“Ginaya, siap-siap. Kita ada meeting inspeksi di Pulogadung. Kamu harus siap 10 menit lagi. Saya tunggu di lobi.”
Baru saja mendaratkan bokungku di kursi kubikel, Pak Bos sudah memberikan mandatnya.
“Yaelah, baru juga mau minum.” Aku menyayangkan sekali kopi yang baru saja kubuat di pantry dan memberikan ke Aris karena Feni dan Mbak Nindi nggak doyan kopi.
“Kopi buat lo. Tenang aja, belum gue minum.”
Aku segera siap-siap pergi meeting dengan Pak Bos. Sedikit memoles wajahku yang agak luntur dengan bedak dan lipblam.
“Gue pergi duluan,” pamitku.
“Jangan lupa oleh-oleh dari Pulogadung.” Suara teriakan Aris terdengar sampai lift yang membawaku ke lantai dasar tertutup.
Aku mendapati Pak Farhan berdiri menungguku di lobi kantor sambil memainkan ponselnya.
“Ayo, Pak.”
Pak Farhan mengangkat wajahnya, menelitiku dari atas sampai bawah, lalu mengomentari, “Kamu dandan?”
Aku megangguk. “Iya, Pak.”
Pak Bos mengeluarkan sesuatu dari tangannya dan menyodorkan sapu tangan ke arahku. “Hapus make up kamu, itu ketebelan. Kita mau meeting, bukan pergi ke acara sirkus.”
Jujur saja, aku sedikit tersinggung dengan kata-kata Pak Farhan yang membuat kepercayaan diriku makin rendah. Memang ketika di kantor aku sudah terbiasa dengan mulut pedasnya, karena itu juga merupakan tanggung jawabnya untuk menegur karyawan jika ada kesalahan. Namun, kurasa untuk yang satu ini Pak Farhan sudah keterlaluan. Dia tidak berhak mengaturku apalagi untuk masalah pribadi.
Jadilah, karena kekesalanku pada Pak Bos, selama perjalanan kami hanya duduk diam tanpa ada percakapan yang terjadi. Pak Farhan juga tidak ada niat untuk membuka percakapan dan memilih fokus menyetir. Sedangkan aku lebih memilih memasang headset sambil memandang keluar jendela sepanjang perjalanan.
Kami sampai di kantor anak perusahaan sejam kemudian. Meeting berjalan lancar dan menghabiskan waktu selama dua jam. Kami kembali ke kantor pukul setengah dua siang dan memutuskan mampir makan siang karena sudah lewat jam makan.
“Jadi, kita mau makan dimana?” Ini adalah percakapan pertama kami setelah lebih dari tiga jam hanya diam-diaman.
“Terserah Bapak aja.”
“Jawaban khas wanita sekali.”
Heh! Memangnya selama ini Pak Bos mengira aku makhluk berjenis kelamin apa? Transgender?
“Mau makan makanan italia atau Jepang?” Pak Farhan kembali memberikan opsi, sepertinya tidak puas dengan jawaban “terserahku” sebelumnya.
“Italia aja deh, saya mau makan pasta,” jawabku agak sedikit melunak.
Pak Farhan terlihat menganggukkan kepalanya, lalu menjawab, “Oke, kalo gitu kita makan di restoran Jepang, saya lagi pengin makan sushi soalnya.”
NANTANG GELUT YA, PAK?!
Aku menghela napas panjang. Tak balas mendebat seperti biasanya, karena aku masih kesal dengannya.
“Iya, terserah Bapak aja,” jawabku kalem.
Mobil kami berbelok di salah satu restoran sushi terdekat yang kami temukan di jalan. Setelah memakirkan mobil di parkiran sebelah restoran, kami masuk ke dalam restoran dan memesan makanan.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Pak Farhan.
Aku menunjuk menu yang ada di buku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Setelahnya aku lebih memilih menyibukkan diri dengan ponsel tanpa ada niat untuk berbincang dengan Pak Bos.
“Kamu sudah menyelesaikan laporan audit yang saya minta tempo hari?”
Aku memandang tak percaya pada Pak Bos. Bisa nggak sih, nggak bahas pekerjaan dulu, ini kita lagi mau makan siang loh. Soal pekerjaan kan bisa dibahas di kantor nanti.
“Pak, bisa nggak kita ngga bahas pekerjaan sekarang? Kita lagi mau makan siang, loh. Memangnya Bapak mau keselek angka pas lagi makan nanti?”protesku kesal.
Pak Farhan malah tersenyum di balik wajah tampannya.
Eh? Aku bilang apa tadi? Lo pasti udah gila, Nay. Jangan sampai lo tertipu sama wajah malaikat berhati iblisnyaa dia. Inget, dia tuh orang yang selalu nyengsarain hidup lo. Catet itu!
Percakapan kami terpotong saat pramusaji datang membawa pesanan. Setelah mengucapkan terima kasih, pramusaji itu pergi meninggalkan aku yang masih tak mengerti dengan tingkah laku Pak Bos.
“Akhirnya kamu bicara juga.”
Aku mengernyit bingung, “Maksudnya gimana, Pak?”
“Kamu tuh mirip cewek yang ngambek gara-gara ngga dibeliin seblak sama pacarnya. Lebih baik kamu cerewet seperti biasa, saya tidak suka kamu berubah jadi pendiam.”
Sialan! Murahan banget gue disamain sama cewek yang kesel gara-gara seblak!
“Berhenti mengumpati saya.”
Oh, s**t! Dia tau.
“Siapa juga yang mengumpati Bapak,” kilahku.
“Saya bisa tau hanya dengan melihat wajah kamu. Kalau ini dunia komik pasti di atas kepala kamu sudah banyak asapnya.”
“Memangnya Bapak cenayang, bisa tau isi pikiran saya?”
“Saya ngga perlu jadi cenayang buat tau apa isi pikiran kamu. Karena sekarang di pikiran saya cuma ada kamu dan kamu juga harus sebaliknya.”
Uhuk! Uhuk!
Sialan, ikura gue nyangkut di tenggorokan!
“Hati-hati.” Pak Farhan berpindah cepat ke kursi di sebelahku lalu menyodorkan segelas air putih sambil menepuk-nepuk punggungku.
Duh, kok gue jadi deg-degan gini, deket-deket Pak Bos. Anjir! lemah banget hati gue.
“Sepertinya kepercayaan Bapak terlalu tinggi. Saya camkan ke Bapak, di pikiran saya itu isinya cuma angka dan report jurnal, jadi Bapak nggak punya tempat di pikiran saya. Lalu, saya itu ngga suka seblak dan saya juga bukan pacar Bapak, jadi jangan samain saya sama cewek yang ngambek gara-gara nggak dibeliin seblak sama pacarnya.”
Pak Farhan menganggukkan kepalanya, “Oke, nanti saya catat.”
Sekali lagi, aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran orang satu ini.
“Pak, saya ngga nyuruh Bapak catet apa yang saya omongin, saya cuma pengin Bapak tau apa yang ada di pikiran saya.”
“Setelah kamu ngasih tau apa yang ada di pikiran kamu ke saya, memangnya kamu nggak mau tau juga apa yang ada di pikiran saya?”
Sebenarnya aku mau menjawab tidak, tapi aku bisa membayangkan bagaimana reaksi Pak Bos kalau aku nekat mengambil resiko itu.
“Memangnya apa yang ada di pikiran Bapak?” tanyaku sebatas formalitas.
“Kamu. Kan saya sudah bilang tadi.”
INI BOLEH NGGA, SIH, GUE JUNGKIR BALIK AJA DISINI?!! ATAU KIRIM AJA GUE KE PLUTO SEKALIAN!!
“Bapak bercandanya ga lucu banget. Garing.” Aku mengalihkan pandangan dengan menyibukkan diri menghabiskan semangkuk ikura yang aku pesan tadi.
Setelah hening beberapa lama, Pak Farhan kembali bersuara, kini dia malah sibuk memprotes soal makananku. “Memangnya kamu kenyang cuma makan itu?”
Aku menggumam pelan memberi jawaban.
Pak Farhan memisahkan satu persatu tuna maki dan unagi ke piring lain, lalu menyodorkan padaku. “Makan ini, perut kamu ngga akan kenyang kalo cuma makan itu.”
Aku menggeleng, menyodorkan kembali piring berisi sushi itu ke arahnya. “Saya alergi nori.”
Sekilas aku bisa melihat keterkejutan dari wajah Pak Farhan. Dia kembali memindahkan lagi sushi-sushi itu ke piringnya kemudian mengganti piring yang kosong tadi dengan tamagoyaki.
“Kalau gitu, makan yang ini saja.” Pak Farhan menyodorkan piring berisi tamagoyaki ke arahku. Aku menatap lama ke arahnya, agak ragu menerima piring berisi makanan kesukaannya itu.
“Makan,” titahnya sekali lagi, melenyapkan keraguanku.
Akhirnya tamagoyaki itu habis dalam sekejap di perutku. Ternyata benar, perutku masih belum kenyang hanya makan ikura saja.
“Kamu tuh kalo makan emang suka belepotan gini ya?” Tanpa aba-aba Pak Farhan mengelap sudut bibirku dengan tisu yang disediakan restoran.
Duh, Pak, bisa ngga sih jangan bikin saya senam jantung siang-siang gini?! Sumpah! Jantung gue ini ngga tau diri banget!
Setelah itu Pak Farhan mengajakku pulang tanpa memedulikan perasaanku yang dibuat campur aduk dengan perlakuannya seharian ini. Sampai di parkiran restoran yang cukup luas, aku berhenti mengekori Pak Farhan yang masih tak menyadari ketertinggalanku yang jauh di belakangnya.
“Pak, berhenti!”
Pak Farhan berbalik arah, terkejut mendapati aku yang tertinggal di belakang.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?”
Aku menggeleng. Berjalan maju mendekatinya lalu mengatakan sesuatu yang membuat Pak Farhan membulatkan mata.
“Berhenti, Pak. Tolong berhenti membuat hati saya berdebar.”
**