ia berikan. Tak lama kemudian, seseorang datang dari pintu yang sama denganku. Ia duduk di sampingku, mengambil sebuah amplop dari Yasa tanpa berkata-kata. Tubuhku kaku seketika. Terlalu kaget mengetahui siapa yang Yasa maksudkan. Itu Noir, seseorang dari masa laluku. Dia terlihat tak mengenaliku, tak punya urusan denganku dan jelas hanya datang karena ingin menukar sesuatu dengan Yasa. Namun yang pasti, itu menunjukkan maksud Yasa dengan jelas. Secara tak langsung, laki-laki itu ingin mengatakan kalau dia tahu siapa aku yang sebenarnya. Bagaimana bisa? Malam itu hanya Glafira dan seorang bawahan yang menolongku. Wanita itu membawaku ke sebuah vila terpencil di luar kota, merawatku hingga sembuh di sana. Setelah itu pun, dia melatih tubuhku di tempat itu dan baru membawaku kembali ke kota ini ketika aku telah tumbuh dewasa. Bawahan itu juga telah tewas dua tahun setelahnya, tanpa membuka mulutnya sama sekali. Bagaimanapun juga, aku tak bisa menemukan alasan kenapa dia bisa mengetahui identitasku. Aku hanya diam selama Noir dan Yasa berbicara, berpura-pura tak peduli. Duduk dengan tenang menikmati minumanku dan setelah Noir pergi, barulah aku kembali menatap dengan tajam kepada Yasa. “Apa maksudnya itu?” tanyaku, menuntut penjelasan. Yasa tersenyum lagi, senyuman licik yang tak memberi jawaban yang kuinginkan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau rahasiamu ada di tanganku,” ucapnya. Tanganku terkepal, menahan diri untuk tidak mencengkeram bajunya dan mulai mengancam. Glafira akan marah jika aku membuat masalah dan mengakui identitasku. Dia punya rencana dan aku tidak boleh mengacaukannya. Sosok Hail Amber harus tetap dianggap telah mati hingga waktu yang Glafira tentukan. “Apa maumu? Katakan apa yang kau inginkan sebagai ganti tutup mulut.” Setelah tenang, aku mencoba bernegosiasi. Dan sepertinya, memang itu yang Yasa inginkan. Sebab, dia tertawa dengan puas padaku, mendekatkan kepalanya padaku agar bisa berbisik. Memastikan tak ada yang mendengar apa pun yang akan dia katakan. “Culik dia dan bawa ke alamat ini,” bisik Yasa. Di saat yang sama, ia menyodorkan sebuah foto, menyisipkannya ke saku depan jasku. Di balik foto itu, tertera alamat dan batas waktu yang dia inginkan. “Baiklah.” Aku segera bangkit berdiri setelah menerimanya, berjalan pergi tanpa menoleh sama sekali. Tak masalah menculik satu atau dua wanita, selama itu bisa menutup mulutnya. Pada dasarnya, apa yang selama ini kukerjakan untuk Glafira bahkan lebih buruk dari sekadar menculik seseorang.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD