Maaf, Tidak Sengaja

1074 Words
NAVIA POV "Selamat datang di rumahku." Miko membukakan pintu dan menghidupkan lampu untuk menerangi ruangan yang gelap itu. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi sangat rapi. Mungkin Miko memiliki seorang pembantu yang mengurus rumahnya. Barang-barang di ruangan itu tertata dengan baik. Bahkan di kamarku tidak serapi itu. "Aku hanya tinggal sendiri, kalau butuh apa-apa jangan sungkan memanggilku. Ayo ku antar ke kamarmu!" Miko berjalan terlebih dahulu, sementara aku masih mematung. Aku tidak menyangka, dia tinggal di rumah ini sendirian. "Ayo!" Panggilnya menyadarkanku, pria itu sudah naik ke atas tangga beberapa langkah. Aku setengah berlari menyusulnya. Seorang pria bisa serapi ini mengurus rumah, idaman sekali. Beberapa mantan pacarku tidak ada yang rumahnya serapi dia. Tapi, apa untungnya buatku? Aku hanya menumpang di sini. Rapi atau tidaknya dia, tidak akan berefek apapun padaku. Tapi tunggu, jangan-jangan aku sedikit mengagumi Miko? Aku buru-buru menepis perasaan itu. "Kenapa kamu tidak menyewa seorang asisten rumah tangga?" tanyaku sambil terus membuntutinya. "Aku tidak percaya orang asing." jawabnya singkat. Lalu, kenapa dia membawaku ke rumahnya? aku kan orang asing, batinku. "Aku juga orang asing, Miko. Aku bisa pergi dari rumahmu sekarang, aku takut merugikanmu." Ada sedikit rasa tidak enak yang menguasai diriku. Aku memang orang asing sekarang. Kami baru saja bertemu dan belum saling mengenal. "Tidak. Kamu pengecualian. Kamu temanku." tegasnya dengan nada datar. Untuk ukuran pria setampan Miko, seharusnya dia bisa sedikit manis, tapi sudahlah, aku tidak perlu protes apapun. Bisa di terima di rumahnya saja, aku sudah cukup senang. Tapi sejak kapan aku dan dia berteman? "Teman? baiklah, terima kasih." Aku memilih untuk tidak banyak bicara. "Apa kamu keberatan? Ingin status lebih dari teman?" ujarnya dingin. Aish, aku sama sekali tidak berpikir ke sana. Aku juga bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta hanya dengan pertemuan singkat. Butuh waktu untuk itu semua. "Kamu bicara apa. Aku sama sekali tidak berpikir tentang itu." jawabku jujur. Dia tidak perduli dan terus berjalan. Ternyata ada beberapa kamar di sini, sepertinya aku akan di tempatkan di kamar yang paling ujung. Dia hanya tinggal sendiri, buat apa kamar sebanyak ini? Apa dulunya ini adalah tempat kos? pertanyaan receh yang sama sekali tidak penting itu bermunculan di otakku. "Ini kamarmu. Kamarku ada di ujung sana. Ketuk saja, jika butuh bantuan." Miko berlalu tanpa memberiku kesempatan untuk bicara apapun. Aku melongok ke dalam pintu kamar yang terbuka. Hmm... tempat tidur yang cukup mewah. Aku kembali memandang Miko, lelaki itu benar-benar masuk ke dalam kamar yang ada di ujung. Perlahan aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar bernuansa keemasan itu. Apakah warna emas adalah kesukaan Miko? Aku tertegun sejenak dan memandang sekeliling. Aku terpaku pada sebuah foto wanita setengah baya.Wanita itu sangat cantik dengan gaun berwarna keemasan. Apakah itu ibu Miko? Buat apa aku tahu semuanya, toh aku tidak boleh bercerita apapun tentangnya. Pria itu misterius dan cukup membuatku takut. Aku harus hati-hati. Aku merebahkan diriku ke atas ranjang. Kamar ini memang nyaman, tapi sunyi. Aku tidak pernah bermimpi akan terjebak dalam situasi membingungkan seperti sekarang. Sampai kapan aku akan bersembunyi di rumah Miko? Jujur, aku rindu mama. Biasanya, aku selalu tidur dalam pelukan mama saat aku susah terlelap. Di rumah, mama pasti juga merindukan aku. Hanya saja, mama tidak bisa membelaku di hadapan papa, hingga aku harus mengambil keputusan ini. Pergi dari rumah dan meninggalkan mama. Aku membuka aplikasi membaca komik. Satu-satunya hiburan saat aku merasa sepi.Tentu saja aku melepaskan lebih dulu mode pesawat dan ya, banyak pesan yang masuk, terbanyak dari mama. Besok, aku akan minta tolong pada Miko untuk mencarikanku kartu SIM yang baru. Malam semakin larut, setiap detik berganti terdengar begitu jelas di telingaku. Terlalu sunyi, hingga rasa rinduku terhadap mamaku semakin terasa. Sekarang, mama sedang apa ya? Apakah mama juga memikirkan aku? Aku membenarkan letak tidurku. Perlahan ku tarik guling dan memeluknya erat, membayangkan mama yang aku peluk. Di rumah ini hanya ada aku dan Hiro, mana mungkin di tengah malam begini aku membangunkannya. Itu sangat konyol. Cklek... Aku mendengar seseorang membuka kamarku. Siapa? Apa itu Miko? Atau jangan-jangan itu pencuri. Aku segera bangkit dari tidurku dan mencari apapun yang bisa untuk memukul. Hingga ku temukan sebuah tongkat. Aku memasang kuda-kuda. Menanti seseorang yang akan masuk ke dalam kamarku. Benar saja, sesosok laki-laki melangkahkan kaki masuk. Bugh! Bugh! Aku memukulnya beberapa kali. Orang itu tidak.dapat mengelak dan akhirnya roboh. Dia pingsan.Aku segera menghidupkan lampu dan betapa terkejutnya aku, sosok itu ternyata Miko. Aku panik, lelaki itu tidak bergerak lagi. "Hiro, hiro! bangun!" aku mengguncang pelan badan Miko, tetapi lelaki itu masih tergolek lemah. Aku menempelkan jari telunjukku di depan lubang hidungnya, dia masih bernafas, untunglah. Lagipula, buat apa dia diam-diam masuk ke dalam kamarku? Jika di lihat dari dekat seperti ini, ternyata Miko lumayan tampan. Sayangnya, dia kurang ramah, bahkan cenderung acuh menurutku. Kulit wajahnya yang putih bersih, hidung mancung, serta bibirnya yang pink alami. Sempurna. Tanpa sadar aku memandang wajah Miko terlalu dekat, dan saat itu juga pria di hadapanku membuka matanya. Aku terkejut, beberapa saat kami berdua saling tatap dan mematung. Setelah tersadar, aku segera mundur menjauh darinya. "Ma-maaf, aku tidak sengaja. Aku pikir kamu maling." Aku mencoba klarifikasi padanya kalau apa yang aku lakukan hanya sebagai bentuk pembelaan. "Ah, tidak apa-apa. Aku yang salah. Aku lupa, kamar ini di huni olehmu. Ternyata kamu cukup kuat juga." Miko memegangi bagian belakang kepalanya yang mungkin sakit. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Perlu aku kompres atau..." "Tidak perlu. Aku akan obati sendiri. Kunci saja pintunya dari dalam. Maaf juga, aku mengganggu tidurmu." Miko segera bangkit dan keluar dari kamarku. Ia masih memijit ringan bagian belakang lehernya. Aku jadi semakin merasa bersalah padanya. "Ja-Jatmiko..." aku kelepasan memanggil namanya, Miko langsung menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. "Ada apa?" tanyanya masih seperti biasa, cuek. "Maafkan aku. Aku benar-benar merasa bersalah padamu. Izinkan aku melakukan sesuatu untuk mengobati lukamu," Aku memelas, aku benar-benar ingin mengobati luka Miko. Meskipun jelas-jelas dia yang salah, tapi mendengar keterangannya, sepertinya dia tidak sedang berbohong. "Ikut aku!" Miko meneruskan langkahnya menuju ke kamarnya. Aku tidak protes apapun dan memilih untuk mengikutinya. Ternyata leher bagian belakang Miko memar parah. Aku membantunya mengompres lukanya. Dia diam saja, tetapi aku tahu, rasanya pasti sangat sakit. "Miko, apakah kamu marah? Bolehkah aku memanggil namamu saat di rumah?" entah keberanian darimana, aku tiba-tiba jadi sedikit banyak bicara. "Tidak. Aku tidak marah. Silahkan saja, tetapi jangan sampai kamu bicarakan di luar sana," pesannya. Tanpa sengaja aku menekan luka lebamnya terlalu keras hingga Miko berteriak. "Maaf...maaf," Aku tersenyum. Kejadian malam ini membuatku tersenyum geli. Konyol dan sedikit lucu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD