Wanita Baik-Baik

1140 Words
Agam sedang bekerja di kantor dengan beberapa temannya yang ada di kubikelnya sedang mengganggu. Mereka sudah selesai untuk semuanya. Sedangkan Agam harus kerjakan semua draft yang diminta oleh klien sebelum diserahkan. Dua temannya bersandar dan akhirnya mengatakan. “Gam, malam ini sibuk?” “Nggak ada kegiatan apa-apa. Mau serahkan berkas ini ke klien juga. Bapak juga sudah minta dikirimin malam ini untuk hasilnya lalu ke klien juga. Biar Bapak yang lakukan negosiasi nanti.” “Ngomong-ngomong gini lho, aku sama Morgan ada rencana ketemuan sama beberapa wanita sih. Kita kencan gitulah. Maklum kita ini kan manusia super sibuk yang lupa sama jodoh.” Agam menarik napasnya lalu bersandar. “Aku nggak janji sih.” “Bolehlah, aku traktir.” “Non alkohol, deal?” Morgan juga mengiyakan. “Pastinya, nggak mau rusak anak perjaka orang juga kan. Ya udah sih kalau emang mau nanti kita pergi barengan. Tapi kalau kamu ada yang perlu dibantuin, kami berdua bisa bantu.” “Nggak usah, ini tinggal dikit lagi. Dua menit juga selesai. Asal jangan digangguin.” Dua temannya langsung menepuk pundaknya Agam kemudian kembali lagi ke tempat duduk dengan rapi. Kedua temannya juga tidak ganggu sama sekali usai dia berkata seperti itu. Agam mengirimkan berkasnya kepada bosnya langsung untuk melakukan negosiasi soal kesepakatan nanti apa diterima atau tidaknya saat Agam mendapatkan proyek baru. “Done.” “Ngomong-ngomong nih, Agam. Kontraktor yang waktu itu kerja sama bareng kita udah dikeluarkan dari daftar kerja sama sih sama bos. Kamu tahu nggak?” “Gilang?” “Ya, proyek ditinggal gitu aja. Bos marah besar banget waktu itu. Sekarang mau gimana lagi? Bayangkan dia paling banyak sekali proyeknya tapi akhirnya ditinggal begitu saja. Dan sekarang hasilnya mana? Dia sama sekali nggak ada hasil kan.” Agam kemudian paham dengan apa yang dimaksudkan oleh temannya. Lalu ketika dia mematikan laptop dan juga monitornya. “Aku udah dari awal curiga sih sama dia.” Tafsirnya tidak salah selama ini kalau ada kejanggalan di dalam kontraktor itu sendiri. “Aku sudah pernah ngomong sama Bapak, tapi waktu itu Bapak bilang cuman Gilang yang bisa dipercaya. Tapi pas dikhianati kan jadi begini. Aku sih nggak usah komentar banyak hal, ya. Soalnya kalau ngomong juga percuma.” Agam menegakkan tubuhnya lalu mengambil tasnya. “Sudahlah, ayo pulang. Istirahat bentar, nanti malam mau keluar.” Kedua temannya heran kenapa bisa-bisanya Agam pertama kali tidak menolak kalau diajak pergi. Sampai Morgan dan Ariel pun heran dengan perlakuan anak itu. “Agam, apa kamu sehat?” Pria itu mengangkat kedua bahunya dan mengiyakan. “Tentu, memangnya apa yang salah?” “Sikapmu,” celetuk Ariel yang memang tidak bisa percaya dengan tingkah pria yang sekarang ini jelas berbeda. Dingin seperti es batu yang ada di kutub utara, bicara seperlunya. Kadang tidak akan menanggapi kalau diajak bicara. Tapi berbeda sekali dengan sekarang ini yang buat mereka berdua sampai heran kenapa bisa pria yang dikenal dengan sikap cueknya itu bisa bicara panjang dengan mereka. Sebenarnya Agam terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai enggan untuk ikut campur masalah orang lain. Tapi karena teman-temannya juga selalu mempermasalahkan soal urusan kantor yang tidak pernah selesai. Entah itu dari bos yang bermain wanita, entah dari pesta-pesta tidak jelasnya setiap kali ada proyek besar. Yang pasti akan ditraktir semuanya. Tapi Agam tidak ikut kalau ada acara kantor yang menurutnya tidak bermanfaat. Mereka berjanji untuk bertemu di salah satu kafe untuk acara malam ini. Agam membawa mobilnya sendiri tanpa mau dijemput oleh dua temannya itu. Mereka memilih untuk bertemu saja. Sesampainya di kafe itu, Morgan menghubungi teman kencan buta mereka. Diajak dia malah ikut begitu saja tanpa memedulikan apa yang dilakukan oleh temannya. Mereka berdua memang langsung bergabung begitu saja. Sedangkan Agam yang hanya mengikuti arahan temannya hanya ikut saja. Tatapannya tertarik dengan teman dari mereka yang hanya diam. “Dit, kenalan kek. Diem mulu.” Sahut seorang temannya yang tiba-tiba saja menyenggol wanita di depannya Agam. Ariel juga begitu. “Kenalan kek. Mau ke tempat karaoke nggak?” Wanita itu menggeleng langsung. “Aku mau pulang aja.” Namun Agam yang sebenarnya ingin ikut karaoke tapi langsung ikut berdiri. “Aku nggak ikutan.” “Kadita nggak usah gitu, kita kan sudah janji kalau mau pergi bareng. Pulang bareng.” “Nggak ke tempat karaoke, kan? Kalian tahu sendiri Mommy sama Daddy kayak apa.” “Nggak apa-apa kalian pergi saja. Biar aku yang antar,” Agam mencoba mendekati karena dari tadi dia tertarik dengan wanita ini. Bahkan saat menawarkan pun dia tidak menolak sampai Agam juga mengajak wanita ini ke mobilnya. “Hmmm, nanti antar aku setengah jalan, ya.” “Kenapa?” tanya Agam tidak percaya kalau wanita ini minta diantar setengah saja. “Takut Daddy marah. Soalnya nggak pernah bawa cowok ke rumah.” “Boleh minta nomor Hp, kan?” “Boleh,” wanita itu memberikan kepada Agam. Memang agak terlihat sedikit ketakutan untuk pergi ke tempat karaoke. Di dalam perjalanan Agam beranikan diri bertanya. “Kamu kenapa nggak ikut karaoke?” “Nggak dibolehin pergi ke tempat seperti itu. Karena Daddy pernah bilang itu bukan tempat wanita. Harus dihindari biar nggak terjadi hal yang tidak diinginkan. Daddy juga nggak suka anaknya harus ke tempat seperti itu kalau mau gaul.” Agam terpukau, pertemuan pertama sudah disuduhkan dengan anak yang dijaga baik oleh orangtuanya. “Hmm, kamu benar.” “Kamu sendiri bagaimana? Sering ke tempat seperti itu?” “Nggak, kalau acara kantor seperti itu. Aku pulang, tidur. Atau main game di apartemen.” “Nggak tinggal sama orangtua?” “Aku kerja, aku pulang sesekali saja. Soalnya kalau ikuti pesta begituan nggak bakalan aman duit. Masih setor apartemen juga aku, mobil apalagi.” Meskipun baru bertemu, tapi rasanya sangat nyaman sekali untuk cerita kepada wanita di sebelahnya ini. Agam tidak keberatan cerita banyak hal kepadanya. Lalu kemudian Agam mengatakan. “Hmm, kalau aku ajak jalan mau nggak? Atau kita makan gitu.” “Boleh, tapi kita ketemu di luar, ya. Jangan jemput.” “Ya, terserah kamu.” Waktu itu Kadita langsung menghubungi taksi untuk dijemput di pinggir jalan karena Agam tidak bisa mengantarkan atas permintaannya Kadita. Memang wanita ini sungguh luar biasa sekali. Bisa-bisanya menolak ajakan Agam. Tapi baru saja sopir itu tiba dan Kadita sudah masuk ke dalam taksi. Agam berpesan kepada sopir. “Pak, saya bayar, ya.” Agam mengeluarkan uang dua ratus ribu. Tapi ketika itu sopir bertanya kepada Kadita soal alamat. Dan kisaran biaya tidak sampai segitu. “Nggak sampai dua ratus ribu, Mas.” “Nggak apa-apa, buat jajan anak Bapak aja kalau begitu.” Agam menunggu sampai taksi itu pergi karena dia benar-benar tidak bisa ucapkan banyak hal dengar Kadita yang takut kalau orangtuanya tahu dia pergi karaoke. Artinya wanita ini baik-baik pikir Agam. Mengingat dia yang dituntut untuk menikah. Barangkali tidak ada salahnya mendekati Kadita yang satu frekuensi dengannya yaitu tidak suka ke tempat karaoke.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD