Gadis Matahari

1729 Words
Setelah adu mulut singkat, antara dirinya dan Senandung Arimbi. Pria pemilik rahang tegas itu memilih untuk berdiri di balkon kamar hotel. Wajah angkuhnya sedikit berkerut tatkala memikirkan kalimat menyedihkan yang keluar dari bibir Sena. Gadis itu sangat mirip dengan gadis kecil impiannya yang selalu ingin ia jaga hingga dewasa. Nena Widuri, nama teman semasa kecil itu telah melekat kuat di ingatan Raden Wibowo. Meskipun mereka tidak lagi pernah bertemu, tetapi hati itu telah menyatu. Lelah, Raden membuang napas dalam. Di dunia ini hanya gadis tersebut sajalah yang ia inginkan. Tetapi, tidak ada satu pun yang mengerti dan menganggapnya sebagai laki-laki dewasa nan salah arah (Melenceng). Padahal, Raden hanya ingin menebus janji manisnya kepada Nena yang sudah membuatnya kuat dan berani menatap dunia. Sebab, karena buah ucapan cerdas dari bibir ranum gadis cilik itu, ia mampu keluar dari bingkai diri yang dulu sempat menjerat dan mengungkungnya. Iya, cerita mereka dimulai tujuh belas tahun yang lalu. Raden yang biasa hidup serba kecukupan dan manja, selalu mendapatkan apa yang ia idamkan. Bahkan, dirinya suka keterlaluan dan sulit untuk mengontrol keinginannya. Termasuk tentang semangat makan yang membabi-buta. Gara-gara hal itu, ia tumbuh sebagai bocah obesitas dan kerap kali menjadi bulan-bulanan teman sekolah, bahkan anggota keluarga yang lainnya. Hari itu, Raden pulang dalam keadaan babak belur dan terluka. Ia mendapatkan bully dari teman-teman di sekolahnya, hingga trauma melanda. Orang tua Raden yang menyadari hal tersebut, memutuskan untuk membawa putranya berlibur di desa. Jaraknya cukup jauh, sekitar sepuluh jam perjalanan dari rumah mereka. Awalnya, di sana ia masih saja menyendiri dan hanya berteman dengan makanan. Bahkan, Raden pernah berniat untuk mengakhiri hidup karena bayang-bayang hinaan dan cacian dari orang-orang di sekelilingnya, terus saja terngiang-ngiang di telinga. Meskipun ia telah menutup kedua lubang telinganya, tetapi irisan irama dari suara-suara tersebut, masih mengutuknya. Hingga suatu sore, Raden bertemu dengan Nena secara tak sengaja. Waktu itu, ia yang sedang berjalan di tepi sawah, terperosok jatuh ke parit yang cukup dalam. Karena hari sudah mulai gelap dan memang dirinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang lain selain adik, mama, dan juga papanya, Raden lebih memilih untuk bungkam, serta berusaha sendiri. Namun sayang, bokoong besarnya sangat sulit untuk diangkat. Di dalam keputusasaan, Raden yang masih bocah tersebut menangis dengan suara yang tipis. Tak lama, wajah lugu dengan senyum manis terlihat di sampingnya dan itu sangat membuat Raden terkejut. "Kamu, siapa kamu?" tanya Raden sambil mencengkram sisi depan bajunya. Gadis lucu itu tersenyum manis. "Aku Nena. Kamu?" Mata Raden terbuka lebar, dan membulat. Rasa cemas dan takutnya pun seketika menghilang. "Ra-Raden," jawabnya dengan suara yang terbata-bata. "Nama yang keren," pujinya masih tersenyum ramah. "Raden itu raja, bukan?" tanyanya dengan gaya yang khas. "Itu ... ." Nena memiringkan wajahnya, menatap dengan seksama. "Ah, aku rasa tidak. Mana ada raja main di selokan. Hahahaha." "Emmh ... ," gumam Raden ingin menjawab, tetapi ia tidak mampu. Sebab, baru kali ini ada seseorang yang bersedia bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama dengan dirinya, tanpa tatapan jijik dan mengejek. "Sebaiknya kita naik sekarang! Soalnya sawah akan segera diairi, dan kita bisa tenggelam di sini. Atau kedinginan, aku tidak mau itu," kata Nena tampak sangat paham situasi di lahan sawah penduduk desa ini. "Ayo!" ajaknya sambil menatap hangat. Mata Raden bergetar, dan langsung berkaca-kaca. "Aku sudah mencobanya, tapi tidak bisa," katanya sambil menahan air bening di wajahnya. "Tenang saja, Kak! Aku akan membantumu, bagaimana?" Raden menatap tubuh mungil Nena dari ujung rambut hingga ujung kakinya. "Mana mungkin," timpalnya tak percaya. "Waaah." Mulut Nena membentuk huruf O. "Jangan mengejekku ya, Kak! Badanku saja yang kecil, tapi tenagaku besar," tukas gadis kecil itu sambil melipat dahi dan mengangkat kedua tangannya persis seperti seorang binaragawan profesional. "Jangan marah kepadaku!" pinta Raden yang sangat takut akan ekspresi wajah semacam itu. "Kalau begitu, jangan melawan kepadaku!" saran Nena. "Ayo kita coba!" "I-iya. Tapi ... bagaimana?" "Sebentar!" Nena meletakkan jari telunjuk tangan kanannya di sisi kanan, menunjuk ke langit. Lampu ide pun langsung muncul dan menyala. Hingga membuat bibir mungil itu merekah. "Aha! Mari kita coba," ucapnya penuh percaya diri, sambil memanjat tanah licin yang ada di hadapannya. Nena berhasil sampai ke atas. Tawanya pun melebar saat mengintip Raden yang berusaha untuk menjijitkan kakinya. "Sudah siap?" tanya Nena dengan mata yang terbuka lebar. "Iya," jawab Raden dengan satu anggukan. Nena memberikan papan susun cukup tebal yang baru saja pamannya buatkan siang tadi, untuk menyusun hasil panen. "Ayo, Kak!" Raden berdiri di atas papan tersebut, dan lehernya sudah sejajar dengan rerumputan di tepi parit nan dalam tersebut. Setelah itu, Nena memberikan kedua tangannya sebagai pegangan. Sekuat tenaga, gadis bertubuh mungil itu menarik Raden yang berat tubuhnya empat kali lipat dari pada dirinya. "Ayooo!" pekik Nena sambil memberikan semangat dan wajahnya semakin memerah karena beban yang ia rasa. Melihat Nena sedemikian semangat dan peduli terhadap dirinya, Raden pun mengumpulkan tenaga dan berhasil keluar dari parit tersebut. Di atas rerumputan, keduanya terkakak lebar sambil menatap, dan dilanjutkan dengan tertawa bersama. Seumur hidup, baru kali ini Raden merasa dipedulikan dan ia ingin membalas kebaikan Nena untuknya. "Terima kasih ya, Nena!" "Emh," sahut gadis bermata cerah itu sambil menganggukkan kepala. "Ayo kita pulang!" "Iya, baiklah," jawab Raden. "Besok, apa kita akan bertemu lagi?" "Tentu saja," sahut Nena yang tampak kotor karena tanah kuning nan basah. "Rumahku di sebelah sana!" "Emmm, aku baru si desa ini. Jadi, nggak tahu banyak." "Kalau begitu, biar aku yang menjemput Kakak. Tunggu saja ya, besok sore." "Baiklah, terima kasih ya." "Sama-sama, Kak." Sejak saat itu, Raden dan Nena berteman sangat baik. Nena menjadi sumber tawa bagi Raden dan bocah laki-laki itu merasa hidupnya kembali. Ia pun melupakan banyak intimidasi untuknya yang datang selama ini, sambil berjanji di dalam hati. 'Nena ... suatu saat nanti, aku akan menjadi pria yang hebat untukmu.' Kata Raden kecil, tanpa suara. Satu bulan berlalu, waktu liburan pun telah usai. Pagi ini, Raden bersiap untuk kembali ke kota. Baginya, hari ini adalah waktu yang sangat sulit. Sebab, hatinya yang penuh kebahagiaan beberapa minggu terakhir, memang karena Nena. Tetapi sayangnya, ia harus kembali ke tempat asal dan meninggalkan gadis mataharinya. "Raden! Ayo, Sayang!" "Sebentar, Ma!" kata Raden yang masih memperhatikan arah di mana Nena sering datang untuk menjemputnya bermain. "Oke, tiga puluh menit lagi," ujar sang mama yang ingin memelihara senyum putranya. Namun setelah waktu itu, Nena belum juga muncul di hadapan Raden. Sedih, hanya satu kata yang dapat menggambarkan perasaannya saat ini. Bahkan kepalanya terus saja menunduk, dan terlihat tidak bersemangat. "Raden! Nanti kita terlambat, Sayang. Kasihan papamu." Sang mama memanggil dan mengajak sekali lagi. "Iya, Ma," jawab Raden dengan kepala semakin tertunduk, hingga ujung dagunya menyatu dengan d**a bagian atas. Kemudian ia melangkah dengan gaya yang malas. "Lain waktu, kita akan kembali ke sini lagi. Sekarang kita pulang dulu ya! Pasang sabuk pengamanmu!" bujuk nyonya Mila sembari mengusap rambut putra kesayangannya. "Emh," jawab Raden terdengar pasrah. Iya, Raden adalah anak yang sangat baik dan tidak pernah membantah ucapan mamanya. Terkadang, ia menyembunyikan rasa sakit akibat pukulan dari beberapa teman sekolah, demi menjaga air mata sang mama. Begitu besar rasa cinta kepada mamanya, membuat nyonya Mila juga selalu memperhatikan putra sulungnya tersebut. Tak lama, mobil mewah milik keluarga terpandang ini mulai melaju. Kecepatan yang digunakan masih rendah. Pada saat yang sama, Nena muncul bersama raut wajah sedih, sama dengan Raden. "Kakaaak!" teriak Nena sambil mengayuh sepedanya sangat kuat. "Kak Radeeen!" pekiknya dengan pipi yang telah basah. Bulir-bulir air mata itu menetes deras, Nena merasa tak mungkin dapat menjangkau Raden, dan menyerahkan selembar surat, serta sekotak hadiah yang sudah ia persiapkan sejak semalam. Hingga akhirnya gadis itu semakin kuat mengayuh sepedanya dan berhasil mencuri perhatian dari sopir yang membawa Raden, berikut keluarganya. "Itu gadis yang Aden tunggu, bukan?" Sontak, Raden langsung memutar badannya. Benar saja Nena tengah berjuang untuk mengejarnya. Pada saat yang bersamaan, sopir memberi kode dengan menghidupkan lampu kiri dan Nena pun mengurangi kecepatan sepedanya. Raden turun dari mobil. Wajahnya kembali cerah. "Terima kasih," ucapnya sambil menatap mata gadis kecil kesayangannya. "Terima kasih." "Ini, buat Kakak." Nena menyerahkan sekotak hadiah untuk Raden. "Jangan lupakan aku ya, Kakak Panda!" Nena memaksakan senyumnya, sesaat setelah menyeka air mata. "Baiklah, Gadis Matahari." Raden tak mampu berkata banyak. "Ini, untukmu," katanya sambil melepaskan kalung yang telah ia kenakan sejak bayi. Sebuah kalung emas putih kesayangannya, pemberian dari nyonya Mila. "Jangan, Kak! Ini pasti sangat mahal," tolak Nena dengan senyum santun, sambil mendorong perhiasan mewah tersebut. "Tidak apa-apa, Sayang!" timpal nyonya Mila dari jarak yang cukup jauh. "Itu pertanda jika Raden sangat menyayangimu." Mata Nena membulat dan terbuka lebar. Jarak usia keduanya tidak terlalu jauh. Tetapi Nena memiliki postur tubuh yang mungil, hingga keduanya tampak seperti berjarak lebih dari lima tahun. Raden memberanikan diri untuk memeluk. "Terima kasih, Nena!" "Kakak ... ." Nena menghisap air hidungnya. "Selamat tinggal!" Raden mulai menjauh. Nena menunduk, bulir-bulir air matanya menetes seperti hujan dari langit yang membasahi bumi. Kali ini, dialah yang tak mampu untuk berkata apa-apa lagi. Tetapi, getaran di tubuh mungilnya itu, membuat Raden sadar bahwa gadis ini sama sedihnya dengan dirinya. Raden kembali ke dalam mobilnya, lalu membuka jendela. "Aku akan kembali lagi, Nena. Jaga dirimu baik-baik, ya! Dadaaa ... !" pekik Raden sekuat tenaga. Gadis kecil itu benar-benar tak mampu untuk menjawabnya. Ia hanya menangis dan menangis tanpa suara. Sejak saat itu, kedua bocah yang saling menyayangi ini tak pernah lagi berjumpa. Meskipun Raden kembali untuk mencarinya, tetapi Nena tetap tidak pernah ditemukan. Tanpa diketahui oleh banyak orang, seseorang di desa yang sudah sejak lama ingin menguasai tanah milik keluarga Nena, telah merancang pembunuhan mereka semua. Malam itu, pembantaian terjadi dan hanya menyisakan rumah semi permanen milik keluarga tersebut, seolah penghuninya telah pindah ke tempat lain secara diam-diam. Bayang-bayang gadis pemilik wajah cerah bak semburat matahari itu, selalu bersemayam di hati Raden. Hingga detik ini, rasa sayangnya terus bertumbuh sebagai cinta. Baginya, hanya Nena saja, pusat pencarian dan hidupnya. Satu-satunya wanita yang ingin ia nikahi dan diajak bermain sepanjang usia. "Nena, di mana kamu? Aku masih mencarimu," gumam Raden dan matanya langsung berkaca-kaca. "Apa kamu sudah menemukan laki-laki yang tepat? Tidak apa, asalkan memberikanku kabar. Jangan seperti ini!" Bulir-bulir pria dingin yang selalu dijuluki kutub utara tersebut menetes, memperlihatkan kelemahan hatinya. Entah berapa banyak kesedihan yang ia telan sendiri selama ini, hanya untuk mencari cinta pertama yang telah membawa hatinya sejak lama. Ia sadar, mungkin semuanya salah atau Nena telah memiliki cinta yang lain. Tetapi di sisi lain, jiwanya baru bisa tenang ketika sudah bertemu dengan gadis mataharinya, walau hanya sekali saja. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD