Tetap Bertahan

1008 Words
Erisa merunduk dalam dengan menarik tangannya yang memegang lengan pemuda di hadapannya kini yang hanya diam tanpa sepatah kata. Gadis itu tersenyum miris, merasa tidak ada harapan lagi untuk hubungan keduanya. Apalagi Syahir seakan memberi batasan yang tidak mampu Erisa terobos. Seperti ada tembok besar nan tinggi yang memisahkan keduanya. Terlalu sulit dilewati. Erisa menggigit bibir dengan memandang lurus Syahir yang seakan tidak peduli dengan rengekannya sedari tadi. Pemuda itu benar-benar sudah membulatkan tekad kalau hubungan yang tidak terarah ini harus berakhir. Walau Erisa merutuk dalam hati mendadak geram dengan pelakuan Syahir yang seenaknya. Bukannya kalau orang yang setia pasti akan mencari alasan untuk bertahan. Begitu pula yang berniat sementara, pasti akan mencari alasan untuk meninggalkan. Apakah Syahir termasuk yang sementara? Selalu mencari alasan untuk meninggalkannya dan memutuskan hubungan keduanya. Hanya karena beberapa alasan sepele yang membuat pemuda itu memberi batasan. Beda keyakinan. Siapa yang peduli kalau Syahir muslim dan Erisa katholik? Tidak ada yang melarang dua insan jatuh cinta hanya karena perbedaan keyakinankan? Hanya beda tempat ibadah dan beda tuhan yang harus mereka sembah. Mereka tetap bisa melakukan ibadah tanpa harus meninggalkan satu sama lain. Apa yang mmembuat Syahirr sebenarnya sampai berpikiran pendek begini. Erisa menarik nafas dalam dengan mendongak menatap Syahir yang masih berdiri terdiam di hadapannya. "Kita cuma beda keyakinan kan? Elo masih bisa sholat, dan gue masih bisa ibadah seperti biasa kan? Gak ada salahnya Syahir. Elo terlalu berlebihan menanggapi soal ini." Tuturnya mengutarakan opininya membuat Syahir menghela panjang. "Beda keyakinan bukan hal yang sepele. Ini bukan cuma soal gue dan lo, ini juga tentang tuhan kita. Gimana kita mau hidup bersama kalau tuhan yang kita sembah aja beda?" Blas Syahir telak . "Gue orang yang paling menentang hubungan beda keyakinan. Gue tahu dulu gue terlalu buat lo berharap sampai kita berdua punya rasa yang sama. Dan bodohnya kita mengesampingkan perbedaan besar ini," Ujar Syahir dengan menarik nafas panjang. "Tujuan hidup kita berbeda, tuhan kita sama tapi kitanya yang beda, tempat ibadah kita juga beda. Dan lo tahu..... cara kita berdoa aja beda. Elo mengepalkan tangan sedangkan gue membuka lebar tangan gue . Gak ada sama sekali alasan buat kita sama-sama."Tambah cowok itu dengan menelan salivanya kasar merasa tenggorokannya mendadak kering. "Gue minta maaf, gue harap lo tetap bahagia." Erisa yang sedari tadi berdiri dengan mata memanas perlahan terisak tertahan dengan berusaha menggigit bibirnya agar tidak menangis keras sekarang. Tidak ingin terlihat lemah di depan pemuda ini. Erisa memukul dadanya pelan merasa sesak sekaligus perih entah asalnya dimana. Terlalu menyesakkan sampai gadis itu terbatuk kecil dengan menutup kedua matanya dengan lengan kanan. Menangis tanpa suara di depan seseorang yang juga diam-diam mendongak menatap langit berusaha menarik bulir hangat pada kelopak matanya. "Elo pantas bahagia, Er. Yang pasti bukan sama gue." Tutur pemuda tuna netra itu lalu berbalik pergi dengan langkah ringannya. Walau tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Namun, Syahir harus tetap tegas dengan pilihannya agar Erisa tidak merasa diberi harapan lagi. Syahir menghela kasar dengan berusaha tegar walau terasa hatinya dipatahkan. Bukan hanya Syahir, tapi Erisa juga. Keduanya harus menelan pahit perbedaan yang tidak bisa disatukan. Seperti halnya air dan minyak yang sulit bertemu. Tidak ada satupun alasan mereka bisa hidup bersama. Karena pada dasarnya gereja tidak akan bisa menjadi masjid. Begitupun tanda salip yang tidak bisa menjadi tasbih. Erisa masih sesegukan ditempatnya berdiri. Bahkan, air matanya kembali mengalir dengan derasnya. Gadis itu menangis tersedu sendirian dengan perasaan sesaknya. Perlahan ia merosot dan duduk di tanah kering itu dengan menutup mata basahnya dengan telapak tangan. Melepaskan semua isaknya yang gadis itu tahan sedari tadi. Bahunya naik turun masih merasa perih dengan kebenaran yang Syahir lontarkan. Hujan perlahan turun dengan derasnya membuat gadis itu makin memeluk diri dengan masih menangis. Erisa yang biasanya terlihat kuat dan bar-bar kini menjadi lemah dengan air matanya. Siapa yang tidak merasa terluka kalau harus berpisah dengan orang yang disayangnya. Apalagi orang yang selama ini Erisa harapkan kehadirannya. Erisa menggigil kedinginan dengan masih sesegukan di tenggah derasnya hujan. Gadis yang menguncir rambut panjangnya itu perlahan mengangkat wajah saat seseorang datang dengan melinduginya dengan payungnya. Pemuda di depannya itu berdecak kasar lalu berjongkok dengan memandang lurus Erisa yang masih sesegukan. "Kenapa lo jadi cengeng begini?" ujarnya dengan menjulurkan tangan mengusap pipi sembab Erisa dengan ibu jarinya. "jangan pernah ngemis-ngemis lagi sama dia, elo pantas bahagia tanpa si b******k itu." Ujar pemuda itu dengan dendamnya , Erisa hanya terdiam tidak ada tenaga lagi untuk berbicara atau sekedar menanggapi omongan cowok di depannya itu. "Emang gue kurang apa dibanding dia? Gue janji, gue bakalan bahagiain lo, Erisa." Lanjutnya dengan menarik nafas panjang karena gadis depannya hanya terdiam, mengatupkan bibirnya rapat. "Elo harus berhenti suka sama dia, berhenti nyakitin diri lo kayak gini. Elo nolak gue yang tulus cuma buat cowok b******k yang selalu nolak lo itu?" "Syahir gak brengsek." Katanya tegas dengan beranjak berdiri membuat Angga sontak berdiri. "Erisa, berhenti bersikap bodoh. Elo berhak bahagia kan, elo gak lihat dia ninggalin lo disini tanpa perasaan. Apalagi yang lo harepin?" "Gue...... terlanjur sayang sama Syahir," balas Erisa tegas membuat Angga menggigit rahangnya kasar. "Gue harus tetap bertahan buat dia, meski ada banyak alasan gue buat mundur." Katanya dengan mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan, "Gue bakalan tetap perjuangin Syahir, biar dia tahu kalau gue gak main-main sama perasaan gue." Erlangga berdecak kasar dengan melempar payungnya sarkas lalu maju dan memegang kedua bahu Erisa, mencengkramnya erat. "Cinta memang butuh perjuangan, tapi tolong pakai otak, untuk apa lo perjuangin orang yang sama sekali gak harepin perjuangan lo?" "Jangan berbicara seakan lo kenal Syahir, gue yakin dia bicara kayak gitu cuma karena emang Lelah aja." Ujarnya berusa menghibur diri sendiri, "gue bakalan tetap buktin ke dia kalau kita ditakirkan buat bersama." "Erisa." "Elo harus bantuin gue," katanya membuat Erlangga menghela kasar, "antarin gue besok ke masjid," ujar Erisa dengan ekspresi serius membuat temannya menaikan alis tinggi. "Mau ngapain?!" Balas Erlangga setengah mendengus kasar, Erisa terdiam beberapa saat kemudian menolehkan kepala, menganggukan kepala yakin kemudian mengepalkan tangan menyemangati diri sendiri. "Jadi mualaf," lanjutnya tanpa beban seakan apa yang barusan ia katakan adalah hal biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD