1.

1126 Words
Dentuman suara musik menggema begitu kencang di telinga Asya, dengan earphone tercpasang di telinganya. Alunan lagu-lagu yang berada di play list handphone nya berputar secara bergantian. Mata Asya terpejam, seraya menikmati alunan musik yang terdengar di telinganya itu. Mulutnya sesekali mengikuti lagu yang berputar di telinganya. Suaranya yang standar, sama sekali gak bagus tapi lebih condong ke fales, tapi Asya pede aja bernyanyi sesuka hatinya di dalam kamar ini. Brakk.. pintu kamar Asya terbuka secara tiba-tiba, menimbulkan suara yang cukup kencang. Namun Asya sama sekali tak mengubah posisinya karena hal itu. Ia masih berbaring di kasurnya sambi terus bernyanyi mengikuti alunan musik di telinganya. Entah Asya tak mendengarnya, atau Asya malas menoleh karena sudah tau yang memasuki kamarnya itu. "ASYAAA..." Suara itu berteriak nyaring, memenuhi seluruh sudut kamar Asya. Asya yang masih mengenakan headset tetap tidak merubah posisinya. Benarkah Asya tidak mendengarkan suara cempreng itu? Atau mungkin Asya pura-pura tak mendengarnya. Gadis yang tadi berteriak memanggil nama Asya kini berlari menghampiri tempat tidur Asya. Ia melompat, lalu terduduk di tempat tidur Asya. Membuat Asya tersenggol karena gerakannya. Gadis ini lalu mencabut headset yang masih terpasang di telinga Asya. Sontak mata Asya pun terbuka, ia bangun dari posisi berbaringnya dan menatap gadis itu dengan jengkel. "Ribet!" Omel Asya kesal. Matanya menatap gadis ini dengan tatapan gaharnya, seolah memprotes akan sikapnya yang semaunya. Gadis bernama Silfa ini malah nyengir, menunjukan sederet gigi putihnya pada Asya. Silfa malah cekikan gak jelas liat Asya yang kesal padanya. "Haha! Makanya jangan suka sok budeg! Nanti budeg beneran sukurin lo!" Silfa mengoceh, seolah sok menasihati Asya. Karena Silfa tau, Asya hanya pura-pura tak mendengar Silfa yang sudah berteriak memanggil nama Asya. pasalnya, hal itu sering dilakukan Asya setiap kali Silfa memanggilnya. Asya dan Silfa memang sudah berteman cukup lama. Faktor kedekatan rumah mereka lah yang membuat mereka akrab. Beberapa tahun setelah pindahnya Kirel yang disusul Franda, keluarga Silfa menempati bangunan yang baru dibangun pasca terbakarnya rumah Franda dulu. Ternyata, keluarga Silfa yang membeli tanah tersebut. Namun hingga saat ini, hingga mereka beranjak dewasa dan menyandang status mahasiswa, Asya dan Silfa belum pernah satu sekolah, bahkan kini mereka tak satu kampus. Bukannya mereka tak ingin untuk satu tempat pendidikan, tapi emang minat mereka berdua berbeda. Meskipun sahabatan, tapi mereka berdua adalah dua orang yang mempunya keinginan dan cita-cita yang berbeda pula. Meskipun mereka bersahabat cukup lama, namun tak ada istilah sehati, sehidup, semati. Kalo kata Asya sih, mending gue hidup elo mati duluan. "Gue tuh cuma nengok kalo di panggil orang. Nah, emang lo orang?" Dengan santai Asya kembali menyaut. Emang dasar udah akrab, jadi ngomong asal aja seenak jidatnya. Toh mereka udah tau sama tau dan ngerti serta paham dengan omongan mereka masing-masing. Asya tidak repot-repot menjaga ucapannya demi menjaga perasaan Silfa. "Terserah lo mau ngomong apa. Yang jelas, intinya gue kesini cuma mau ngasih tau elo kalo..." Belum sempat Silfa menyelesaikan ucapannya, Asya sudah memotongnya. "Pasti ngomongin si Rafa lagi. Heuhh, gak jauh deh." Asya memotong omongan Silfa dengan cepat. Membuat Silfa gondok dan kesal pada Asya. Yaa... meski tebakan Asya memang benar. "Ish, elo mah gue ngomong di potong-potong. Kata dosen gue, memotong pembicaraan orang itu nggak sopan!" Silfa berbicara dengan gaya bicaranya yang senang sekali membawa-bawa omongan dosen tercintanya. Kebiasaan ini mulai dilakoninya sejak menyandang gelar mahasiswa, yang memiliki tenaga pengajar seorang dosen, bukan lagi guru. Meski di mata Asya, guru dan dosen sama saja, Tapi kata Silfa, menyebut Dosen itu terasa lebih keren. Asya tidak peduli dengan pendapat aneh Silfa itu. "Tapi kata dosen gue gapapa. Udah lanjutin lo mau cerita apa tentang Rafa?" Asya kembali mengembalikan topik yang sudah melenceng. Gitu-gitu ternyata Asya kepengen tau juga. Soalnya kalo Silfa gak menyelesaikan ceritanya saat ini, bisa-bisa Asya diteror lagi di lain waktu untuk menyelesaikan cerita Silfa ini. Asya tahu dengan baik sikap Silfa yang satu itu. Ralat, Asya hafal setiap sikap Silfa secara keseluruhan. "Jadi gini, Sya. Kan tadi gue ketemu temem SMA gue. Terus iseng-iseng gue nanya sekarang Rafa kuliah dimana. And you know where? Di kampus lo, Sya! Ternyata dia satu kampus sama lo!" Silfa menceritakan tentang Rafa, sang pujaan hatinya itu, pada Asya secara antusias. Dengan suara lebay dan tangannya yang gak bisa diem kalo lagi cerita, kayak baca puisi gitu. Mungkin biar dapet penghayatannya kali. Padahal menurut Asya, ribet banget! Buang-buang energi aja. Namun, dampak positifnya, Silfa bisa sekalian olahraga karena banyak gerak. "Oh yaa? Tapi gue gak pernah denger ada yang namanya Rafa di kampus. Mungkin beda fakultas kali sama gue? Ohh iya tapi adadeh yang namanya Rafa, satu angkatan sama gue. Yang orangnya item, pendek, gendut, dan giginya rada tonggos. Itu Rafa yang lo puja-puja itu?" Asya mulai terlarut dalam cerita Silfa. Ia berusaha mengingat sambil menebak-nebak soal Rafa yang Silfa maksud. Meski jawabannya agak ngawur. Bukan maksud body shaming, tapi Silfa yaa gak munafik, pertama kali lihat cowok tampang jelas yang paling utama. "Ihb bukan! Rafa gue tuh cakep, tinggi, putih, ahh pokoknya keren deh." "Dia di kampus kuliah kan?" Asya bertanya pertanyaan yang rada gak masuk akal. Kayaknya omongannya udah mulai mau iseng lagi nih. "Iyalah!" Sentak Silfa kesal, matanya penuh selidik, pasti Asya mulai gak serius lagi. "Yee, siapa tau tukang pel. Abis gue kan gak apal nama-nama tukang pel di kampus." Tuhkan, Asya malah becanda nyautinnya. Mereka emang kalo ngobrol gak pernah serius. Silfa malah ketawa sambil mencibir. Abis Asya emang ada-ada aja, gak kebayang deh kalo Rafa yang amat di sukainya itu jadi tukang pel. Ada gitu tukang pel seganteng Rafa gue? Batin Silfa. Rafa? Yaa! Satu nama itu yang sering bahkan mungkin selalu Silfa bicarakan pada Asya. Sosok lelaki yang pernah satu kelas dengannya semasa SMA. Yang diam-diam di taksir Silfa. Yaa diam-diam, karena Silfa cuma bisa seterbuka ini bicarain tentang Rafa ke Asya. Rafa nya pun sama sekali nggak tau kalo ada seseorang yang sangat mengaguminya seperti ini. Silfa, dialah orang itu. Dengan antusiasnya Silfa selalu menceritakan tentang Rafa pada Asya, berangan-angan tentang Rafa, dan meskipun Silfa merasa memiliki Rafa adalah suata hal yang tidak mungkin, tapi Silfa tetap berharap dan berharap. Mungkin suatu saat Tuhan akan mendengarkan doanya selama ini. Doanya yang tak pernah terlepas dari sosok Rafa pula. Silfa masih terus bercerita, dan berusaha menyuruh Asya mengingat-ngingat tentang Rafa yang satu kampus dengannya. Tapi tetap saj Asya kebingungan yang mana itu Rafa yang di maksud Silfa. Mungkin aja Rafa ganti nama kali pas kuliah disitu. "Ehh tapi, gue tau juga yang namanya Rafael. Iya bukan sih? Bukan yah? Elo nyarinya Rafa sih." Akhirnya, satu nama yang sebenernya dari tadi Asya pikirin, terlontar keluar dari mulut Asya. Dengan ragu Asya menebak nama itu, matanya menatap Silfa ketakutan. Berharap jawaban tidak dari Silfa. Yaa, semoga memang bukan Rafael yang Silfa maksud. Jika ya, Asya dalam masalah besar! Kini, setiap detiknya Asya habiskan dengan harap-harap cemas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD