LIMA

1139 Words
Hari itu adalah hari pernikahan adiknya—Skylar. Namun Gabriel yang kerap disapa Gabe itu memutuskan untuk melangsukan pernikahannya di hari yang sama dengan pernikahan Skylar. Sejak semalam, Gabe tidak bisa memejamkan matanya barang sedetik pun. Ia ingin sekali mencegah pernikahan adiknya itu. Namun dirinya yang masih diluputi oleh rasa bersalah memilih untuk mundur dan mengubur rahasianya dalam-dalam. “Apa semuanya udah bener?” tanya Gabe pada dirinya sendiri. Matanya masih memerah dan terasa perih karena ia belum tidur sama sekali. Gabe menatap pantulan dirinya di cermin kamarnya yang ada di Villa itu, Villa yang ia bangun untuk mengasingkan diri dikala stress karena pekerjaan mulai menghampirinya. Tidak ada satu pun sanak keluarganya yang datang kesana karena ia memang merahasiakan pernikahan itu. Ponsel Gabe berdering. Mungkin itu adalah deringan ke seratus kali yang Gabe abaikan. Tentu saja puluhan pesan dan ratusan panggilan tak terjawab bersarang di ponselnya. Namun tangan pria itu tak tergerak sama sekali untuk menyentuh ponselnya. Sekali lagi Gabe menghela napas beratnya sebelum bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk membersihkan dirinya. Gabe tahu jika air dingin akan menjernihkan pikirannya meski nyatanya, pria itu belum tidur sama sekali. Gabe masuk ke dalam walk-in-closetnya untuk berganti pakaian. Pria itu mengambil setelan jas mahal berwarna biru dongker dan kemeja putihnya. Setelah memastikan pakaiannya rapi, Gabe membuka sebuah laci berisi koleksi jam tangan mewahnya. Gabe memasangkan jam tangannya itu di pergelangan tangannya. Gabe menatap lagi pantulan dirinya di cermin. Meski penampilannya memang nampak sempurna, Gabe sama sekali tidak menganggap hidupnya sesempurna penampilannya saat ini. Gabe masih tidak bisa merelakan Skylar untuk menikah dengan pria pilihan adiknya itu. Suara ketukan pintu terdengar. Gabe menyuruh orang itu untuk masuk karena ia tahu siapa yang mengetuk pintu. “Pendeta udah dateng,” ujar Ber yag memunculkan kepalanya dari balik pintu. Ben adalah asisten pribadi Gabe, orang yang paling Gabe percayai untuk saat ini. “Ayo.” Gabe tahu jika dirinya sudah tak memiliki jalan untuk mundur. Ia akan menikah hari itu juga, bagaimana pun caranya. “Cewek itu udah dateng?” “Harusnya sih, udah. Dia udah tanda tangan dan nerima uangnya kemarin,” jelas Ben saat Gabe menanyakan tentang wanita yang akan pria itu nikahi. Siapa yang bilang jika Gabe akan menikahi kekasihnya? Pria itu saja tak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sepanjang umurnya. Gabe memang menyukai seseorang. Namun pria itu enggan melangkah ke depan. Mempelai Gabe hari itu adalah seorang wanita yang melakukan perjanjian kontrak pernikahan dengan pria itu. Sudah satu bulan pria itu menyiapkan semuanya, semua kemungkinan hatinya yang meragu untuk menikah atau semua kemungkinan ia akan dibenci oleh adiknya sendiri karena tak hadir di hari pernikahan adiknya itu. “Lo yakin?” Ben tiba-tiba saja menahan lengan Gabe saat pria itu melewati tubuhnya yang berdiri di depan pintu. “Kalo enggak yakin, gue enggak akan lakuin ini, kan?” Gabe bertanya balik pada asisten yang juga adalah sahabatnya itu. Ben terlihat menghela napas beratnya. Ben tahu jika usahanya untuk mencegah Gabe dan mengubah pikiran pria itu akan sia-sia. Gabe tidak akan mendengarkannya. Akhirnya, Ben menemani Gabe menuju altar, menunggu mempelai wanita yang sudah menerima sejumlah uang dari Gabe itu datang dan melangsungkan pernikahan. ***** Sudah lama Gabe menunggu kehadiran mempelai wanitanya namun wanita itu tak kunjung datang. Beberapa kali Gabe melihat arloji yang melingkar di tangannya, waktu sudah bergulir terlalu lama untuk menunggu kehadiran wanita yang wajahnya saja ia tidak tahu. “Sebentar. Saya akan lihat langsung ke ruangannya,” ujar Gabe pada pendeta yang terlihat ingin pulang itu. “Biar gue aja,” ujar Ben. Pria itu berpikir jika hal itu adalah pertanda dari Tuhan agar Gabe mengurungkan niatnya. “Gue mau liat sendiri.” Gabe berlalu begitu saja, meninggalkan Ben yang akhirnya membujuk pendeta untuk menunggu sedikit lebih lama. Setiap langkah yang Gabe ambil, keraguan berada di dalamnya. Semakin Gabe mendekat pada ruangan khusus yang sudah ia sediakan untuk mempelai wanitanya itu, semakin besar pula keraguan yang ada di dalam hatinya. Gabe tahu jika saat itu ia masih bisa berbalik dan pergi ke tempat dilangsungkannya pemberkatan antara Skylar dan Claudius. Namun entah mengapa kakinya tak mau berhenti dan terus melangkah ke ruangan itu. “Dimana mempelai wanitanya?” tanya Gabe saat ia akhirnya masuk ke ruangan khusus mempelai wanitanya. Gabe sempat terkejut ketika melihat sosok wanita yang beberapa kali bertemu dengannya itu. Namun perhatiannya langsung teralih saat ia tak melihat keberadaan wanita lain di ruangan itu dan gaun pengantin yang masih terpasang rapi di sebuah manekin. “Lho? Saya juga sedang menunggu, Pak,” jawab wanita itu dalam kebingungannya. “Kemana sih, tuh cewek?!” Gabe benar-benar frustasi. Tak mudah untuknya melakukan hal itu namun wanita yang hendak ia nikahi malah tak berada disana. Tak sengaja pria itu melihat ke arah satu-satunya wanita yang berada di ruangan itu. “Kamu mau nikah sama saya?” “Ihhh! Gila, ya?!” Wanita itu membulatkan matanya dan bergedik ngeri. “Saya bakalan kasih kamu apa aja yang kamu mau. Uang, berlian, apa pun itu. Saya harus nikah sekarang juga.” Gabe terlihat memohon saat wanita itu terlihat tengah menimbang-nimbang. “Kamu ini aneh, ya? Cuma karena pacar kamu telat dateng, kamu ngajak saya nikah? Yang bener aja!” Wanita itu tak habis pikir dengan apa yang baru saja Gabe ucapkan. “Dia bukan pacar saya,” jawab Gabe. “Lho? Terus? Jangan bilang kalo dia itu cewek yang mau dijodohin sama kamu? Jadi … kamu nolak perjodohan itu dengan nikah sama saya.” Wanita itu lagi-lagi dibuat terkejut oleh ucapan Gabe. “Kayaknya kamu kebanyakan nonton film.” Gabe sempat mendengus sebelum melanjutkan ucapannya. “Satu pertanyaan saya, kamu mau nikah sama saya atau enggak? Saya bisa kasih kamu semuanya. Apa pun.” “Kamu aja enggak tau saya siapa, saya kerja apa, asal saya dari mana, saya kaya atau enggak. Bisa-bisanya kamu ngajakin saya nikah kaya sales minyak bulus!” Wanita itu menatap nyalang ke arah Gabe. “Nama kamu siapa?” tanya Gabe dengan nada bicara yang serius, membuat wanita yang ada di depannya itu akhirnya tersadar jika pria itu tidak sedang main-main. “Selly.” Wanita itu menjawab setelah terdiam beberapa saat. “Nama lengkap?” Gabe bertanya lagi. “Mau apa kamu nanya-nanya nama lengkap saya?!” Wanita itu bersedekap. “Nama lengkap?” Kali ini Gabe menegaskan suaranya hingga lawan bicaranya itu menciut. “Se-Selena Hersye,” jawab wanita itu dalam ketakutannya. “Selena Hersye, apa kamu mau nikah sama saya? Saya enggak perduli asal kamu dari mana, pekerjaan kamu apa, dan status sosial kamu kayak gimana. Yang saya tau, sekarang saya lagi lamar kamu dan sebaiknya kamu jawab iya.” Gabe menatap lurus ke manik mata wanita yang tengah salah tingkah karena ucapannya itu. “Kalo saya enggak mau gimana?” tanya Selly dengan suaranya yang nyaris tidak terdengar. “Saya bakalan gendong kamu ke altar sekarang juga,” jawab Gabe serius. “Gila!” Selly hendak mengusap kasar wajahnya namun tangannya terhenti saat ia mengingat riasan mahal yang ia kenakan. “Saya kasih kamu waktu satu menit untuk ganti baju. Saya tunggu diluar. Jangan coba-coba untuk kabur. Kesepakatan kita bahas setelah pemberkatan,” ujar Gabe sambil berlalu meninggalkan Selly yang tengah menganga lebar. “Astaga!” Wanita itu dibuat kelimpungan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD