Terlalu Menyakitkan

1058 Words
"Jika zat terlarut bersifat non-volatil  tekanan uap dari larutan akan selalu lebih rendah dari tekanan uap pelarut murni yang volatil. Secara ideal, tekanan uap dari pelarut volatil di atas larutan yang mengandung zat terlarut non-volatil berbanding lurus terhadap konsentrasi pelarut dalam larutan." Jelas seorang guru yang sedang menjelaskan di depan membuat para murid tergerak mencatat sesuai yang dijelaskan. Berbeda dengan murid lainnya. Seorang pemuda yang duduk di meja pojok depan hanya mendengarkan dengan merekam apa-apa yang gurunya jelaskan. Tatapannya kosong entah berpusat ke arah mana. Hanya bisa memdengarkan tanpa bisa melihat bagaimana rupa gurunya yang sedang menjelaskan materi sekarang. Bagaimana wajah teman-temannya yang sedang serius mencatat materi. Pemuda itu ingin tahu. "Oke. Setelah itu, kerjaan soal di atas ya. Jangan lupa kumpulin minggu depan," kata sang guru membuat beberapa muridnya menghela kasar merasa tidak terima. Apalagi tugasnya yang beranak pinak. Membuat otak mumet dan menghilang dari tempat bersemayamnya. "Oh iya Syahir. Ibu sudah kirim rekaman materi ibu yang tadi ya, sama soalnya juga." Katanya dengan tersenyum hangat membuat pemuda jangkung bernama Syahir Reswara itu mengangguk paham. Teman-teman sekelasnya menggerutu dengan mencibir terang-terangan ke arah Syahir. Sama sekali tidak suka dengan keberadaan pemuda itu. Guru kimia sekaligus wali kelas merekapun terlihat melangkah keluar meninggalkan kelas dengan menyempatkan menutup pintu kelas rapat. "Gue juga mau kali ya jadi buta biar di anak emaskan gini." "Pura-pura buta aja. Biar tiap saat dibantuin pas ada tugas," "Emang kenapa gak sekolah di sekolah khusus aja sih? Nyusahin banget elah." "Biar dikasihanin tuh. Guru-gurukan paling gak tega sama yang begini-gini. Licik banget otaknya," "Yang buta begini tuh gak pantes sekolah. Mendingan di lampu merah aja, pasti lumayan penghasilannya." Syahir mengigit rahangnya kuat. Berusaha tidak menghiraukan cemohan teman sekelasnya. Pemuda itu sudah kebal mendengarkan kalimat-kalimat tidak berperasaan itu. Namun, meski sering ia dengar tetap saja masih terasa menyakitkan. Syahir beranjak dari tempat duduknya lalu membereskan ponselnya dan memasukannya ke dalam ransel dengan meraba-raba mejanya membuat ketiga pemuda di belakang mejanya mentertawainya. Syahir memasukan tangannya mengambil tongkatnya lalu menghentakannya. Pemuda itu pun melangkah keluar dengan menggerakan tongkatnya membuat benda panjang dengan tali di ujungnya itu mengeluarkan suara seperti ketukan. "Berisik lo buta!" Ujar salah satu dari tiga anak tadi dengan mencekal tongkat Syahir membuat pemuda itu tersungkur ke lantai dengan kuatnya. Beberapa murid yang berlalu-lalang sontak tergelak merasa lucu dengan kejadian di koridor kelas XII MIA 2 itu. Tidak ada yang berniat menolong. Hanya menjadi penonton. Syahir mengepalkan tangannya berusaha untuk lebih kuat. Pemuda itu tidak menyangka, ternyata orang-orang bisa semenakutkan ini. Syahir masih meraba-raba, mencari tongkatnya yang terlempar. Pemuda itu pun perlahan maju sampai ke ujung koridor hampir menubruk pilar di hadapannya. Namun, sebuah tangan menarik lengannya lebih dulu membuat ia terseok pasrah. "Belum pulang?" Ujar sosok itu walau merunduk dan menjulurakan tangan menyodorkan tongkat pad Syahir. "Ini mau pulang." Balas Syahir dengan tersenyum samar membuat pemuda di sampingnya itu menyenggol lengannya pelan. "Elo kerja kan siang ini?" Tanyanya sembari berjalan beriringan dengan temannya itu walau sesekali memperhatikan tongkat Syahir agar tidak salah arah. "Kan kita shift bareng siang ini." "Ck. Benar juga, padahal gue mau ke perpustakaan kota. Tapi karena ada shift yaudahlah, lagian cuma sampe jam 7-an kerjanya." Katanya pelan membuat Syahir mengangguk saja. Keduanya pun kembali melangkah tenang tanpa banyak bicara lagi. Syahir masih fokus dengan jalannya sedangkan pemuda di sampingnya hanya bersiul lirih tanpa beban seakan Syahir teman normalnya. "Leo." Panggil Syahir membuat pemuda bernama Leo Gabriell itu menolehkan kepala sembari membuka pintu kafe tempat mereka bekerja. "Kenapa?" "Tugas kimia udah lo kerjain belum. Gue masih belum paham yang nomor dua bagian a nya." Kata Syahir dengan meringis kecil. "Elah. Pake rumus yang pertama, sebentar dah gue jelasin. Kita kerja dulu," balas Leo membuat Syahir tersenyum lega. Leo Gabriell adalah satu-satunya teman bagi Syahir. Yang selalu menjaga dan perhatian padanya namun tidak kentara. Pemuda itu kelihatan cuek tapi nyatanya paling peduli. Itu yang membuat Syahir nyaman berteman dengan teman satu sekolahannya itu. "Gue yang di depan ya. Elo yang jaga kasir." "Kan gue di dinning hari ini." Leo berdecak sebal dengan menarik tubuh Syahir ke depan monitor. "Gue akhir-akhir ini jarang gerak. Makanya mau di depan aja, elo yang di kasir oke? Jangan ngebantah." Tegasnya lalu melangkah ke depan dengan menyempatkan mengijat approan cokelat miliknya. "Oke." Syahir menghela pelan lalu menggerakan tangannya ke layar. Menghidupkan monitor miliknya. Pemuda itu sudah setahun lamanya bekerja di kafe Hanseng itu bersamaan dengan Leo. Cuma kafe disana yang mau menerima kerja, selain itu menolaknya mentah-mentah. Selain karena masih dibawah umur, alasannya karena ia berbeda dengan orang kebanyakan. Pintu masuk terbuka membuat Syahir sontak tersenyum walau tidak tahu custumernya sudah didepannya atau belum. Leo yang masih melap meja dan kursi hanya melirik kecil dua cewek yang masih berseragam sekolah itu lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. "Ganteng anjir, kasirnya." "Minta nomornya nyet." Bisik keduanya heboh dengan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Mau pesan apa mbak?" "Boleh pesan nomor masnya aja nggak?" Ujarnya membuat temannya terkikik geli dengan memukul-mukul lengannya gemas. "Maaf mbak. Gak bisa," balas Syahir berusaha ramah membuat keduanya melemaskan bahu kecewa. "Yaudah mas, pesan milk shake vanilla nya dua mas sama kentang goreng largenya satu." Tuturnya judes, Syahir mengangguk dengan menekan-nekan monitor menuliskan pesanan keduanya. "Mau bayarnya pake debit atau tunai?" "Debit ae, mas." Balasnya lalu menyodorkan atm miliknya. Syahir mengerjap dengan mengangkat kedua tangannya dengan meraba-raba udara di atas monitornya berusaha mencari letak atm yang gadis itu sodorkan. Kedua remaja di hadapannya tersentak kaget lalu berbisik. "Buta anjir." "Buta tapi ganteng," "Enggak. Si buta dari goa hantu hahahah." Gelak keduanya membuat Syahir menipiskan bibir. "Mas gak jadi pesan deh mas, nanti aja." Balas keduanya lalu melangkah keluar meninggalkan Syahir yang diam-diam menelan salivanya kasar. Merasa tenggorokannya kering. Leo yang sedari tadi memperhatikan dari jauh jadi menghela kasar lalu mendekat ke konter. "Sholat sana. Gue yang jaga kasir dulu," katanya membuat Syahir mengangguk lalu melangkah ke belakang meninggalkan area kasir. Leo menggelengkan kepalanya heran dengan mendengus kasar. Terlalu kesal dengan ulah orang-orang. Pintu masuk kembali terbuka membuat Leo menyambut dua orang itu dengan ramah. "Kenapa harus ke kafe ini sih. Katanya lo mau nemanin gue latihan basket," "Elo itu latihan mulu tapi gak pintar-pintar mainnya." "Ck. Elomah selalu gitu," "Diem gak." Kesal gadis itu lalu tersenyum ke arah Leo. "Mas disini masih terima karyawan gak?" "Kurang tahu, mbak. Manager saya gak masuk hari ini." "Yaaa, gimana kalau saya titip nomor hape saya mas. Nanti kalau managernya udah masuk tolong tanyain ya masih ada lowongan apa enggak." Cerocosnya membuat Leo mengangguk saja. "Minta kertasnya mas." Tambahnya lalu menuliskan nomornya dengan tersenyum lebar. Leo sekilas merunduk membaca deretan angka-angka itu. "Nama mbaknya siapa?" "Erisa, Erisa Vailyn."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD