Kejutan

1520 Words
Sebenarnya ini rumit. Andrea dan Dilan sulit bergerak dengan hadirnya sosok kejam berjubah hitam itu. Selain rumit, keadaan mereka juga membingungkan. Keadaan di mana keduanya memiliki banyak asumsi yang membuat mereka semakin kebingungan sebenarnya bagaimana keadaan yang benar. Terlalu banyak kemungkinan hingga mereka sendiri kelimpungan mengatasinya. Harus Dilan akui, meski ia dan Andrea tidak begitu cocok dalam berbagai hal, namun kali ini berbeda. Mereka memiliki asumsi yang sama, juga Dilan yang sudah mendengar suara pembunuh berjubah hitam itu. Sosok itu jelas manusia, dan Dilan masih berpikir bahwa ia mendengar suara yang ia kenal dari sosok itu. Tentu Dilan tidak sembarangan. Dilan selalu ingat suara orang-orang yang ia kenal, hanya saja mendadak ingatannya lupa, siapa suara yang ia kenali itu. Sayang sekali, ia tidak tahu suara siapa itu. Ia hanya merasa mengenalnya, familiar, dan sangat tak asing di indera pendengarnya. “Kali ini bagaimana?” tanya Dilan berbisik. Meski ia masih tidak mengerti mengapa Andrea begitu ketakutan untuk bicara dengan suara normal, kali ini Dilan hanya berasumsi saja bahwa Andrea telah menemukan atau bertemu sesuatu. Andrea menghela napas, ia duduk di lantai seraya menekan kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Gestur yang cukup untuk membuat Dilan mengernyit bingung karena dalam keadaan seperti ini, Andrea terlihat seperti orang yang depresi. Jelas sekali bukan seperti Andrea yang biasanya. “Gue nggak tahu lagi harus ngapain, sumpah gue pengen segera keluar dari sekolah ini. Gue tau manusia pasti mati, tapi kalau boleh, gue pengen kematian yang damai.” seru Andrea frustrasi. Dilan menaikkan sebelah alisnya. “Kamu baik-baik saja ‘kan? Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?” “Emangnya lo mau mati di tempat ini?” seru Andrea sengit. Dilan memutar bola matanya. “Santai dong, maksud ku kenapa kamu tiba-tiba seperti orang yang tertekan begini? Beberapa waktu lalu sebelum aku di sekap sama orang asing itu kamu masih baik-baik saja meski dalam keadaan begini.” Andrea menggigiti jarinya. “Lan, gue nggak yakin mau cerita sama lo.” Katanya pelan. Dilan merasa tersinggung. Kenapa Andrea harus menyembunyikan apa yang ia tahu darinya. Dilan sudah mengatakan segala hal yang ia ketahui kepada Andrea juga demi kesuksesan mereka keluar dari bangunan sekolah ini. Lantas, kenapa Andrea malah memilih bungkam dengan informasi yang diketahuinya? Apakah Dilan tampak begitu tidak berkompeten untuk mengurusi hal seperti ini hingga hanya untuk memberikan informasi yang didapatkannya saja Andrea enggan. Dilan berdiri, ia menepuk-nepuk celananya yang kotor, juga membenarkan kemejanya yang rusak. “Kalau begitu, biar aku cari tahu sendiri.” ucapnya dingin. Ia langsung beranjak pergi bahkan sebelum Andrea mengatakan apapun. Andrea peka dengan situsasi ini. Sebelum Dilan beranjak lebih jauh dan malah mencelakai dirinya sendiri, buru-buru ia menahannya pergi. Dilan mengenyit samar, menarik lengannya yang dicengkram kuat oleh Andrea. Sayangnya, seperti sebelum-sebelumnya, Dilan selalu kalah fisik dengan Andrea. “Kenapa menahanku?” tanya Dilan sinis. “Lo ngambek?” Wajah Dilan merona. “Aku bukan anak remaja, jadi berhenti bicara omong kosong.” Andrea terkekeh. “Yaelah, Lan. Meski umur lo udah nyaris kepala tiga, ternyata lo masih bisa kekanakan juga. Apa karena lo jomblo?” Dilan merasa terusik, saat ini bukan waktunya untuk bercanda. Selain karena Dilan sensitif jika disinggung masalah pasangan, ia juga sedang kesal karena Andrea sama sekali tidak mau mengatakan apa yang terjadi selama ia pingsan. Dilan memandang Andrea dengan tatapan paling menusuk yang ia mampu. Ia sedang tidak ingin membuang-buang waktu di saat seperti ini. Haruskah Andrea mempermainkannya? Menyebalkan. “Aku benci mengatakannya, tapi Andrea, bisakah kamu berhenti main-main dan serius lah dengan keadaan kita.” katanya frustrasi. Dilan menyibak poni panjangnya kebelakang, menampakkan dahinya yang lebam di beberapa bagian. “Apa yang dilakukan si b******k itu ke lo?” tanya Andrea tiba-tiba. Telapak tangan besar yang tadi menahan Dilan pergi kini berpindah memegangi pipi Dilan. “Hei, ngapain kamu? Lepaskan!” Dilan menampik kuat telapak tangan Andrea yang dengan seenaknya menyentuh wajahnya. Dilan melihat kedua mata Andrea berkilat tajam, juga telapak tangannya yang mengepal erat. Dilan hanya menatapnya dalam tanda tanya besar, kenapa tiba-tiba Andrea terlihat begitu marah. Beberapa menit yang lalu ia masih tertawa-tawa menyebalkan seraya mengejek status kehidupannya, lantas tak berapa lama ia kemudian marah? “b******k!” umpat Andrea pelan, namun cukup untuk Dilan mendengarnya dan mengerutkan dahi. “Kamu kenapa sih?” tanya Dilan gemas. “Diam, sekarang lo ikut gue buat membuktikan sesuatu. Kalau nanti terbukti benar, gue harap hati lo cukup kuat untuk menerima.” “Ha?” Andrea menarik lengan Dilan, membawanya entah kemana. Dilan hanya pasrah mengikuti saja. Ia tidak tahu apa maksud kalimat Andrea soal menerima dengan hati ikhlas atau apalah itu. Ia bahkan sama sekali tidak mengerti situasi semacam apa yang dialami Andrea sebelumnya. Andrea menyembunyikan sesuatu yang penting, sangat penting yang membuat Dilan nyaris mati karena rasa penasarannya. Dilan merasakan emosi yang bercampur pada diri Andrea. Yang pasti, emosi yang Andrea rasakan adalah emosi negatif. Dilan jadi merinding hanya dengan menatap punggungnya. Andrea terus menariknya, membawanya entah kemana, keadaan seperti ini sungguh akward. Dilan ingin bicara, tapi melihat aura negatif yang terus-terusan menyelubungi Andrea membuat bibir Dilan kelu hanya untuk memanggil temannya itu. Mereka berjalan cukup lama—setidaknya bagi Dilan. Andrea membawa Dilan ke dalam sebuah ruang kelas paling ujung di lorong lantai empat sekolah. Ini lantai teratas sekolahnya dan menjadi kelas paling ujung dan paling jauh dari kelas-kelas lainnya. Andrea membawa Dilan masuk dan kembali menatap sekitar hanya untuk memastikan tidak ada siapapun yang mengikuti mereka. “Jadi, kenapa kamu bertingkah seperti ini? Masih nggak mau bilang apa-apa?” tanya Dilan akhirnya. Beberapa menit berlalu sejak mereka sampai kemari dan Andrea hanya diam dengan suasana hati yang buruk. Lama-lama Dilan jengah juga melihatnya. “Gue mau ngomong sesuatu, yang bakalan bikin lo antara ketawa ngakak sambil bilang gue pembohong, atau nangis karena sakit hati.” “Apa sih?” Andrea menghela napas. Ia merogoh saku celananya dan memberikan sebuah gelang tali berwarna coklat. “Ini kan…” “Milik Alfa.” “Darimana kamu mendapatkannya? Alfa selalu memakainya sejak bertahun-tahun silam, kamu mencurinya?” tuduh Dilan. Andrea diam saja, antara ragu dan takut untuk mengatakan yang ia tahu. Saat ini, ia tidak memiliki bukti valid selain gelang itu. Ia bahkan sampai mengabaikan Dilan yang menuduhnya mencuri, padahal kalau biasanya Andrea akan cepat marah kalau dituduh semacam itu. “Sosok berjubah hitam itu…” Andrea menggantungkan kalimatnya membuat Dilan gemas karena begitu penasaran. Apa hubungannya gelang Alfa dengan penjahat itu? “Alfa.” Katanya singkat. Dilan membeku, ia sungguh ingin tertawa atau paling tidak terkekeh mendengar pernyataan bodoh Andrea. Sayangnya, dilihat dari manapun Andrea sama sekali tidak bercanda. Kedua bola mata kelamnya menatap Dilan khawatir, dan wajah tegas itu sama sekali tak ada kesan bercanda seperti ketika ia mengejek Dilan. “Makud kamu?” “Iya, Alfa. Dia yang udah bunuh teman-teman kita, dan nyiksa lo.” Dilan menggelengkan kepalanya. “Nggak mungkin! Kamu pasti punya dendam lama sama Alfa sampai berani menuduhnya. Iya ‘kan?” Andrea menatap Dilan dalam-dalam, dan Dilan benci melihat sorot mata itu. Kilatan di mata Andrea terlihat berbeda, ada rasa kasihan di dalamnya yang ditunjukkan kepada Dilan. Dilan benci dikasihani, dan sekarang Andrea tengah melakukan hal yang sangat ia benci. “Katakan! Ada dendam apa sampai kamu nuduh Alfa? Ha?” tanya Dilan gusar. Ia mengusap wajahnya kasar. Andrea tetap diam, ia ragu hanya untuk bicara. Kedua lengannya terangkat hendak menyentuh bahu Dilan, namun bahkan sebelum ia menyentuhnya, Dilan sudah lebih dulu mundur untuk menghindarinya. “Dilan…” “Berhenti! Aku terima saat kamu menyalahkan aku soal kematian teman-teman kita, aku terima ketika kamu bilang hal buruk ke teman-teman yang lain, dan bahkan aku juga terima ketika kamu sama sekali nggak ngasih aku info apapun padahal aku sudah memberikan semua hal yang aku tahu kepadamu. Tapi, aku nggak terima kamu nuduh Alfa kayak gini. Sebenarnya apa yang ada di otak mu sampai kamu tega melakukan ini?” Andrea bukan jenis manusia yang akan mengadu domba orang lain. Sejak awal, Andrea sengaja tidak mengatakan apapun kepada Dilan karena ia tidak mau Dilan sakit hati. Sedikit banyak Andrea tahu hubungan keduanya yang begitu dekat. Pertemanan mereka sudah tidak mampu dideskripsikan lagi. Mereka bahkan sudah seperti saudara sekandung, dan Andrea sadar diri untuk tidak merusak ikatan mereka. Sayangnya, Andrea tidak tahan lagi ketika melihat luka-luka di tubuh Dilan, apalagi ketika Andrea melihat lebam-lebam parah di dahi pria itu. Tekadnya untuk menyembunyikan fakta ini hingga ia benar-benar menemukan bukti supaya Dilan percaya langsung menguap entah kemana. Andrea tidak tahan lagi. Maka dengan sisa keberanian yang dimilikinya lah Andrea mengatakan semuanya dengan menyerahkan gelang milik Alfa. Sayang sekali, reaksi yang diterima Andrea jauh daripada bayangannya. Ia kira, Dilan akan sedih, tapi dia malah marah dan menuduhnya sedang melakukan adu domba. “Gue tahu lo benci sama gue, Lan. Gue emang bukan orang yang baik kayak lo, tapi gue nggak sehina itu sampai berniat main adu domba antara lo dan Alfa.” Andrea mengatakannya dengan segala emosi yang campur aduk. Andrea hanya berusaha berpikir positif bahwa Dilan sedang shock saja. “Sekarang, terserah lo mau percaya atau nggak sama gue, gue nggak peduli. Nanti, kalau sampai terbukti, gue harap lo kuat. Udah ya, baiknya kita jalan sendiri-sendiri aja daripada lo sensi sama gue.” Andrea beranjak pergi, tapi baru beberapa langkah ia berjalan ia kembali berbalik. “Oh ya, alasan gue nggak kasih tahu informasi sama lo, karena gue tahu Alfa yang ada dibalik jubah hitam itu. Gue cuma nggak mau lo sakit hati sama dia—atau sama gue yang lo tuduh sebagai pengadu domba.” Setelah mengatakannya, barulah Andrea benar-benar pergi dari hadapan Dilan. Sementara langkah kaki Andrea terus menjauh dan hanya menyisakan keheningan di sekitar Dilan, pria itu hanya mampu menatap ruangan dengan pandangan nanar. Gelang tali yang diberikan Andrea masih tergenggam di telapak tangan kanannya. Dilan bingung dengan semua keadaan ini. Ia masih belum mau mempercayai apa yang dikatakan Andrea, sebelum ia sendiri yang melihatnya. Persetan dengan resiko yang mungkin akan ia dapatkan.   ***          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD