Kencan Buta

1535 Words
“Intinya malam ini harus jadi, Kadita. Jangan PHP pokoknya.” Kadita sudah benar-benar diteror oleh temannya lantaran harus menuruti ucapan kedua temannya untuk kencan buta dengan salah satu pria yang sudah dijanjikan oleh mereka berdua. Jadi harus berdandan cantik malam ini untuk bisa memenuhi standar tersebut. Seorang wanita akan berpenampilan baik di hari pertama dia berkenalan dengan seorang pria. Kencan buta memang bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini. akan tetapi Patricia dan juga Luna sudah jengah dengan sikapnya Kadita yang selalu saja menghindar setiap kali dikenalkan dengan salah seorang pria. Apa salahnya jika Kadita berusaha untuk memenuhi ucapan mereka berdua kan? Tapi wanita itu selalu menghindar dan mengatakan bahwa dia tidak butuh pacar untuk saat ini. Lagi pula Kadita juga masih ingin fokus pada kuliahnya. Demi ikatan persahabatan mereka yang sudah terjalin begitu mereka masuk di universitas ini. Mereka bertiga dekat. Patricia dan Luna sudah punya pacar, sedangkan Kadita selalu menolak. Kadita mengaduk cappuccino ice. “Ngomong-ngomong nih ya, kriteria kamu yang gimana, Kadita?” “Nggak muluk-muluk sebenarnya, maunya sama yang udah kerja. Nggak mau sama yang masih kuliah.” Mata Luna melotot ke arah Kadita yang sedang mencicipi minumannya dan mengaduknya kembali. Mereka berada di kafe ibu tirinya Kadita sekarang. Ya di sini memang sangat nyaman sekali untuk nongkrong. “Kamu nggak lagi bercanda kan untuk ucapan barusan? Kamu mau yang udah kerja?” Kadita merasa heran ketika temannya malah menatapnya seperti itu. “Kenapa sih? Kan emang begitu, aku emang maunya yang udah kerja. Apa ada yang salah?” Mereka berdua saling tatap satu sama lain mendengar permintaan Kadita. “Kerja apaan coba? Masalahnya itu kan Daddy kamu lho udah sukses sekali. Kamu mau nyari orang yang sukses juga. Kami berdua nggak ada kenalan. Ini pun direkomendasikan dari doi.” Tak banyak yang Kadita mau dari kriteria seorang pria yang dia inginkan. Yang jelas Kadita hanya mau pria yang pekerja keras dan juga tanggung jawab. Kalau soal pekerjaan barangkali bisa dipikirkan nanti. Tetapi dia juga harus mencari yang setara dengannya, memikirkan bagaimana sosok pria yang membesarkannya berjuang keras agar tidak kecewa dengan pasangan yang nantinya bisa dikenalkan oleh Kadita kepada Aiden. Mereka bertiga masih memikirkan hal yang sama. Yaitu bagaimana soal pertemuan pertama Kadita dengan pria yang akan dicomblangkan kepada Kadita nantinya. “Kakak.” Rasi datang ketika Kadita sedang mengobrol dengan temannya. Dia menoleh kepada gadis kecil yang menghampiri mereka bertiga itu. “Sini dek!” panggil Kadita waktu melihat Rasi datang dengan membawa yogurt lalu dinaikkan ke atas kursi. Terlihat Lara menghampiri mereka berempat. “Mommy kira di jalan tadi. ya udah diam di situ sama Kakak, ya. Mommy mau ke bawah dulu.” Ujar Lara lalu pergi ke bawah melanjutkan pekerjaannya. “Ohya sampai lupa nih aku, Dit. Itu lho Mommy tiri kamu friendly banget sama kita. Nganggep kita kayak temennya.” “Apalagi aku, makanya sebenarnya dulu kan sebelum Daddy nikah yang dekat itu aku sama Riko. Terus kenalan di sini, ya pokoknya banyak deh ceritanya kalau soal tempat ini. cuman sekarang kan agak besar aja sih, Daddy yang minta. Apalagi tambah ramai sekarang, ini bocah juga sering ikut ke mana aku pergi.” Kedua teman baik Kadita sudah tahu tentang Rasi karena mereka berdua juga pernah main ke rumahnya Kadita. Karena Kadita lebih sering ada di sini, jadi tidak susah mencari gadis itu berada. “Ngomong-ngomong tuh Daddy kamu beruntung nikah sama gadis. Nggak pernah dimarahi emang sama Mommy tiri kamu?” Kadita menggeleng kemudian menunduk membersihkan yogurt di bibirnya Rasi. “Nggak pernah deh sampai sekarang.” Jawabnya dengan jujur lalu dia kembali berbincang dengan temannya. “Di rumah yang paling ditegur itu ya Riko. Soalnya tahu sendiri gimana dia bar-bar ke adik aku ini.” “Agak lucu sih emang kalau cowok terus bar-bar gitu ke adiknya.” “Tapi sayang banget, walaupun ini bocah musuh bebuyutan sama Riko. Tapi kalau udah akrab nempel terus, mandi pun minta dimandiin sama Riko. Makanya Mommy nggak susah-susah deh urus ini bocah. Soalnya sama siapa aja mau, nggak pernah ngeluh juga. Di rumah kan kalau udah kumpul sama keluarga nggak ada waktu lagi main HP, soalnya waktu untuk keluarga itu sangat berharga sekali.” Kadita menghargai soal waktu bersama dengan keluarga yang di rumahnya lebih banyak menghabiskan waktu bermain dengan Rasi atau kumpul dengan anggota keluarga yang lainnya di rumah ketika malam hari. Luna mengangguk lalu memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. “Kamu beruntung sih, ya tapi kan kita balik lagi ke wanita lagi ya, Dit. Apalagi kan itu Mommy kamu penyayang sekali, dilihat dari cara ngomongnya ke Rasi juga udah tahu. Apalagi sama kamu kalau kita lagi kumpul, kita dikasih senyum terus pokoknya ya gitu deh. Pinter nyari jodoh tuh Daddy kamu.” “Siapa bilang, yang jodohin Daddy itu ya aku sama Riko. Soalnya ya Daddy kan pernah dekat sama wanita lain, tapi ya jawabannya selalu saja sama, nggak bisa terima aku sama Riko. Terus aku sama Riko kebetulan kan tiap pulang sekolah ke sini, lama eh deket. Terus ya udah jodohin Daddy sama Mommy. Malah beneran berjodoh, walaupun awalnya susah banget.” “Emang umurnya berapa waktu kamu jodohin?” “Mommy masih muda banget sih, waktu itu dua puluh tujuh tahun, tapi soal kasih sayang jangan ditanya lagi, apalagi baiknya. Daddy juga awalnya nggak mau tuh sama Mommy, tapi makin lama didorong sama aku dan Riko ya akhirnya mereka dekat dengan sendirinya. Aku sama Riko malah nggak tau mereka itu pacaran,” Kadita membagi sedikit cerita menarik dari pertemuan antara orangtuanya hingga bisa ke pelaminan. Patricia mengangguk takjub dengan wanita yang menjadi ibu tirinya Kadita. “Tapi ya tiap kamu izin ke mana gitu tetap dia kasih izin.” Anggukan pelan itu terlihat dari Kadita. “Iya, ke mana pun harus izin. Kan sekarang yang jadi ibu aku juga ya Mommy Lara.” “Tapi ya beneran deh salut banget sama dia, kita ngumpul di sini nggak pernah gitu lho ikutan nongkrong sama kita. Paling dikasih senyuman terus bilangnya selamat nongkrong apa gitu, ya ampun. Cuman ya kita bahas Daddy kamu nih ya, apa bukan karena Daddy kamu banyak uang makanya tuh orang mau?” Kadita menggeleng menegaskan bahwa Lara tidak seperti itu. “Nggak, soalnya Mommy kan punya kafe ini sama toko bunga yang di sebelah. Mommy itu dulu lebih sering di toko bunga sih kalau pagi. Intinya Mommy itu berusaha banget untuk bisa seperti ini.” Luna menatap Kadita dengan intens. “Masalahnya Daddy kamu ganteng, Kadita. Udah cakep, baik, lembut banget kalau ngomong, nggak nginep sekalian di sini? Nanti Om yang ngomong ke orang tua kalian. Duuuuh kalau bukan karena kita temenan nih, Kadita. Aku juga mau sama Daddy kamu.” “Buseeet, selera udah berubah aja nih lihat om-om.” “Soalnya Daddy kamu kan dari cara ngomongnya, terus dari sifat kamu yang bisa dibilang udah masuk jajaran crazy rich tuh, tapi tetap aja hidupnya nggak pernah kelihatan waaah gitu. Dilihat dari kamu lah ya, bisa dilihat kan dari gaya kamu udah sederhana sekali. Padahal sebenarnya uang kamu banyak, mobil di rumah belasan tapi yang dipakai ya itu-itu aja. Terus belum lagi nih soal kekayaan Daddy kamu, tapi ya kayak yang kamu bilang tadi, Mommy kamu juga kelihatan biasa aja. Intinya ya kayak nganggep ini tuh hal yang biasa sekali.” Patricia kini punya giliran bicara pada Kadita. Kadita gadis yang tidak pernah mau untuk memamerkan apa pun yang dia punya. Meskipun ada satu buah jam tangan yang bahkan harganya ratusan juta rupiah ketika dia ulang tahun waktu itu diberikan sebagai kado paling mahal. Bahkan harga jam tangannya lebih mahal dari mobil yang dia pakai sekarang. “Apa yang mau dipamerin sih sebenarnya? Apa yang kita punya itu nggak ada tandingannya sama orang lain. Sekarang pamer, terus Tuhan ambil semuanya, lalu orang lain menertawakan kita. Harta bukan untuk disebutkan berapa yang kita punya, tapi seberapa rasa peduli untuk orang yang butuh makan, ya bisa dibilang aku dulu sama Daddy makan aja susah, tapi Daddy kan luar biasa sekali semangatnya untuk kerja.” “Panutan sekali emang, Kadita. Soal Mama kandung kamu?” Kadita mengangkat bahunya jika ditanyakan soal wanita itu. “Entah. Dia sekarang ada di mana aku juga nggak tahu.” “Yang penting kamu tetap ingat aja kalau nggak ada beliau, kamu nggak ada di dunia ini, Kadita. Tapi ya nggak tahulah urusan kamu ya, tapi intinya jangan benci orang tua. Karena bakalan kerasa sekali kalau nggak bisa ditemui lagi suatu saat nanti.” Kadita juga punya rasa rindu, tapi sekarang dia sendiri tidak tahu soal rindu itu pada ibu kandungnya. “Mommy juga baik-baik saja pastinya.” “Semoga.” Mereka berbincang lalu tidak lama Rasi turun dari tempat duduknya. “Kak, adek mau bobok.” Kadita beranjak dari tempatnya bersama teman-temannya. “Ke kamar yok, kita istirahat di sana aja. Kan mau pergi nanti malam.” Luna dan Patricia mengikuti Kadita ke kamar yang biasa dijadikan tempat istirahat mereka di sini. Kadita keluar dari kamar setelah tiga orang itu tidur dan turun ke lantai dasar menemui Lara di sana. Sampai di sana Kadita menemui wanita itu di dalam ruangan yang ada di bawah. “Mom, nanti malam mau keluar sama teman, boleh?” “Boleh, tapi pulangnya jangan larut sayang. Takutnya Daddy ngomel.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD