5: YOU'RE AN ANGEL

1106 Words
"Aku ga bisa janji, Ne. Kalau aku bilang iya dan satu saat nanti aku jatuh hati sama kamu, aku bisa apa? Perasaan bukan hal yang bisa aku kendalikan." Gumam Debby pelan. Borne mendengus. Ia menutup kedua netranya, menenangkan diri dari gejolak hasrat yang susah payah dibendungnya. Jauh di dalam benaknya, Debby pun tak mengerti mengapa mudah sekali baginya bertutur sefrontal itu pada Borne. "Kenapa kamu ngomong begitu, Ne?" Borne membuka kembali netranya, menatap Debby lagi. "This conversation, end! Ok?" Lirih Borne. Debby mencari jawaban di netra coklat Borne, hanya ada kegetiran di sana. Tak ingin memaksa, Debby menganggukkan kepalanya. Borne kembali pada tabletnya, sementara Debby menghabiskan gelato dan caffè latte yang tadi ia beli bersama Borne. "Sejak kapan sih Ne kita ngomong aku kamu?" Borne terkesiap. Memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Lantas tertawa renyah. Debby pun ikut tertawa. "Pasti kamu juga ga sadar?" Tanya Debby lagi. Borne mengangguk. "Ga masalah kan?" tanya Borne. "Ngga. I love it." jawab Debby seraya tersenyum begitu manis pada Borne. Borne menelan salivanya sendiri. Tenggelam dalam netra biru gelap milik Debby. Bahkan jantungnya berdetak tak karuan. "You're eyes. Beautiful. Hypnotize." Gumam Borne. "Yours too." Balas Debby. --- "Kamu mau belanja?" tanya Borne setelah mereka meninggalkan café dan berjalan beriringan dalam diam. "Kata kamu, kamu ga suka nunggu cewek belanja." "Ya kalau belanjanya bikin aku capek, bad mood, aku nyari tempat yang nyaman aja sambil nunggu kamu." "Ngga deh. Aku pengen jalan di gang–gang aja, Ne. All city in Europe has many places like that. Iya kan? Nanti kamu fotoin aku." "Kamu beneran belum pernah ke sini ya Deb?" Debby menggeleng. "Ok! Let's explore the old town!" Siapapun yang melihat mereka berdua pasti menduga mereka adalah pasangan yang sedang jatuh cinta. Debby yang begitu riang, berlari kecil kesana kemari, berputar mengelilingi Borne berkali–kali, menggenggam tangan Borne saat ingin menunjukkan hal–hal yang menarik perhatiannya, dan selalu merapat ke tubuh Borne saat ada orang asing yang terlalu dekat dengannya. Bahkan ia benar–benar lupa jika beberapa waktu lalu ia baru saja melihat mantan kekasihnya b******u mesra dengan perempuan lain. Borne tak henti tersenyum, bibirnya melengkung sempurna melihat keceriaan Debby. Ia berulang kali membidik Debby dengan kameranya, mengunci setiap moment tentang perempuan cantik bergaun backless putih yang berputar mengitarinya. Hingga hari beranjak senja, matahari tenggelam membentuk bias jingga di langit yang mulai menggelap. Lampu–lampu kota mulai menyala, menggantikan cahaya mentari dengan kerlap kerlip warna warni neon. Indah, begitu indah, walau tak mampu menyaingi indahnya perempuan yang berjalan sambil mengapitkan tangannya di siku Borne. Debby mengambil kopi di genggaman Borne, meneguknya, dari posisi yang sama saat Borne meminum minuman favoritnya itu. Berkali–kali. Bergantian. Bahkan lipstick merah Debby masih terukir di tepi cup–nya. 'Kita ciuman dari tadi, Deb. Entah kamu sadar atau ngga. Kemajuan banget buat aku!' batin Borne seraya menatap cetakan bibir Debby yang masih terlukis di cup itu. "Aku lapar lagi, Ne." Rajuk Debby. "Wajarlah. Udah waktunya makan malam. Mau makan apa?" "Pasta?" "Ok!" "Kamu udah minum kopi empat cup lho!" ujar Debby. "Kan berdua sama kamu." sanggah Borne. "Iya sih. Tapi semuanya double shot! Sekarang aku keliyengan. Too much caffeine." "Kamu ga apa–apa?" Debby mengangguk tegas. "Kita mau makan dimana?" Tanya gadis itu. "Dekat hotel ada pasta yang enak. Sekitar 500-meter lagi." "Ok!" Borne memperhatikan Debby yang sepertinya sudah mulai lelah. Ia bersimpuh di hadapan Debby dengan posisi memunggungi perempuan cantik itu. "Aku ga nawarin dua kali. Butuh tumpangan? On my back!" Debby tertawa renyah. Ia terdiam sesaat, berpikir. Hati kecilnya pun tau, ia mulai terjatuh pada pesona pria di hadapannya. Debby mendekat, menjatuhkan dirinya di punggung Borne. Borne mengangkatnya, menahan perempuan itu dengan meletakkan kedua tangannya di belakang lipatan lutut Debby. Debby pun menjaga posisinya, memeluk Borne dari bahunya. Debby meletakkan wajahnya melekat di ceruk leher Borne, bahkan sebelah tangannya yang menjuntai bisa merasakan debaran tak normal di jantung pria itu. "Besok kita kemana, Ne?" "Sorrento Lift?" "Ngapain di sana?” "Jalan–jalan, main air, naik perahu, seafood?" "Bikini?" Borne tertawa. "Jangan besok. Lusa cocok pake bikini." "Oh ya? Dimana?" "Baths of Queen Giovanna." "Ok!" "You'll love it!" Debby mengeratkan pelukannya, Borne kembali terdiam. "So, I'm the Queen?" Ucap Debby pelan tepat di samping telinga Borne. Borne mendengus, kemudian tertawa kembali. Tawa itu menular, membuat Debby pun ikut terkekeh. "You're better than a queen, Deb!" "Apa?" "You're an angel!" --- Borne tertawa renyah menatap Debby yang sedang memukul–mukul pelan kakinya seraya memberengut, mengerucutkan bibirnya. Sepertinya perempuan itu memang tak pernah berjalan jauh. "Kamu jarang jalan jauh ya Deb?" "Awal–awal terbang aja Ne, pas landing, kalau ada waktu pasti jalan atau ke club. Lama–lama capek, bosan. Pas landing paling malas–malasan di hotel atau ke bar." Debby mencengir lebar memamerkan deretan gigi putihnya. Borne membalas dengan senyuman. Borne membuka backpack–nya, mengambil lalu membuka pouch berwarna hitam, mengeluarkan sekotak koyo pereda nyeri. "Nih, tempelin satu–satu di kaki kamu." "Kamu dari Korea?" "Ngga, dikasih Dae Ho, my another bff. Enak banget itu koyonya." "Banyak ya best friend–nya." "Eric, Dirga, Ian, Max, Dae Ho. That's it! Orang baik banyak yang sayang!" Ujar Borne sesumbar. Debby hanya terkekeh mendengarnya. "Paling dekat sama siapa?" "Eric. Setelah dia ga ada, Dirga dan Ian. Ga bisa milih antara mereka berdua." Borne merebahkan dirinya, mematikan lampu tidur tepat di samping ranjangnya. "Pernah punya pacar yang Dirga dan Ian ga suka?" Borne malah tertawa geli mendengar pertanyaan Debby. "Did I ever say that I'm a mess? Aku belum pernah pacaran Deb!" Debby ternganga. Ia memiringkan posisi tidurnya menghadap Borne. Menatap siluet Borne yang begitu sempurna. "Ga percaya?" tanya Borne. "Ngga. Ga mungkinlah, Ne! Come on, look at you! Kamu pasti bohong!" Borne mendengus geli, lalu menggelengkan kepalanya. "Apa lagi yang belum pernah?" Tanya Debby kembali. "Coba tebak!" "Minum?" "Pernah." "Club?" "Borne menggeleng." "Bar?" "Beberapa kali. Biasanya kalau ada client yang minta ketemu di sana." "Client? Design?" "Yup." "Mabuk?" "Belum." "Gila! Keren banget! Ga pernah stress ya kamu?" "Aku jalan kalau stress, Deb. Jalan beneran. Jauh." Debby mengangguk. Mengerti. "Drugs? Sekedar untuk menenangkan diri." Borne mengerutkan keningnya, lalu menggeleng. “Ga ada kata sekedar untuk drugs, Debby!” Netra Debby terbelalak kembali. Lalu, pertanyaan pamungkas terbersit di benaknya, mungkinkah... "Are you a virgin, Ne?" Meledaklah tawa Borne. Ia menatap Debby lekat, netra perempuan itu jelas menunggunya menjawab. Borne, kemudian mengangguk. Wajah Debby berubah suram. Jawaban Borne benar–benar di luar prediksinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD