Raila - 2

1224 Words
Kring....!!! Busyet eh busyet! Nih jam kok nyaring banget sih? Mata gue masih sedikit lengket, saat berusaha membuka mata buat matiin jam, kaget bukan main. Apa?! Jam 07.00?! Gawat, gawat! Setengah berlari gue pontang-panting ke kamar mandi. Mandi air dingin. Apa mau dikata, mau pake air hangat pasti gak keburu. Masak air kan butuh waktu 15 menit! Beruntung gue lagi haid, jadi gak sholat. Coba aja kalo gak lagi dapet, sholat apaan jam segini, alamat dapet tiket malaikat malik tuh! Serem gue! Dengan tergesa-gesa gue buka lemari, halah, gak ada yang disetrika lagi! Ah, gue ingat sekarang! Libur gue kemarin habis sama Nenek Si Bos, mana udah siang gini lagi! Udahlah, gak disetrika juga tak apa. Yang penting pake baju, ya kan? Apalagi status gue sekarang sekretaris. Well, sekretaris seksi aja digodain apalagi gak pake baju, kebayang gak sih lo? Mwehehe. Gue menyambar tas pemberian Vira. Yah, gue gak punya tas bagus. Bukan gak mau beli, cuma ya tas cewek tuh mahal. Yang kecil aja harganya selangit buat dompet gue. Beruntung punya sobat macam Vira. Tas dikasih, baju dipinjemin, sepatu biar bekas juga masih bagus. Lain kali, baju yang gue pinjam juga mau diganti status jadi hak milik, hehe. Semua udah siap, kayaknya. Bodo ah, kesiangan sekali-kali gak apa-apa kali ya? Ponsel gue nyala, siapa ya? "Hallo?" "Woi! Lo di mana?! Jam segini belum nongol!" Sakit deh telinga gue, siapa sih? Gue menjauhkan ponsel dari telinga, melirik si penelpon. Owh, master kesayangan gue, Vira. "Iya, gue lagi di jalan ini," jawab gue sambil susah payah memasang sepatu dengan satu tangan. "Buruan! Lain kali, jangan terulang!" "Iya, iya, bawel ah lo." Gue matiin sambungan telepon. Bersiap meluncur menuju mesin uang tercinta, perusahaan Si Bos. Bener aja, Vira udah rapi. Dia sedang membereskan berkas yang dikasih Dani. Gila tuh anak, bangun jam berapa sih? Kan dia udah kawin kok ya bisa lebih cekatan dari jomblo keren macam gue sih? "Dateng juga lo, sini! Kerjain nih!" "Sorry, gue kesiangan, Vir." "Kenapa bisa kesiangan?" Alamak! Itu suara Dani! Gue memutar badan dan meringis, "sorry, Bos! Habisnya saya dehidrasi kemarin." "Dehidrasi?" "Iya, Neneknya Si Bos kan nyuruh-nyuruh saya kayak VOC jajah rakyat jelata, mana gak dikasih makan lagi, minum apalagi, beruntung saya masih hidup dan gak mati," jawab gue berapi-api. Dani berdecak sebal, "kenapa jadi kamu yang marah? Yang kesiangan siapa?" "Saya." "Yang Bosnya siapa?" "Elo, eh, kamu, eh, Anda." "Sampai sini faham kan siapa yang seharusnya marah?" Gue meringis. Sedangkan Vira cuma nahan ketawa. Si Bos keluar dari ruangan. Masih mode kesal kayaknya. "Vir, mau ketawa mah jangan ditahan, ntar keluar dari belakang bisa berabe!" "Hahaha! Sumpah! Seumur-umur gue baru lihat Dani sekesal itu!" "Masa sih?" "Iya, asli." "Ah lo gak tahu, Vir. Kalo gak ada lo, gue udah diintimidasi tuh! Salah dikit suruh ngepel, salah dikit suruh lap kaca, kemarin aja, gue disuruh bantuin neneknya yang serem itu buat berkebun!" Vira menatap tak percaya, "elo? Bantuin Omanya Dani?" "Iya." "Lo ngapain aja?" "Ya disuruh nanamlah, cabutin rumputlah, banyak lagi." "Trus si Nenek ngapain?" "Dia sih, cuma liatin doang, enek gue, kalo masa tuanya kaya raya begitu, mending cepet tua dah gue mah. Kerjanya cuma nyuruh-nyuruh." "Hahaha! Dasar lo, mereka kaya karena mau usaha sejak muda." "Tapi kalo gue tua, gak akan semenyebalkan si Nenek." "Lo apain Omanya Dani?" Vira menatap kaget. Dia paling tahu sifat gue, gak bisa tahan lihat orang yang nyebelin. "Ya, gue kerjain dikit." "Gila lo ya, ampe nenek-nenek aja lo kerjain!" "Cuma ngibul dikit, kok. Gak apa-apa kali ya? Orang dianya sombong gitu!" Pintu kembali terbuka, Dani masuk dan berpangku tangan melihat gue dan Vira. "Vir, suami kamu udah nunggu di luar!" "Yah, Vir! Jangan pergi! Gue masih butuh lo! Kalo gue tersesat gimana?" "Ck, berkas udah beres, schedule juga udah rapi. Lo tinggal menunggu perintah Pak Dani aja." Dani menggeleng pelan, "kamu tuh ya? Vira di sini buat melatih kamu, bukannya malah ngerjain lagi tugas yang seharusnya jadi tugas kamu." "Bukan gitu, Bos. Saya kan kesiangan, belum makan juga, jadi mana bisa saya konsentrasi kalo perut kosong!" "Kamu gak sarapan bukan urusan saya," jawab Dani ketus. Seseorang masuk. Wah, Gilang gak kuat nunggu lama kayaknya. "Sayang, ayo pulang! Ngapain lagi sih?" "Iya, udah kok. Dan, aku pulang dulu ya?" "Ya, makasih ya, Vir." "Lain kali istri saya jangan disuruh kemari lagi. Dia udah gak ada urusan sama perusahaan ini." "Udah ah, Mas. Aku yang mau kok. La gue pulang ya? Kerja yang bener!" "Siap bosku!" Vira dan Gilang keluar dari ruangan. Menyisakan gue dan Dani yang masih dalam mode marah. "Saya ke ruangan saya ya Bos?" Dani diam gak jawab. Lah, masih ngambek dia. "Bos? Marah ya?" "Iya, pake nanya lagi." "Lho, saya salah apa, Bos?" "Kamu gak nyadar?" Gue menggeleng, "emang apa?" "Kamu datang jam berapa?" "Bentar, jam 08.15. Ya, jam segitu." "Artinya?" "Hm, artinya adalah jam delapan lewat lima belas menit. Bener kan?" "Kamu bodoh ya?" "Enggak, hanya kurang cerdas dikit." "Artinya kamu terlambat datang ke kantor. Seharusnya kamu datang pukul 07.30. Beruntung ada Vira yang ngerjain tugas kamu!" "Wah, gitu ya Bos? Kan saya udah bilang, ini bukan salah saya! Ini gara-gara Bos yang kemarin nyuruh saya berkebun sama Nenek. Alhasil punggung saya sakit semua! Laper lagi! Gimana kalo maag saya kambuh? Berabe kan? Bukan hanya kesiangan, tapi juga bisa gak masuk kerja! Lebih parah mana?" Dani cengo lihat gue yang berapi-api.  "Sebenarnya, kamu ini apa?" "Ya manusialah, masa alien!" Dia menghela nafas kasar, "ya udah, kita makan dulu," ucapnya sambil mengambil kunci mobil. "Beneran, Bos?" "Iya, kita makan. Saya juga belum sarapan." "Nah, gitu dong! Ngomong kek dari tadi lalo Bos lapar. Kan gak usah berantem dulu kayak gini." Dani hanya menepuk jidatnya sambil geleng-geleng. Ia gak jawab lagi. Dani membawa gue ke salah satu rumah makan yang ada di dekat kantor. Ia lalu memesan makanan. "Kamu mau apa?" "Makanlah, Bos! Masa datang ke rumah makan mau mandi sih." "Saya nanya serius! Kamu mau makan apa?" "Apa aja deh, Bos. Yang penting halal dan enak," jawab gue sumringah melihat daftar menu yang disajikan di rumah makan ini. "Nih, pesen sendiri!" "Yakin nih, Bos?" "Kamu mau saya berubah pikiran?" "Eh, enggak-enggak, siap Bos." Wah, rezeki mujur di pagi hari nih namanya. Kalo gini mah, mending gue kesiangan tiap hari, dapat makan gratisan dari Si Bos. "Udah?" Gue mengangguk mantap. Pastinya dong, urusan makan serahkan sama gue, ahlinya memilih menu lezat, mwehehe. Pesanan kami datang. Wow! Ngiler deh! Dani membelalak tak percaya pada apa yang gue pesan. "Kamu pesan makanan sebanyak itu?!" "Iya, kenapa? Denger Bos ya, kerja itu butuh energi banyak! Gak bisa lemes bin lembek. Jadi makannya juga harus banyak." "Tapi saya gak bisa makan karbo sebanyak itu." "Tenang saja, serahkan sama saya, kalo masih sisa, bisa saya bawa pulang kan, Bos?" "Terserah kamu." Dani hanya melihat gue makan dengan tatapan meringis. Bodo amat lah, kalo laper ya makan, gak usah gengsi. Malu makan laper di jalan. "Wah, makasih banyak, Bos. Duh, kenyang deh, masih ada sisa ayamnya boleh di bawa, Bos?" "Gak usah, kita balik ke kantor sekarang." "Tapi Bos masih banyak, sayang tuh!" "Saya udah pesen buat dibungkus, ayo! Kerjaan masih banyak." Dengan berat hati gue ninggalin 3 potong ayam goreng di meja makan. Duh, maafin gue ya ayam? "Bos, kok gak ke kasir sih?" "Gak usah." "Kenapa? Gratis ya, Bos? Bos dapet voucher?" "Enggak." "Terus?" "Saya masukan ke tagihan kamu nanti saat gajian." "Apa?!" @$#^#&*$,$???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD