Hinaan Sifa

1298 Words
Puas menangis, Ayunda pun meletakkan kembali foto itu di atas nakas. Wanita itu perlahan mulai merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sepasang netranya masih belum dapat terpejam. Ia masih menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih atas permintaannya sendiri. Sesekali Ayunda melirik ke arah samping. Biasanya di jam tidur seperti ini, Rudi pasti mendekapnya bahkan menggodanya. Sebuah kecupan manis akan bersarang di kening dan ke sua pipi wanita cantik itu. Tapi kini semuanya berubah. Semakin Ayunda menatap ke arah samping, semakin deras keluar air mata Ayunda. Kini, tidak ada lagi yang mendekapnya, tidak ada lagi yang memberikan kecupan sayang kepadanya, tidak ada lagi kata manja dan tidak ada lagi yang menggodanya khususnya di malam-malam tertentu. Tangisan Ayunda semakin pecah. Wanita itu sesak dan tidak mampu menahan semuanya. Ia sangat merindukan Rudi. Ia sangat merindukan mendiang suaminya. Apalagi semenjak Rudi meninggal, tidak sekali pun keluarga Rudi datang untuk melihat keadaannya. Bahkan tidak ada yang menanyakan kabar Eril dan Nabila. Itu semua semakin membuat Ayunda sedih dan dilema. Lelah menangis, akhirnya Ayunda pun terlelap. Membawanya kesedihannya ke alam mimpi dan berharap ketika bangun nanti, kesedihan itu akan sirna dan berganti sinar kebahagiaan yang tak terhingga. Baru beberapa menit rasanya mata Ayunda tepejam, tiba-tiba wanita itu kembali terjaga. Namun saat ini yang ia rasakan adalah suasana yang sangat berbeda. Ayunda seakan berada di sebuah pantai dengan pasir putih yang indah. Ia mengenakan pakaian pengantin serba putih yang sangat cantik. Di sekelilingnya sebuah dekorasi pernikahan yang didominasi oleh warna putih, tampak sangat mewah dan menawan. Ada sebuah cermin besar tidak jauh dari Ayunda. Wanita berjalan ke sana untuk menghampiri, lalu menatap wajahnya di sana. Cantik, benar-benar sangat cantik dan sempurna. Ayunda bahkan terlihat sepuluh tahu lebih muda dari usia yang seharusnya. Aku di mana? Pikir Ayunda sebab tidak ada siapa pun di sana selain dirinya sendiri. Sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri, ada sebuah pelaminan indah dengan hiasan kelambu berwarna putih. Sungguh luar biasa orang yang sudah mendekorasi tempat itu menjadi sangat istimewa. Kalau saja ada di dunia nyata, pasti bayarannya sangat amat mahal. Ayunda berjalan mendekat ke arah pelaminan. Dua buah kursi cantik berwarna putih bersih berkilauan sangat indah karena di beberapa bagian diberi sentuhan batu permata berwarna putih berning. Batu-batu itu memantulkan sinar berkilauan dari sinar matahari yang mengenainya. Sinar matahari yang terik tapi tidak panas. Ayunda mendekat, menyentuh sandaran tangan yang terbuat dari kayu jati asli yang diukir sedemikian rupa. Di cat dengan warna putih bersih dan diberi sentuhan batu permata. Ini indah sekali ... Siapa yang akan menikah di sini? Kembali Ayunda membatin. Tidak lama, Ayunda melihat ada yang datang ke sana. Seorang pria tampan berjalan di depan dan beberapa lagi mengiringi di belakang. Awalnya Ayunda tidak melihat pasti siapa yang datang, namun lama-kelamaan semakin jelas dan Ayunda seketika mengukir senyum terindahnya. Sosok pria mirip Rudi datang menghampirinya. Ayunda yang tengah diliputi rasa rindu yang berkecamuk, tentu saja sangat bahagia. Ia berjalan mendekat dengan anggunnya. Namun sayang, sekitar tiga meter lagi antara pertemuannya dengan Rudi, salah seorang keluarga Rudi yang sebelumnya mengiringi di belakang, langsung maju dan mencegat langkah kaki kaki Ayunda dan Rudi. “Mas Bram, ada apa?” tanya Ayunda, ramah. Seseorang lagi maju, ia adalah adik Rudi. Namanya Sifa yang saat ini berusia tiga puluh satu tahun. Satu tahun di atas Ayunda. “Kamu tanya ada apa? Kami yang harusnya bertanya, mengapa ada kamu di sini? Seharusnya yang menikah dengan mas Rudi itu bukan kamu, tapi Nara. Mas Rudi ingin menikah dengan Nara bukan kamu. Dasar wanita kampung tidak tahu diri!” Sifa mendengus kesal seraya meludah di depan Ayunda. Rudi hanya diam saja menatap Ayunda tanpa berbuat apa-apa untuk membelanya. “Menikah? Dengan Nara? Apa maksudnya? Aku itu sudah menikah dengan mas Rudi, bahkan kami sudah punya dua orang anak dari pernikahan kami.” “Menikah dengan mas Rudi? Hahaha, jangan mimpi kamu Ayunda!” PLAK!! Sebuah tamparan melayang ke pipi Ayunda. Sifa yang sudah menamparnya. Ayunda langsung memegang pipinya yang panas. Ia menoleh ke arah Rudi dan berharap suaminya itu akan membelanya seperti yang selama ini ia lakukan semasa hidupnya. Tapi sayangnya, harapan Ayunda hanya tinggal harapan saja. Rudi sama sekali tidak bergeming. Ia hanya diam membeku bagai patung. “Mas, kenapa kamu diam saja ketika aku dipukul sama Sifa?” lirih Ayunda memelas. Ke dua netranya mulai berkaca-kaca. Rudi tetap saja diam tanpa mau melakukan apa-apa. Tatapan wajahnya tampak datar tanpa ekspresi. “Kamu itu harusnya sadar, Ayunda! Mas Rudi itu cintanya sama Nara bukan kamu. Nara adalah wanita yang pantas untuk menjadi pendamping hidup mas Rudi. Ia cantik, kaya raya, modis dan yang pasti ia punya pekerjaan yang baik. Bukan wanita kampung yang bisanya cuma masak dan nyuci di dapur!” Lagi-lagi Sifa melontarkan hinaan pedas ke telinga Ayunda. Tangisan Ayunda pun akhirnya pecah. Wanita itu tidak sanggup membendung hinaan yang terlalu menyakitkan telinganya. Dari dulu, ia selalu dibanding-bandingkan dengan Nara. Wanita cantik dan seksi yang bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Dulunya Nara adalah seorang pramugari, tapi kini ia sudah dipindahkan ke bagian kantor. Bahkan sampai saat ini, Nara masih belum juga menikah. Isu yang beredar mengatakan jika Nara suka berganti pasangan dan malas terikat sebuah pernikahan. “Jangan bandingkan aku lagi dengan Nara, Sifa.” Suara Ayunda bergetar karena sesak di dadanya dan air mata yang sudah tumpah ruah. “Kenapa? Malu? Merasa tidak pantas? Merasa hina? Kenyataannya kamu itu memang pantas untuk di hina. Kamu lihat sendiri’kan, mas Rudi saja tidak bergeming. Itu artinya kamu memang pantas untuk dihina, cuih!” Lagi-lagi Sifa melempar ludah ke hadapan Ayunda. Tanpa disangka, seorang pria datang dan langsung mendekap Ayunda dari samping. Melindungi Ayunda hingga ludah itu tidak mengenai tubuh ataupun pakaiannya. “CUKUP!! Jangan hina Ayunda lagi. Kalian sama sekali tidak pantas menghinanya karena kalian’lah yang lebih hina dari yang paling hina!” Pria itu tampak sangat murka. “Mas Rei? Ada urusan apa kamu sama Ayunda? Bukankah kamu itu suaminya mbak Nela? Jangan-jangan wanita p*****r ini sudah menggoda kamu juga?!” “CUKUP, SIFA!! KAMU SUDAH KETERLALUAN MENGHINAKU!! Apa kamu bisa membuktikan ucapanmu?” Suara Ayunda bergetar hebat karena ia benar-benar sangat marah kali ini. “Mau bukti apa lagi, ha? Sudah jelas sekarang kamu dibela dan dipeluk oleh suami orang dan kamu diam saja tanpa memberontak? Itu artinya apa? Kamu mau jadi perebut suami orang? Kata apa yang pantas untuk seorang wanita perebut suami orang selain kata pelcur!! Cepat katakan padaku!” Ayunda mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan telunjuk kanan itu ke arah Sifa. Ia benar-benar sangat marah, tapi tidak mampu berkata apa-apa. Apa yang dituduhkan Sifa kepadanya tidak sepenuhnya salah karena saat ini Reindra baru saja melamarnya. “Kenapa kamu diam saja?” “Aku bukan perebut suami orang!” lirih Ayunda dengan suara bergetar hebat. “Oiya? Terus laki-laki yang disampingmu itu siapa? Duda? Atau bujang lapuk?” “Aku bukan perebut suami orang.” Lagi-lagi kata itu keluar dari bibir Ayunda. “Oiya ... Kamu memang bukan perebut suami orang, tapi kamu hanya mengambil suami orang. Menikmati hartanya dan sebentar lagi akan menikmati tubuhnya juga. Owwhh ... ternyata suami orang begitu menggoda ya, hahaha ....” Sifa semakin menjadi menhina Ayunda. “Aku bukan perebut suami orang ... Aku bukan perebut suami orang ... aku bukan perebut suami orang ....” Ayunda terus saja bergumam hingga tiba-tiba ... “AKU BUKAN—.” Ayunda nyaris berteriak tapi tidak melanjutkan ucapannya. Tubuhnya berkeringat sembari terduduk di atas ranjang. Ternyata ibu dari Eril dan Nabila itu tengah bermimpi. Mimpi buruk yang kini sangat menyiksa batinnya. Ayunda seakan berada di ujung jurang kehidupan. Ayunda segera meraih gelas dan teko yang memang sudah tersedia di atas nakas. Wanita itu menuang air dari dalam teko ke dalam gelas hingga penuh lalu menenggaknya hingga habis. Air matanya kembali mengalir dan tangannya bergetar ketika memegang gelas kosong yang isinya sudah ia tenggak semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD